Setiap saat manusia memilih. Setiap saat kita membuat keputusan. Ada pilihan yang bisa langsung kita tentukan saat itu juga tanpa banyak pertimbangan. Ada juga putusan yang makan waktu berbulan-bulan bahkan tahun untuk dibuat. Tergantung bagaimana pilihan itu hadir di hadapan kita.
Pilihan itu sudah hadir dalam benakku hampir dua tahun yang lalu. Mengungkapkannya pada pasanganku pun perlu waktu berbulan. Semula bisa aku lupakan dengan kepadatan waktu bekerja di kantor lalu menghabiskan waktu dua tiga jam dalam perjalanan menuju rumah. Tiba dirumah, kelelahan sudah mendera, meski bertemu si kecil tak jua mampu menghilangkan beban dari pundakku selamanya. Aku teringat dan teringat kembali dengan pilihan itu.
Pilihan itu tak mudah. Amat terjal berliku memenuhi lorong-lorong hatiku. Tak hanya selama proses memunculkannya dan mendapat persetujuan pasanganku. Pun tatkala saat ini pilihan itu telah enam bulan aku lalui. Menjadi ibu di rumah adalah pilihan paling tidak populer di kalangan perempuan saat ini.
"Aduh..sayang banget, Mba. Menjadi ibu rumah tangga tak perlu lulusan ITB, Mba"
"Buat ngitung cabe dan bawang mah ngga perlu lulusan S1, Mba"
"Ah...taruhan paling cuma beberapa bulan. Bentar lagi juga pasti kerja lagi"
"Yah...sayang banget. Ngapain di rumah paling bengong aja"
"Anak-anak cuma butuh kamu sampai mereka sekolah, nanti kalau mereka sudah sekolah kamu ngga ada kerjaan lagi di rumah"
"Kamu akan dipandang rendah, Mba. Kenapa kamu memilih pekerjaan para baby sitter dan pembantu rumah tangga?. Mendingan kamu kerja dapat duit, sebagian sedikit kamu berikan pada baby sitter dan pembantu, selebihnya bisa buat senang-senang"
"Yang penting adalah kualitas waktu bertemu dengan anak, bukan kuantitasnya"
"Aduh Mba, nanti kerjamu cuma ngerumpi bersama ibu-ibu dan para pembantu. Ngomongin orang atau malah menjelekan suami sendiri"
"Sayang banget Mba, ilmu dan pengetahuanmu di industri ini akan kamu sia-siakan begitu saja. Sebentar lagi kamu akan dapat promosi lho"
"Ingat umurmu, Mba. Sudah tiga puluh tahun lebih. Apa kau yakin akan memulai hidup baru dari nol lagi dengan meninggalkan industri ini?"
"Pindah saja ke kantorku ya, nanti aku bilang sama HRDnya, mau?"
"Yakin? Jalan itu godaannya banyak lho! Yakin kuat?"
"Pilihanmu kok kampungan sekali sih?"
Duuuhhh...benar-benar pilihan yang berat. Namun kenapa selama ini aku merasa tidak berguna? Kenapa selama ini aku merasa menyia-nyiakan hidupku hanya dengan mencari gaji sekian juta namun tidak memberikan kontribusi apapun pada masyarakat. Pergi gelap pulang gelap, apakah memang kegelapan yang akan mengiringiku sepanjang hidupku?.
Aku melewatkan banyak waktu untuk anakku, amanah yang diberikan padaku oleh yang menciptakan aku. Apa yang akan aku katakan kelak pada-Nya saat nanti Ia bertanya?. Bahwa aku belum melakukan hal terbaik dari diriku untuk amanah-amanah itu, itu jawabanku jujur jauh di lubuk hati. Tak ada yang tahu selain aku dan Dia.
