Langsung ke konten utama

Life Begin at 30

Senin : meeting mingguan semua divisi, makan siang, manajemen meeting, dinner meeting with client A. 
Selasa : meeting project A, lunch meeting with client B, meeting future project, dinner meeting
Rabu : meeting project B, lunch with HR manajer, meeting project C, dinner meeting
Kamis : meeting with client C, lunch meeting with broker A, meeting project D, dinner meeting
Jum’at : workshop seharian

Nanik mengintip agenda untuk minggu-minggu seterusnya, masih padat dengan jadwal meeting.  Dari pagi hingga malam. Ada sesak dan hampa yang dirasakan Nanik kala membayangkan kesibukannya yang akan datang, perasaan sama yang selalu menderanya beberapa bulan terakhir ini.

Nanik sendiripun merasa heran. Gairah yang semula dirasakannya begitu berkobar dalam dirinya kala melaksanakan tugasnya sebagai general manajer di kantor, lenyap entah kemana akhir-akhir ini. Berganti dengan perasaan kosong dalam jiwanya. Seolah semua pekerjaan yang dilakukannya tak mempunyai nilai apa-apa selain uang dan keuntungan saja.  Sungguh, tapi Nanik merindukan makna yang lebih dalam.

 “Ambil cuti panjang dan pergilah ke manapun kamu mau. Kau pasti akan lebih segar untuk memulai tugas baru di kantor “ Lanjut Bapak menyarankan, setelah Nanik menceritakan kegundahan hatinya.

Nanik merasa bukan itu jawabannya. Ada sesuatu yang hilang dalam jiwanya. Kesibukan dan semua hiruk-pikuk pekerjaan di kota metropolitan ini rasanya sudah membuat batinnya gersang. Kini ia merindukan setetes embun menyiram dan menyegarkannya kembali.

Sudah beberapa hari ini, tiap kali Nanik mendengar suara adzan di waktu maghrib, ketika berada di tengah kemacetan yang menghiasi Jakarta tiap hari, hati Nanik seperti begitu sejuk dan ingin sekali singgah di masjid yang sedang berkumandang adzan itu. Tetapi tiap kali mengingat janji yang mesti ditepati pula dengan para kliennya, dan macet yang mesti ditembusnya meminta waktu tak sedikit, niat itu selalu saja diurungkannya.

Ia kemudian berniat untuk membaca buku penuntun sholat atau membaca terjemahan Al-Qur’an yang selama ini sudah berada di rak bukunya di kamar. Mencari-cari setetes embun yang ia rindukan, barangkali ada di sana. Tapi selalu saja, setiap hari ia pulang larut malam, tiba di rumah tubuhnya terasa sangat lelah dan langsung tertidur begitu menyentuh kasur hangatnya. Niat itu masih saja hanya niat hingga hari ini.

Nanik merasa ia harus melakukan sesuatu sebelum niat baik itu terkikis oleh kesibukan-kesibukannya yang lain. Nanik sampai berpikir untuk mundur sejenak dari pekerjaannya.

Aryo, sahabat Nanik di kantor, seorang senior manajer,  tertawa mendengar alas an ini, “Setelah sepuluh tahun? Setelah jadi general manajer? Jangan bercanda, Nik”

Posisi tinggi di kantor yang kini didudukinya memang memberikan banyak prestise. Namun juga membuatnya semakin sepi.  Seluruh energi diri dan jiwanya serasa terkuras habis untuk pekerjaannya. Sebenarnya Nanik bisa saja mendelegasikan tugasnya pada anak buahnya, tetapi ada hal-hal yang harus ia kerjakan sendiri. Justru hal-hal yang berat dan menguras banyak pikiran untuk menganalisa sebelum mengambil keputusan.

