Oleh : Pida Siswanti
Setelah berjalan kaki kira-kira tiga ratus meter dari rumah, gedung taman kanak-kanak itu mulai kelihatan. Berbagai celoteh bocah-bocahsudah mulai terdengar. Gadis kecil berseragam orange yang berjalan disampingku menatapku sambil tersenyum. Aku tahu benar makna senyum itu. Senyum yang selalu tersungging tiap kali memasuki gerbang taman kanak-kanaknya. Walaupun sebenarnya ia masih di kelompok bermain, tapi melihat kakak-kakak kelas TK A dan TK B bermain, berbaris, dan mengucap ikrar itu selalu membuatnya senang.
"Assalamu'alaikum Naia, apa kabar pagi ini?" Sambut Miss Maryam, guru kelas gadis berseragam orange itu.
Naia tidak menjawab, ia hanya tersenyum sambil mencium tangan Miss Maryam.
"Kemarin kan Naia cerita sama Miss, katanya Naia mau beli motor scoopy warna pink supaya Naia ngga usah jalan kaki lagi ke sekolah" Miss Maryam bergantian menatapku dan Naia.
"O, iya?" Aku terkejut juga. Bukan terkejut dengan isi ceritanya, tetapi sama sekali tak menyangka Naia akan menceritakan hal itu kepada gurunya. Papanya memang pernah berkata akan membelikan motor scoopy warna pink, tapi itu sudah lama sekali, hampir tiga bulan yang lalu. Bahkan kami sudah sepakat menundanya karena gedung taman kanak-kanak Naia dekat, kami memilih untuk tetap jalan kaki atau membeli sepeda saja.
"Terus katanya kita harus menjaga kebersihan, semua sampah harus dibuang ke tempat sampahnya sendiri-sendiri, dipisah-pisah antara sampah organik, kertas dan plastik" Naia tersenyum-senyum malu mendengar gurunya bercerita tentang celotehnya kemarin padaku.
Aku tertawa. Kalau yang ini sebenarnya aku tak terlalu serius karena kupikir dia masih kecil, baru 4 tahun. Proyek memisahkan sampah sebenarnya hanya penghargaanku padanya karena ia sudah mau meniru suatu perbuatan baik. Waktu itu ia baru saja membaca buku cerita anak-anak tentang membuang sampah tidak sembarangan. Di buku itu dikisahkan tempat sampahnya ada tiga, buat sampah plastik, kertas dan organik. Ketika ia mengatakan ingin meniru, maka kubelikan ia tempat sampah baru di tukang perabotan keliling yang murah meriah. Aku tak menyangka Naia begitu seriusnya. Sampai saat ini tiap kali mau buang sampah, ia selalu bertanya padaku, "Ma, ini sampah apa? Plastik apa kertas apa organik?" sambil menunjuk bekas bungkus makanan yang baru dimakannya. Memang ia belum bertanya kenapa mesti dipisah, maka akupun tidak menjelaskan lebih lanjut.
Masih sambil mengusap rambut Naia yang lurus halus itu, Miss Maryam masih terus bercerita, "terus katanya kalau Om Naia nikah di Surabaya nanti, Naia mau ke sana naik pesawat. Naia udah naik semua katanya bus, angkot, kapal, ojek, bajaj, becak...yang belum pesawat doang. Katanya yang paling enak naik angkot...ya Nai?"
Waduh, kok jadi semuanya diceritakan. Aku jadi sedikit malu. Tapi itu jadi pengingat buatku agar lain kali berhati-hati berbicara di depan anak. Apalagi kalau masih berupa wacana dalam keluarga. Naia tak salah. Adalah naluri anak-anak untuk selalu bercerita. Bagi mereka semakin banyak ia bisa bercerita maka semakin hebat kelihatannya. Mereka adalah pencerita terbaik tentang isi rumah. Bahkan suatu rahasia rumah bisa bocor lewat mulut mungilnya. Ups.....
Setelah cium tangan, Naia masuk ke halaman gedung taman kanak-kanaknya bersama Miss Maryam. Kulihat dengan gembira dia menyapa teman-temannya yang sudah menunggu di teras.
