Terdengar suara mobil memasuki garasi disusul bunyi klakson tiga kali. Sisi bergegas membuka pintu.  Itu Rayyan, suaminya.
“Ugh…aku lapar sekali, Si” ungkap Rayyan seraya masuk ke dalam rumah. Ia mengelus-elus perut.
“Makan malam sudah tersedia di meja, Ray. Tak perlu khawatir,” sahut Sisi membuntuti suaminya.
Rayyan meletakkan tas kerjanya di kamar, lalu berganti pakaian. Ketika ia datang ke meja makan, Sisi sudah menunggunya di sana.
“Pepes Ikan lagi?” komentar Rayyan spontan setelah melihat menu yang terhidang di meja, “Dan tumis lagi…tumis lagi…” tambahnya, tampak tak berselera makan.
Senyum Sisi langsung menghilang.
“Tolong buatkan mie instan sih, Si” pinta Rayyan kemudian. Ia langsung beranjak ke ruang tengah dan menyalakan televisi, tak memperhatikan perubahan raut wajah istrinya.
Tanpa banyak bicara, Sisi beranjak ke dapur memenuhi permintaan suaminya. Sudah lima tahun usia perkawinan mereka, namun pujian Rayyan di meja makan sepertinya bisa dihitung dengan satu jari tangan saja.
Sisi ingat betul, sebulan yang lalu saat mereka pulang ke kampung menjenguk mertuanya, Rayyan tak berhenti memuji pepes ikan masakan ibunya. Seminggu di sana, makan dengan menu yang sama setiap hari, setiap itu pulalah pujian mengalir dari mulut Rayyan. Kini dengan menu sama, dimasak dengan penuh cinta dan semangat pula, tanggapan Rayyan sungguh berbeda.
Sisi memasak mie instan dengan mata berkaca-kaca.
***
Hari libur, Rayyan tertidur saat menonton sebuah film di ruang keluarga bersama Sisi. Cerita film tersebut belum usai, namun Sisi tak berselera menamatkan film itu. Padahal semula ia yang bersemangat meminjamnya dari sebuah tempat persewaan video. Sebuah film drama dibintangi aktris kesayangannya yang sudah lama ingin ia tonton.
“Uuurrghh…..maaf aku ketiduran, Si!” Rayyan bergegas menyusul istrinya di dapur begitu ia terbangun, “Bagaimana akhir ceritanya?”
“Lain kali kita tonton lagi ya, Ray?” Sahut Sisi. Ia sibuk memasak untuk makan siang.
“Makan apa kita siang ini?” Rayyan melongokkan kepalanya ke atas kompor, “Ikan goreng? Asyiik….sayurnya apa?”
“Sayur kacang merah.” jawab Sisi sambil tersenyum manis.
“Itu saja? Ngga ada yang lain?”
Sisi menggeleng.
Ting! Ting! Ting! Tukang bakso lewat.
“Aku mau beli bakso ya, Si.” tanpa menunggu jawaban istrinya, Rayyan bergegas ke depan rumah. Ia menghentikan abang bakso yang sedang lewat dan memesan satu mangkok. 
Sisi memandang suaminya dari jendela dapur, Rayyan makan bakso di bangku plastik yang disediakan abang bakso itu. Ia juga melihat Rayyan memesan satu mangkok lagi ketika isi mangkok pertamanya habis.
Tak bersemangat, Sisi menghidangkan hasil masakannya di atas meja makan dan menutupnya dengan tudung saji. Jam sudah menunjukan pukul satu siang, waktunya makan siang. Tapi perut Sisi yang semula keroncongan mendadak terisi penuh. 
Sisi ingat betul, dua bulan yang lalu ketika Rayyan mengajaknya menengok ibu mertuanya di kampung dan hanya tinggal dengan kakak tertua Rayyan, Rosa. Rosa menghidangkan ikan goreng dan sayur kacang merah selama tiga hari waktu berkunjungnya. Tak sekalipun Rayyan meminta menu yang lain. Ia melahap masakan kakaknya itu tanpa banyak berkomentar.
“Kau tak ingin makan lagi, Ray?” tanya Sisi ketika jam menunjukan pukul tiga.