“Kalau aku sesibuk ini terus, takkan berhasil, Yo. Aku harus menguranginya. Kalau tidak, rasanya aku sama saja dengan robot”

“Lantas apa yang akan kau lakukan?” Tanya Aryo

“Pertama belajar agama pada seorang kyai. Lalu membuka usaha sendiri ”

“Itu bisa kau lakukan tanpa harus mundur”

“Aku tak mau setengah-setengah. Semua yang setengah-setengah hasilnya tak pernah maksimal”

“Dengan posisimu sekarang, kau bisa mendelegasikan tugas di kantor sehingga kau fokus merintis usaha baru dan belajar agama”

“Itu tak adil namanya pada kantorku. Dholim. Makan Gaji buta”

“Lho, kan pengawasan dan tanggung jawab tetap ada padamu”

Lain pula nasehat Bapak.

“Kamu kan masih sendiri, Nduk. Belum punya suami dan anak. Bekerja itu ya jadi kesibukan buatmu supaya kamu ndak bengong”

“Usia Nanik sudah tiga puluh tahun, Pak. Nanik masih nol besar soal agama. Baca Al-Qur’an saja ndak becus. Sholatpun Nanik ndak hapal bacaannya”

“Ambil guru privat saja, Nduk”

Bapak belum mengerti juga. Nanik tak menyalahkan Bapak. Ia tahu Bapak juga tak bisa baca Al-Qur’an. Sholatpun jarang.

Hati Nanik masih gundah, tapi ia masih terombang-ambing belum berani mengambil keputusan.

***

Di kantor, Nanik sudah menyiapkan sebuah buku iqro untuknya belajar. Ia berniat belajar autodidak.  Ia  mencoba mengambil jalan tengah. Ia tak tega pada Bapak jika ia bersikeras mundur. Ia menghormati lelaki paruh baya itu, yang sudah bersusah payah menyekolahkannya hingga sarjana. Maka ia mencoba menyisihkan sedikit dari waktu sibuknya untuk mencari obat penyembuh gundah gulana hatinya.

Namun sudah tiga hari ini buku itu masih tergeletak tak tersentuh di meja kerja Nanik. Entah kebetulan atau bukan, tapi tiga hari kemarin adalah tiga hari paling padat dalam jadwal kerjanya. Banyak hal di luar jadwal yang perlu keputusan cepat. Nanik menjadi semakin resah. Belum ada kemajuan dalam langkah batinnya.

“Nik, aku punya satu usul untukmu, kalau kau tak keberatan” Ujar Aryo. Meskipun Aryo masih terhitung anak buah Nanik, tapi mereka sudah bersahabat dekat sejak sama-sama menjadi manajemen trainee saat pertama kali masuk kerja.

“O iya, apa itu?” Tanya Nanik antusias.

“Apa kau tahu bahwa menikah itu adalah menyempurnakan separuh agama?”

“Aku tidak tahu”

“Well, kini kau tahu”

“Maksudmu apa ?”

“Begini, kau bilang kan yang membuatmu sangat resah sehingga hampir memutuskan berhenti bekerja dari kantor ini adalah karena kau merasa jiwamu hampa dan rasanya masih nol besar soal agama. Jika menikah adalah menyempurnakan separuh agama, mengapa kau tidak menikah saja, Nik. Dengan demikian setidaknya kau tidak nol lagi”

“Apa bisa begitu?”

“Daripada kau masih jalan ditempat seperti saat ini”

“Tapi menikah dengan siapa, Yo?”

“Wah, itu kau yang lebih tahu, Nik. Mungkin sekaranglah saatnya kau serius mencari pasangan. Umurmu sudah tiga puluh, kan?”

“Ya, dan banyak yang bilang manusia sulit berubah jika sudah diusia empat puluh. Aku tak mau menjadi Nanik yang sekarang ini, Yo. Aku ingin pencerahan. Supaya hidupku rasanya bermakna”

“Nik…Nik, posisi dan harta milikmu saat ini adalah dambaan semua wanita. Kau bahkan bisa melakukan apa saja yang kau inginkan”

“Nyatanya aku tak bisa melakukan apa yang kuinginkan, Yo. Kau salah”

Saran Aryo segera memenuhi benak Nanik. Tapi dimana aku harus mencari pasangan hidupku? Bisik Nanik dalam hati.