Depok, 18 Oktober 2010
Setelah berjalan kaki kira-kira tiga ratus meter dari rumah, gedung taman kanak-kanak itu mulai kelihatan. Berbagai celoteh bocah-bocahsudah mulai terdengar. Gadis kecil berseragam orange yang berjalan disampingku menatapku sambil tersenyum. Aku tahu benar makna senyum itu. Senyum yang selalu tersungging tiap kali memasuki gerbang taman kanak-kanaknya. Walaupun sebenarnya ia masih di kelompok bermain, tapi melihat kakak-kakak kelas TK A dan TK B bermain, berbaris, dan mengucap ikrar itu selalu membuatnya senang.
"Assalamu'alaikum Naia, apa kabar pagi ini?" Sambut Miss Maryam, guru kelas gadis berseragam orange itu.
Naia tidak menjawab, ia hanya tersenyum sambil mencium tangan Miss Maryam.
"Kemarin kan Naia cerita sama Miss, katanya Naia mau beli motor scoopy warna pink supaya Naia ngga usah jalan kaki lagi ke sekolah" Miss Maryam bergantian menatapku dan Naia.
"O, iya?" Aku terkejut juga. Bukan terkejut dengan isi ceritanya, tetapi sama sekali tak menyangka Naia akan menceritakan hal itu kepada gurunya. Papanya memang pernah berkata akan membelikan motor scoopy warna pink, tapi itu sudah lama sekali, hampir tiga bulan yang lalu. Bahkan kami sudah sepakat menundanya karena gedung taman kanak-kanak Naia dekat, kami memilih untuk tetap jalan kaki atau membeli sepeda saja.
"Terus katanya kita harus menjaga kebersihan, semua sampah harus dibuang ke tempat sampahnya sendiri-sendiri, dipisah-pisah antara sampah organik, kertas dan plastik" Naia tersenyum-senyum malu mendengar gurunya bercerita tentang celotehnya kemarin padaku.
Aku tertawa. Kalau yang ini sebenarnya aku tak terlalu serius karena kupikir dia masih kecil, baru 4 tahun. Proyek memisahkan sampah sebenarnya hanya penghargaanku padanya karena ia sudah mau meniru suatu perbuatan baik. Waktu itu ia baru saja membaca buku cerita anak-anak tentang membuang sampah tidak sembarangan. Di buku itu dikisahkan tempat sampahnya ada tiga, buat sampah plastik, kertas dan organik. Ketika ia mengatakan ingin meniru, maka kubelikan ia tempat sampah baru di tukang perabotan keliling yang murah meriah. Aku tak menyangka Naia begitu seriusnya. Sampai saat ini tiap kali mau buang sampah, ia selalu bertanya padaku, "Ma, ini sampah apa? Plastik apa kertas apa organik?" sambil menunjuk bekas bungkus makanan yang baru dimakannya. Memang ia belum bertanya kenapa mesti dipisah, maka akupun tidak menjelaskan lebih lanjut.
Masih sambil mengusap rambut Naia yang lurus halus itu, Miss Maryam masih terus bercerita, "terus katanya kalau Om Naia nikah di Surabaya nanti, Naia mau ke sana naik pesawat. Naia udah naik semua katanya bus, angkot, kapal, ojek, bajaj, becak...yang belum pesawat doang. Katanya yang paling enak naik angkot...ya Nai?"
Waduh, kok jadi semuanya diceritakan. Aku jadi sedikit malu. Tapi itu jadi pengingat buatku agar lain kali berhati-hati berbicara di depan anak. Apalagi kalau masih berupa wacana dalam keluarga. Naia tak salah. Adalah naluri anak-anak untuk selalu bercerita. Bagi mereka semakin banyak ia bisa bercerita maka semakin hebat kelihatannya. Mereka adalah pencerita terbaik tentang isi rumah. Bahkan suatu rahasia rumah bisa bocor lewat mulut mungilnya. Ups.....
Setelah cium tangan, Naia masuk ke halaman gedung taman kanak-kanaknya bersama Miss Maryam. Kulihat dengan gembira dia menyapa teman-temannya yang sudah menunggu di teras.
Depok, 18 Oktober 2010
Komentar
Posting Komentar