Oleh : Pida Siswanti
Sore itu akhirnya hujan berhenti setelah mengguyur bumi sejak tengah hari tadi. Panas matahari yang sangat menyengat tiba-tiba berubah menjadi mendung menggulita di langit. Hujan deras ditemani angin kencang membawa pohon mangga di halaman rumah meliuk-liuk ke segenap penjuru. Bahkan pohon jeruk yang baru semeter tingginya sampai tercabut akarnya dan rebah menyerah di atas tanah.
Memang sore itu matahari tak lagi dapat menembus tebalnya awan kelabu yang masih menggayut, meskipun waktu masih memungkinkannya menerangi bumi sebelum tiba saat terbenam nanti. Setelah mandi sore, Farah bermain-main di halaman kompleks.
Uci, mama Farah, mengawasi anaknya yang baru berusia 4 tahun itu sambil duduk di kursi teras rumahnya. Kebetulan Ara, teman sebaya Farah yang tinggal tepat diseberang juga sudah nyore setelah mandi dan cantik dengan baju tidurnya. Ara dan Farah pun ngobrol dengan asyik ala bocah balita.
Tiba-tiba terdengar tangisan Inu, anak lelaki tetangga sebelah yang baru berumur 3 tahun. Mba Ria, pengasuhnya keluar untuk membuang sampah. Bunda Inu belum waktunya pulang sore itu, ia baru pulang di atas jam delapan malam dari kantornya nun jauh di sana.
"Kenapa Inu nangis, Mba Ria?" Tanya Farah dan Ara serempak dengan polosnya.
"Iya, itu tadi sudah Mba Ria masakin makan malem malah minta bakso. Dibilang ngga boleh malah bilang Mba Ria pukul Mba Ria pukul, ya Mba Ria pukul sekalian", Ceplos Mba Ria apa adanya dengan kecepatan bicara yang luar biasa. Logat Banyumasnya sangat kental.
"O..."Farah dan Ara masih serempak berkomentar, entah mengerti atau bingung.
Uci mendekati Farah dan Ara, "Kenapa De Inu, Farah?"
"Hm...itu Mah, De Inu minta disayang sama Mba Ria, tapi Mba Rianya ngga mau sayang..."Jawab Farah lugu.
Uci tersenyum mengangguk-angguk. Ia sedikit takjub dengan jawaban putrinya. Seorang balita memaknai tangisan balita yang lain sebagai ungkapan minta perhatian dan kasih sayang, yang memang sudah menjadi hak mereka untuk tumbuh dengan kasih sayang orang dewasa di sekitarnya, tepatnya Bunda dan Ayahnya. Namun adakalanya kesibukan orang dewasa membutakan kepekaan hati akan kebutuhan itu. Sehingga yang diberikan justru bukan perhatian dan kasih sayang, tetapi marah dan emosi, terkadang tak jarang malah sedikit kekerasan.
Depok, 29 Oktober 2010
Sore itu akhirnya hujan berhenti setelah mengguyur bumi sejak tengah hari tadi. Panas matahari yang sangat menyengat tiba-tiba berubah menjadi mendung menggulita di langit. Hujan deras ditemani angin kencang membawa pohon mangga di halaman rumah meliuk-liuk ke segenap penjuru. Bahkan pohon jeruk yang baru semeter tingginya sampai tercabut akarnya dan rebah menyerah di atas tanah.
Memang sore itu matahari tak lagi dapat menembus tebalnya awan kelabu yang masih menggayut, meskipun waktu masih memungkinkannya menerangi bumi sebelum tiba saat terbenam nanti. Setelah mandi sore, Farah bermain-main di halaman kompleks.
Uci, mama Farah, mengawasi anaknya yang baru berusia 4 tahun itu sambil duduk di kursi teras rumahnya. Kebetulan Ara, teman sebaya Farah yang tinggal tepat diseberang juga sudah nyore setelah mandi dan cantik dengan baju tidurnya. Ara dan Farah pun ngobrol dengan asyik ala bocah balita.
Tiba-tiba terdengar tangisan Inu, anak lelaki tetangga sebelah yang baru berumur 3 tahun. Mba Ria, pengasuhnya keluar untuk membuang sampah. Bunda Inu belum waktunya pulang sore itu, ia baru pulang di atas jam delapan malam dari kantornya nun jauh di sana.
"Kenapa Inu nangis, Mba Ria?" Tanya Farah dan Ara serempak dengan polosnya.
"Iya, itu tadi sudah Mba Ria masakin makan malem malah minta bakso. Dibilang ngga boleh malah bilang Mba Ria pukul Mba Ria pukul, ya Mba Ria pukul sekalian", Ceplos Mba Ria apa adanya dengan kecepatan bicara yang luar biasa. Logat Banyumasnya sangat kental.
"O..."Farah dan Ara masih serempak berkomentar, entah mengerti atau bingung.
Uci mendekati Farah dan Ara, "Kenapa De Inu, Farah?"
"Hm...itu Mah, De Inu minta disayang sama Mba Ria, tapi Mba Rianya ngga mau sayang..."Jawab Farah lugu.
Uci tersenyum mengangguk-angguk. Ia sedikit takjub dengan jawaban putrinya. Seorang balita memaknai tangisan balita yang lain sebagai ungkapan minta perhatian dan kasih sayang, yang memang sudah menjadi hak mereka untuk tumbuh dengan kasih sayang orang dewasa di sekitarnya, tepatnya Bunda dan Ayahnya. Namun adakalanya kesibukan orang dewasa membutakan kepekaan hati akan kebutuhan itu. Sehingga yang diberikan justru bukan perhatian dan kasih sayang, tetapi marah dan emosi, terkadang tak jarang malah sedikit kekerasan.
Depok, 29 Oktober 2010
Komentar
Posting Komentar