Aku melewatkan banyak waktu untuk belajar menjadi sebaik-baik perhiasan dunia. Duh, wahai kemanakah kelembutan dan keridloan hati menghadapi sang suami. Kejar-kejaran dengan deadline membuat hati ini rasanya kemrungsung dan demikian gundah gulana dan gampang marah. Bahkan sampai terbawa dalam mimpi-mimpi malamku. Jika aku demikian all out saat bekerja bersama dengan sesama rekan kerja, mengapa aku kehilangan jiwa terbaikku saat bergandeng bersama suami untuk menunaikan amanah-amanah ini kepada-Nya. Pengertian suami atas kesibukanku tak mampu menutupi rintihan hati ini bahwa sebaik-baik perhiasan dunia itu rasanya semakin jauh dari jangkauan.
Aku pun melewatkan banyak pertemuan dengan-Nya. Aku rindu, sangat rindu dengan pertemuan mesra yang pernah aku rasakan kala menghadap-Nya. Aku rindu tetesan air mata saat mengadu atau sekedar berterima kasih pada-Nya. Apalah arti dunia ini kalau hatimu merasa beku?.
Aku semakin merasa tak berguna kala sering kali berpapasan dengan anak-anak dibawah umur yang beramai-ramai konvoi usai kesebelasan sepakbolanya bertanding, memenuhi metromini sampai ke atap-atapnya lalu membuat kegaduhan dengan memukul apa saja yang bisa dipukul guna mengirinya lagu dan yel-yel ciptaan mereka. Kemanakah orang tua mereka? Tahukah? Tak adakah kegiatan lain yang lebih menarik untuk anak-anak muda itu?. Tak adakah yang mendampingi mereka saat pencarian jati diri itu? Siapa yang paling bertanggung jawab atas tingkah laku mereka?. Bunda dan Ayahnya tentu saja. Dan aku adalah Bunda, aku ingin ada disamping anakku saat mereka mencari jati diri itu. Aku ingin menunjukan dengan tanganku sendiri mana jalan para pembaharu kebaikan dan sebaik-baik suri tauladan. Aku tak ingin anak-anakku menyia-nyiakan waktu terbaiknya saat menguatkan karakter baik dalam dirinya.
Untukku sendiri, aku ingin kerjaku memberi kontribusi untuk alam dan sesama manusia. Tak sekedar bekerja untuk sebuah profit. Maka akhirnya aku memilih jalan ini, dengan berkali-kali menyebut nama-Nya. Karena aku tak ingin dianggap-Nya tak bersyukur atas nikmat-Nya padaku selama ini.
Ternyata memang luar biasa terjal jalan yang kupilih ini. Bahkan berkali-kali suamiku mengingatkan bahwa posisiku saat ini masih dipandang rendah. Hanya dengan ijin-Nya aku bisa meninggikan diriku, itupun jika aku melakukan hal-hal yang mencerminkan hal itu.
Menanamkan karakter baik keluarga adalah misi pertama dan menularkannya adalah hal kedua. Keluarga adalah tiang utama sebuah negara, maka karakter sebuah bangsa ditentukan oleh karakter keluarga-keluarganya. Jika saat ini karakter bangsa ini sangat memprihatinkan, aku tak mau hanya berdoa memohon perubahan pada-Nya, pertama karena itu selemah-lemahnya iman dan aku tak mau memilih iman yang seperti itu, kedua karena Allah sendiri berkata bahwa Ia takkan mengubah nasib suatu kaum jika kaum itu tak mau mengubah dirinya sendiri. Aku ingin membuat suatu tindakan nyata lewat keluargaku, dimana aku mempunyai kekuatan untuk mengubahnya. Maka aku kembali kepada fungsi utama perempuan, yaitu tiang keluarga. Meski dipandang rendah, tapi aku tak memandang rendah diriku. Bukankah tiap-tiap perempuan dan laki-laki mendapatkan imbalan atas apa yang dikerjakannya?.
Pilihan itu sudah hadir dalam benakku hampir dua tahun yang lalu. Mengungkapkannya pada pasanganku pun perlu waktu berbulan. Semula bisa aku lupakan dengan kepadatan waktu bekerja di kantor lalu menghabiskan waktu dua tiga jam dalam perjalanan menuju rumah. Tiba dirumah, kelelahan sudah mendera, meski bertemu si kecil tak jua mampu menghilangkan beban dari pundakku selamanya. Aku teringat dan teringat kembali dengan pilihan itu.