Nanik jadi teringat mantan-mantan pacarnya. Pun bisa dihitung dengan jari, tak genap separuh tangan. Ia selama ini lebih disibukkan dengan urusan kuliah, magang lalu bekerja. Selama ini ia berprinsip bahwa jodoh itu di tangan Tuhan. Ia yakin, jika memang jodoh, segalanya pasti akan dimudahkan.

Tapi untuk apa mengingat mantan-mantan itu. Kini entah dimana mereka berada. Tak satupun ada dalam lingkaran hidup Nanik saat ini. Nanikpun berpikir praktis. Ia mulai melihat yang Nampak saja di matanya sekarang. Mudah-mudahan ada yang cocok, doanya dalam hati.

***

“Apa kau yakin, Nduk?. Sudah tujuh laki-laki pernah Bapak ajukan untuk jadi calon suamimu selama lima tahun ini” Komentar Bapak spontan saat Nanik mengatakan niatnya, “Semuanya kamu tolak mentah-mentah tanpa mencoba menjajaki dulu”

“Sekarang lain, Pak. Nanik memang berniat untuk menikah”

“Apa ini ada kaitannya dengan niatmu mundur dari kantormu?” Selidik Bapak lagi.

“Tidak, Pak”

Bapak mengangguk-angguk, “Baiklah. Sebenarnya Bapak ada calon untukmu. Hanya saja ia tak sehebat tujuh calon Bapak sebelumnya”

Nanik menatap mata Bapak penuh harap, hati dan pikirannya kini terbuka untuk mendengar lebih lanjut.

“Dia duda, Nduk. Ditinggal mati istrinya. Anaknya sudah lima. Yang paling besar baru kelas enam SD dan yang paling bungsu masih enam bulan. Pekerjaanya adalah seorang hakim di pengadilan negeri. Bapak mengenalnya sebagai lelaki yang baik dan lurus. Ia hakim paling disegani di kantornya karena katanya paling susah disuap. Ayahnya dulu sahabat Bapak waktu sekolah. Ayahnya adalah lelaki paling jujur yang pernah Bapak kenal” Bapak memandangi wajah Nanik, putri semata wayangnya, “Bagaimana, apa kau tertarik untuk mengenalnya lebih jauh?”

Didorong oleh niatnya yang tulus, Nanik langsung mengangguk.

“Baiklah, Bapak akan mencoba mempertemukan kalian. Mudah-mudahan kalian cocok”

***

Bapak benar-benar memenuhi janjinya. Nanik sangat terharu. Bapak memang benar-benar orang yang sangat baik seperti yang selama ini ia kenal. Meskipun hanya seorang pensiunan pegawai negeri sebuah departemen pekerjaan umum di pemda setempat, tapi Bapak masih memperlihatkan integritasnya terhadap sebuah janji. Persis sama kala masih menjabat kepala sub-bagian di kantornya. Bapak termasuk orang yang disegani karena paling anti terhadap suap ataupun kolusi lainnya. Itu juga menjadi salah satu sebab karirnya mentok hanya di kepala sub-bagian. Merasa pengabdiannya yang tulus demi kebaikan dan kemajuan daerah kelahirannya tak dihargai, Bapakpun memilih untuk pensium lalu hijrah ke Jakarta dan tinggal bersama Nanik.

Setelah Ibu meninggal, Bapak dan Nanik memutuskan pindah rumah ke pinggiran kota yang lebih sejuk dan masih memiliki banyak ruang terbuka. Bapak kemudian menyibukan diri dengan membuka toko sepeda sekaligus bengkelnya.