“Masih kenyang dengan bakso tadi, Si,” jawab Rayyan, “Kau makan saja duluan”
Malamnya, Rayyan mengajak Sisi makan di luar, di sebuah restoran padang. Rayyan makan dengan sangat lahap. Sisi hanya menghabiskan setengah isi piringnya. Bayangan sepiring ikan goreng dan sayur kacang merah tak mau beranjak dari pikirannya. Masakan yang ia buat dengan penuh rasa cinta pada Rayyan.
Ketika pulang ke rumah, Sisi membuang ikan goreng dan sayur kacang merah yang masih utuh di atas meja makan. Matanya berkaca-kaca saat membuangnya ke tempat sampah. Rasanya sungguh seperti cinta bertepuk sebelah tangan.
***
Dengan penuh semangat, pagi itu sebelum Rayyan bangun, Sisi sibuk di dapur membuat soto Lamongan. Kali ini ia sudah menyiapkan buku resep membuat soto sebagai contekan. Ia yakin Rayyan akan menyukainya. Dulu, ketika masih mengontrak rumah, hampir setiap pagi mereka menyantap soto Lamongan dari sebuah kedai kaki lima dekat rumah kontrakan.
Sisi menyiapkan semuanya dengan penuh suka cita. Selesai memasak, ia mandi dan berdandan secantik mungkin. Ia mengenakan gaun cantik berwarna merah muda.
Benar saja, begitu bangun dari tidurnya, Rayyan langsung menuju meja makan dan membuka tudung saji. Matanya berbinar saat melihat menu soto di pagi hari itu.
Rayyan menoleh ke arah istrinya yang tengah merangkai bunga di ruang tamu, “Kelihatannya enak makan soto pagi-pagi, Si. Boleh kau seduhkan aku satu mangkok sementara aku mandi?”
Sisi tersenyum mengangguk, “Tentu saja, Ray.”
Usai mandi, Rayyan dan Sisi sudah duduk menghadap semangkok soto panas yang asap masih mengepul. 
“Kok sotonya bening, Si? Isinya kelihatan.” komentar Rayyan spontan. Ia memandangi mangkok sotonya sambil sesekali menatap Sisi dengan wajah dibuat heran.
Sisi terdiam, menggigit bibir. Sedih. Komentar Rayyan sebenarnya biasa saja, seperti faktanya, memang soto itu terlihat bening. Tak ada kata menyakitkan yang dilontarkan lelaki itu. Seharusnya Sisi tak sakit hati. Tapi entahlah, rasanya kok kerja kerasnya di dapur sepagian tadi tak dihargai sama sekali. Itu yang membuatnya patah hati.
Rayyan menambahkan berbagai bumbu lain seperti kecap dan jeruk nipis, lalu mencicipinya lagi. Muka Rayyan bertambah masam, “Rasanya seperti tumis kubis, Si!” lelaki itu meletakkan sendoknya, tidak melanjutkan makan, “Aku ngga bisa makannya. Kita cari bubur ayam di luar aja, yuk?”
Rayyan langsung berdiri dan mengambil kunci mobil, lalu menuju garasi. Ia tak memperhatikan perubahan raut muka Sisi yang sangat sedih. Matanya yang berkaca-kaca.
“Lain kali kau beli saja bumbu soto yang sudah jadi di supermarket, Si! Pasti enak!” teriak Rayyan dari garasi.
Air mata Sisi jatuh. Dengan lemas, dia pergi ke kamar mandi untuk mencuci muka, lalu memulaskan bedak kembali ke wajahnya. 
***
Malam ini hujan turun cukup lebat. Butiran airnya terdengar sangat bising menghantam genteng dan selasar di depan rumah. Pohon mangga dan jambu yang ada di halaman bahkan sempat bergoyang cukup keras, meliuk-liuk mengikuti angin kencang yang mengayunnya. Rayyan pulang sedikit terlambat. Ada pesta perpisahan teman yang berhenti dari kantor dan pindah ke luar negeri, begitu pesan Rayyan lewat sms pada istrinya. Sisi pun tak menyiapkan makan malam untuk suaminya. Pasti Rayyan sudah kenyang makan enak di pesta, pikirnya.
Sisi lalu membuka-buka kotak peninggalan almarhum ibunya yang telah ia simpan sejak meninggalnya beliau setahun lalu. Ia belum sempat tuntas melihat semua isinya. Ada banyak perhiasan, surat-surat berharga dan kertas-kertas coretan tangan ibu. Sebuah foto berukuran besar dengan gambar semangkok sup menarik perhatian Sisi. Sup itu yang terlihat sangat lezat. Ketika membaliknya, Sisi menemukan sebuah resep ditulis dengan tangan. Sup Krim Jagung, a secret recipe.