Nanik sendiri adalah seorang lulusan terbaik dari universitasnya. Ia kemudian mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan studi manajemen di Swiss. Sepulang dari Swiss itulah, karirnya melaju pesat hingga menduduki posisinya sebagai seorang general manajer di perusahaan eropa yang bergerak di bidang general trading.

Lelaki itu bernama Zulkarnain. Hari itu dia datang  ke rumah bersama ayahnya atas undangan Bapak untuk makan malam. Nostalgia, begitu undangan Bapak katanya. Nanik sudah memesan makanan dari restaurant langganannya untuk hidangan makan malam itu dan mempersiapkannya di meja makan.

“Apa kabar, Darwin” Bapak menyambut tamunya dengan hangat “Lama tak jumpa, kemana saja kau”

“Kabar baik, kawanku Sudrajat. Kita di sekitar sini saja…”dua lelaki paruh baya itu saling berjabat tangan
sambil tertawa.

Setelah sedikit menanyakan kabar ini itu, Pak Darwin mengenalkan putranya, Zulkarnain. “Ini dia anakku, Zul. Aku lebih suka tinggal bersamanya daripada bersama anaku yang lain. Rumahnya paling ramai oleh lima orang cucu-cucuku ” Pak Darwin tertawa tapi  dari nada suaranya sangat bangga, “Seperti kau tahu, istri Zul meninggal saat melahirkan anak bungsunya. Kasihan Lilia, tak sempat digendong ibunya”

Nama anak bungsunya adalah Lilia, gumam Nanik.

Bapak langsung mengajak kedua tamunya ke meja makan, “Kita langsung makan saja. Ngobrol sambil menyantap makan malam yang sudah disiapkan Nanik pasti akan lebih mengasyikan” Katanya mempersilahkan.

“Jadi kau tinggal berdua dengan Nanik saja, Drajat?” Tanya Pak Darwin ketika  mereka sudah duduk di meja makan.

Bapak mengangguk, “Sejak istriku meninggal, Nanik inilah yang menjagaku. Sampai-sampai ia lupa untuk mencari suami gara-gara sibuk menjagaku”

Nanik tersenyum sipu digoda Bapak demikian.

“Sama anakku Zul saja, Nik. Bagaimana? Walaupun duda, tapi saya jamin ia lelaki yang baik dan penyayang pada keluarganya, “Pak Darwin langsung menembak, “Satu lagi, saya mendidiknya dengan keras soal kejujuran, apalagi sebagai hakim tanggung jawabnya di akhirat itu berat sekali kalau ia tak jujur. Jadi kamu tidak perlu risau bakal dikasih uang haram dari si Zul ini. Bagaimana?”

Nanik gelagapan ditembak seperti itu oleh Pak Darwin.

“Ayah…” Zul yang sedari tadi diam, mengingatkan Ayahnya.

“Ya ndak apa-apa tho Zul, kamu juga kan perlu pendamping buat ngingetin kamu. Ayah ini sudah semakin tua. Kalau Ayah meninggal nanti, siapa nanti yang akan mengingatkan kamu soal kejujuran?”

“Tapi kan kasihan Naniknya, Yah. Ditembak begitu sama Ayah” Sahut Zul.

Pak Darwin menoleh pada Nanik, “Kamu tersinggung tho, Nik?. Yaa….maklumlah. Saya sama Bapakmu ini suka ngomong blak-blakan, karena kami berdua senang dengan yang namanya transparansi. Bukan begitu, Drajat?”

Bapak mengangguk-angguk sambil tersenyum, ia mengacungkan jempolnya tanda setuju.

“Cuma ya…Zul ini anaknya sudah lima, Nik” Nada suara Pak Darwin melembut. Tidak berkobar-kobar seperti tadi, “Biasanya ini yang jadi alas an perempuan menolak si Zul ini. Kalau baru satu atau dua anak, barangkali masih bisa dipertimbangkan. Tapi lima anak? “ Pak Darwin menggeleng-gelengkan kepala.

“Lima anak yang Insya Allah menjadi generasi yang baik, Yah “ Timpal Zul. Tak mau kalah.

“Ya itu alasannya kalau Bapak suruh ikut KB dulu. Katanya toh ia orang baik, jadi tak ada salahnya punya anak banyak. Supaya lebih banyak orang baik di dunia ini. Makanya saya wanti-wanti sekali soal kejujuran. Bagaimanapun juga, banyak anak banyak kebutuhan. Sementara pekerjaannya sebagai hakim sangat dekat dengan ketidakjujuran. Saya ndak mau dalam darah cucu saya mengalir uang haram!”

Nanik menoleh kearah Bapak. Ia heran Bapak diam saja, tidak banyak menimpali percakapan Pak Darwin dan Zul. Merasa dilihat putrinya, Bapak menoleh kearah Nanik dan mengerlingkan matanya. Nanik terperanjat, maksud Bapak apa?.

“Zul ini juga baik agamanya lho, Nik. Rajin sholat dan baca Al-Qur’an. Pokoknya kamu dapat pemimpin yang baik kalau mau sama anakku ini” Tambah Pak Darwin mempromosikan Zul.

Nanik yang sedari tadi tersenyum saja menanggapi obrolan Pak Darwin, jadi menoleh kea rah Zul. Lelaki itupun rupanya tengah memandangnya. Zul tersenyum mengangguk. Nanik jadi kikuk dan salah tingkah. Ada desir halus dalam hatinya pada lelaki itu. Desir yang belum pernah dirasakannya sebelumnya.

“Wah, kalau begitu kebetulan, Darwin !” Sahut Bapak tiba-tiba. “Nanik ini akhir-akhir ini bilang padaku kalau ia mau mundur dari kantornya, karena mau belajar agama sama kyai di pesantren katanya. Mbok belajar sama Zul aja, gimana Zul?. Jadi Nanik ndak perlu pake mundur segala”

Nanik membelalakkan matanya kearah Bapak. Lagi-lagi Bapak hanya mengerlingkan mata.

“Saya siap, Pak Drajat” Jawab Zul sama sekali diluar dugaan Nanik.

Mendengar jawaban Zul, spontan Nanik juga mendelikkan matanya kearah Zul. Lelaki itu malah senyum-senyum saja.

“Gimana, Nik? Dari tadi kamu belum bicara satu katapun” Tanya Pak Darwin lagi.

Nanik salah tingkah, “Hm..e….nanti saya pikirkan, Om”

“Ya sudah, kalau begitu. Nanti tinggal kamu kabari saja si Zul ini. Kamu ada nomor telponnya ndak?. Zul, ayo kasih kartu namamu buat Nanik” Pak Darwin menoleh ke Zul.

Zul langsung merogoh saku kemejanya, “Ini, sudah saya siapkan” Zul menyodorkan kartu namanya pada Nanik. Perempuan itu menerimanya dengan perasaan campur aduk antara senang dan malu.

Pak Darwin dan Bapak kemudian mengalihkan pembicaraan ke hal-hal yang lebih umum. Sesekali Zul dan Nanik memberi komentar.

Ketika kedua tamunya sudah pulang, Bapak menatap Nanik, “Bagaimana, Nduk? Cocok ngga kamu sama dia?”

Nanik menunduk tersipu, “Kelihatannya dia lelaki yang baik, Pak. Sopan. Tapi lima anak, Pak?”

Bapak menepuk pundak Nanik, “Semua kembali pada niatmu, Nduk. Waktu kau minta Bapak mencarikan calon, Bapak yakin kau mempunyai niat yang kuat di lubuk hatimu. Coba kamu pikirkan lagi apa yang jadi latar belakang niatmu itu. Bapak tidak memaksa, kamu yang akan menjalaninya”

Nanik memandang punggung Bapak yang melangkah masuk ke dalam rumah. Iya, latar belakang niatku meminta dicarikan calon pada Bapak adalah niat melaksanakan separuh agama seperti kata Aryo, Gumam Nanik. Dan Zul bukan calon yang jelek. Hakim yang jujur katanya. Pasti berat sekali menjadi lelaki itu. Hmm….