Sisi membaca resep itu. Kelihatannya sangat mudah membuatnya. Kebetulan ia belum makan malam. Hmm, aku coba saja, bisiknya dalam hati. Toh, Rayyan juga sudah makan. Maka Sisi pun mulai memasak dengan gembira. Tak ada beban karena ia tahu masakan itu hanya untuknya saja. Ia masak sambil bernyanyi kecil. 
Begitu matang, Sisi langsung mengambil semangkok sup dan memakannya di meja makan. Perempuan itu menyeruput supnya pelan-pelan, sangat menikmati hangat dan manisnya sup krim jagung resep peninggalan almarhum ibunya.  
Baru setengah mangkok ia habiskan, suara mobil Rayyan terdengar masuk garasi. Bunyi klakson pun terdengar tiga kali.
Sisi bergegas membuka pintu untuk suaminya. Rayyan sudah berdiri di depan pintu. Baju Rayyan sedikit basah.
“Naik mobil kok bajumu basah, Ray?” tanya Sisi heran.
“Tempat pestanya jauh dari tempat parkir, Si. Sudah begitu, masakannya masakan Itali macam spaghetti dan pasta pula. Mana aku suka makanan begituan!” sahut Rayyan sedikit kesal.
“Tempat pestanya jauh dari tempat parkir, Si. Sudah begitu, masakannya masakan Itali macam spaghetti dan pasta pula. Mana aku suka makanan begituan!” sahut Rayyan sedikit kesal.
“Jadi kau belum makan?”
“Makan pizza saja sedikit.”
“Wah, aku tidak masak, Ray. Kupikir kau tidak akan makan di rumah.” sahut Sisi merasa bersalah.
“Tak apa. Masak saja yang mudah dan cepat, Si. Mie instan juga boleh, pakai telor setengah matang, ya?” pinta Rayyan.
Ketika melewati meja makan, Rayyan menunjuk mangkok sup Sisi, “Ini apa?” tanyanya.
“Sup krim jagung.” jawab Sisi ragu.
“Kelihatannya enak hujan-hujan begini. Sambil menunggu mie instan, boleh kau ambilkan aku supmu ini semangkok saja, Si?”
“Tentu boleh, Ray.”
Sisi menghidangkan semangkok sup krim jagung panas di meja untuk suaminya, dengan perasaan sedikit kecut. Apa komentar lelaki itu kali ini? tanyanya dalam hati.
Sisi kemudian sibuk menyiapkan mie instan yang dipesan Rayyan tadi. Ia tak menyadari Rayyan mendekatinya sambil membawa mangkok kosong.
“Supmu enak sekali, Si. Boleh nambah lagi?” Rayyan menyodorkan mangkok kosongnya.
Sisi benar-benar tak menyangka. Sambil tersenyum senang, ia mengisi mangkok Rayyan dengan sup krim jagung lagi, masih panas karena Sisi masih menyalakan apinya kecil.
“Besok pagi, kau masak sup ini lagi ya, Si. Ditambah roti bakar kelihatannya seru!” pinta Rayyan manis.
“Boleh, Ray. Dengan senang hati.” sahut Sisi gembira. Wajahnya berseri-seri makin terlihat cantik.
Rayyan mengecup pipi istrinya tiba-tiba, “Kau tahu, Si. Kau tak perlu menandingi ibu atau kakakku untuk urusan masak-memasak ini. Masaklah dengan resepmu sendiri. Nanti aku akan katakan padamu mana yang kusuka mana yang tidak. Kau tinggal mengingatnya saja, OK? Dan aku sangat suka sup ini…hhhmmm…yummy..” lanjutnya sambil berjalan kembali ke meja makan membawa semangkok sup.
Sisi menatap punggung suaminya. Lelaki ini sebenarnya sangat baik. Hanya urusan makanan saja yang agak sulit. Tapi baru saja ia memberi jalan tengah yang sangat menyentuh dan Sisi menyukainya. Hal apalagi yang mesti aku sesalkan? Bisik hati Sisi.
Malam itu, mata Sisi kembali berkaca-kaca. Tapi kali ini karena syukur yang membuncah dalam dadanya.
Selesai.
Depok, 6 November 2010.
Komentar
Posting Komentar