***

“Apalagi yang membuatmu masih jalan di tempat?” Tanya Aryo spontan saat Nanik selesai bercerita tentang Zul padanya.

“Lima… anak?” Sahut Nanik mengernyitkan dahi, “Belum jika aku nanti punya anak sendiri. Mau jadi berapa anakku? Selusin?”

“Apa salahnya selusin?” Aryo menahan tawa

“Aryo!”

Aryo berdiri, “Begini deh, Nik. Kau bukan orang yang bodoh, OK? Lulusan terbaik dan sudah general manajer pula. Sekarang berapa banyak anak buahmu dikantor ini?. Hei…bahkan akupun anak buahmu kan?. Lima anak bukan tandingan, dong?”

Pikiran Nanik sedikit terbuka dengan pernyataan Aryo. Ya, semuanya kelihatan mudah. Apalagi yang masih menahan langkahku? Gumam Nanik.

Sesampai di rumah, Nanik  segera menemui Bapak, “Apa ada kabar dari Zul, Pak?”

Bapak menurunkan buku yang tengah dibacanya, “Tentu saja, Nduk. Zul sudah pernah menelepon Bapak menanyakan apakah kau bersedia menikah dengannya. Bapak bilang tunggu beberapa hari lagi” Bapak menghela nafas, “Keputusanmu bagaimana?”

Nanik menatap Bapak, “Nanik bersedia, Pak”

“Kau jatuh cinta padanya?”

Nanik menggeleng,”Nanik ndak tahu, Pak. Yang Nanik tahu, Nanik ingin menikah untuk menyempurnakan separuh agama saja. Dan sejauh ini tak ada bagian dari Zul yang menghalangi Nanik menyempurnakannya dengan dia”

Bapak mengerjapkan matanya, sedikit tak percaya dengan pendengarannya, “Kau sudah mulai belajar agama dengan seorang kyai?”

“Belum, Pak. Memangnya kenapa?”

Bapak mengangguk-angguk, “Tidak apa-apa. Bapak sedikit takjub dengan niatmu. Kalau begitu, biar Bapak yang urus selebihnya dengan Zul. Kau siapkan diri dan mentalmu saja”

Seolah tak ingin menunda kabar baik itu lebih lama. Bapak segera menghubungi Zul dan menyelesaikan tetek bengek urusan pernikahan. Nanik sampai terkagum-kagum tak mengira Bapak menentukan hari pernikahannya tepat satu bulan berikutnya.

Aryo ternganga menerima undangan dari Nanik, matanya terbelalak kemudian menggeleng-gelengkan kepala, “Super Ekspress……..”Komentarnya spontan. Nanik hanya tertawa. Ada rona bahagia terpancar dari wajahnya.

Tuuut…Tuuut…Tuuuut……handphone Nanik bergetar. Ada sms masuk.

Jeng Nanik, maaf tapi kalau boleh, untuk meyakinkan hati saya sebelum kita menikah, bolehkan saya tahu alasan Jeng Nanik menerima lamaran saya?. Mengingat kita baru sekali bertemu. Zulkarnain.

Nanik membalas segera:

Sudah tiga puluh tahun saya hidup untuk diri saya dengan mencintai dunia dan isinya. Saya takkan melewatkan kesempatan untuk memulai hidup baru  dengan belajar mencintai Allah dan menyempurnakan separuh agama saya. Separuhnya lagi saya harap bisa belajar darimu. Nanik.

Di kantornya, tangan Zul yang memegang handphone bergetar membaca balasan sms Nanik. Lelaki itu memejamkan matanya sambil mengucap beribu syukur pada Tuhan.

Selesai



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Proses (Kreatif) Dibalik Buku Anak : Mengenal Tanda Kebesaran Allah SWT

Alhamdulillahi Robbil 'Alamiin Tahun 2015 kemarin ditutup dengan terbitnya buku solo perdana saya. Buku anak berjudul "Mengenal Tanda-Tanda Kebesaran Allah SWT", diterbitkan oleh Al-Kautsar Kids (Pustaka Alkautsar Group). Buku setebal 152 halaman ini telah menempuh perjalanan yang cukup panjang sejak idenya muncul hingga terbit.  Berawal dari perjalanan saya, suami, dan dua anak saya naik motor bolak-balik dari rumah ke masjid setiap waktu sholat tiba.  Saat maghrib, isya dan subuh, saya selalu memandangi langit yang gelap. Di antara kerlip bintang di sana, saya melihat bulan dalam bentuk yang selalu berbeda. Kadang sabit tipiiis serupa alis, kadang cembung gendut lucu, kadang purnama bulat sempurna dengan cahaya berpendar-pendar, indah sekali.  Lalu timbullah tanya dalam hati, dalam Al-Qur'an Allah SWT berfirman bahwa tidaklah Dia menciptakan segala sesuatu di alam semesta ini dengan sia-sia. Tapi mengapa rasa di hati saya terhadap bulan tak lebih hanya hi...

Tiga Langkah Pertamaku

(Juara 2 lomba menulis " Capture Your Gain Moment " yang di selenggarakan oleh Majalah Parents Guide, bulan Desember 2010) Menjelang usia sembilan bulan anakku, Farraas. Aku menjadi full time mom.  Jika dulu pengasuhnya sangat hati-hati menjaga karena tentu saja takut aku marahi kalau terjadi apa-apa. Aku cenderung membiarkan dan tidak menahannya menjelajah seisi rumah. Aku hanya mengamati benda-benda disekitarnya kalau-kalau bisa membahayakannya. Selebihnya,kubiarkan ia menantang dirinya sendiri, merangkak, memegang ini itu, menjangkau benda yang lebih tinggi, lalu mulai berdiri. Awalnya aku terpana melihat ia berdiri sendiri dengan kaki gemetar, mungkin kakinya belum kuat. Ia menangis lalu jatuh terduduk. Aku hanya tersenyum seraya berkata, “Bagus, Nak. Ayo teruskan!”. Dua hari kemudian, Farraas mulai menantang dirinya untuk menggerakkan kakinya selangkah dengan tangan berpegangan di sofa. Satu langkah masih gemetar, ia menangis, namun sekali lagi aku katakan, “Ba...

Indeks Pembangunan Manusia, Indeks Membaca dan Korupsi

Sudah lama saya ingin tahu dan menulis mengenai hubungan korupsi, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan Indeks Membaca, adakah hubungan yang saling berkaitan? KORUPSI Dari data “Political & Economic Risk Consultancy” (PERC) – Hongkong yang dirilis pada tanggal 8 Maret 2010, Indonesia menduduki peringkat pertama sebagai negara paling korup se-asia pasifik. Berikut urutan lengkapnya: Indonesia (terkorup) Kamboja (korup) Vietnam (korup) Filipina (korup) Thailand India China Taiwan Korea Macau Malaysia Jepang Amerika Serikat (bersih) Hong Kong (bersih) Australia (bersih) Singapura (terbersih) Penilaian didasarkan atas pandangan ekskutif bisnis yang menjalankan usaha di 16 negara terpilih. Total responden adalah 2,174 dari berbagai kalangan eksekutif kelas menengah dan atas di Asia, Australia, dan Amerika Serikat. Masih data PERC 2010, dalam kurun 2008-2010, peringkat korupsi Indonesia meningkat dari 7.98 (2008.), 8.32 (2009) dan naik menjadi 9.07 (2010) dari angka...