Pilihan itu tak mudah. Amat terjal berliku memenuhi lorong-lorong hatiku. Tak hanya selama proses memunculkannya dan mendapat persetujuan pasanganku. Pun tatkala saat ini pilihan itu telah enam bulan aku lalui. Menjadi ibu di rumah adalah pilihan paling tidak populer di kalangan perempuan saat ini.
"Aduh..sayang banget, Mba. Menjadi ibu rumah tangga tak perlu lulusan ITB, Mba"
"Buat ngitung cabe dan bawang mah ngga perlu lulusan S1, Mba"
"Ah...taruhan paling cuma beberapa bulan. Bentar lagi juga pasti kerja lagi"
"Yah...sayang banget. Ngapain di rumah paling bengong aja"
"Anak-anak cuma butuh kamu sampai mereka sekolah, nanti kalau mereka sudah sekolah kamu ngga ada kerjaan lagi di rumah"
"Kamu akan dipandang rendah, Mba. Kenapa kamu memilih pekerjaan para baby sitter dan pembantu rumah tangga?. Mendingan kamu kerja dapat duit, sebagian sedikit kamu berikan pada baby sitter dan pembantu, selebihnya bisa buat senang-senang"
"Yang penting adalah kualitas waktu bertemu dengan anak, bukan kuantitasnya"
"Aduh Mba, nanti kerjamu cuma ngerumpi bersama ibu-ibu dan para pembantu. Ngomongin orang atau malah menjelekan suami sendiri"
"Sayang banget Mba, ilmu dan pengetahuanmu di industri ini akan kamu sia-siakan begitu saja. Sebentar lagi kamu akan dapat promosi lho"
"Ingat umurmu, Mba. Sudah tiga puluh tahun lebih. Apa kau yakin akan memulai hidup baru dari nol lagi dengan meninggalkan industri ini?"
"Pindah saja ke kantorku ya, nanti aku bilang sama HRDnya, mau?"
"Yakin? Jalan itu godaannya banyak lho! Yakin kuat?"
"Pilihanmu kok kampungan sekali sih?"
Duuuhhh...benar-benar pilihan yang berat. Namun kenapa selama ini aku merasa tidak berguna? Kenapa selama ini aku merasa menyia-nyiakan hidupku hanya dengan mencari gaji sekian juta namun tidak memberikan kontribusi apapun pada masyarakat. Pergi gelap pulang gelap, apakah memang kegelapan yang akan mengiringiku sepanjang hidupku?.
Aku melewatkan banyak waktu untuk anakku, amanah yang diberikan padaku oleh yang menciptakan aku. Apa yang akan aku katakan kelak pada-Nya saat nanti Ia bertanya?. Bahwa aku belum melakukan hal terbaik dari diriku untuk amanah-amanah itu, itu jawabanku jujur jauh di lubuk hati. Tak ada yang tahu selain aku dan Dia.
Aku melewatkan banyak waktu untuk belajar menjadi sebaik-baik perhiasan dunia. Duh, wahai kemanakah kelembutan dan keridloan hati menghadapi sang suami. Kejar-kejaran dengan deadline membuat hati ini rasanya kemrungsung dan demikian gundah gulana dan gampang marah. Bahkan sampai terbawa dalam mimpi-mimpi malamku. Jika aku demikian all out saat bekerja bersama dengan sesama rekan kerja, mengapa aku kehilangan jiwa terbaikku saat bergandeng bersama suami untuk menunaikan amanah-amanah ini kepada-Nya. Pengertian suami atas kesibukanku tak mampu menutupi rintihan hati ini bahwa sebaik-baik perhiasan dunia itu rasanya semakin jauh dari jangkauan.
Aku pun melewatkan banyak pertemuan dengan-Nya. Aku rindu, sangat rindu dengan pertemuan mesra yang pernah aku rasakan kala menghadap-Nya. Aku rindu tetesan air mata saat mengadu atau sekedar berterima kasih pada-Nya. Apalah arti dunia ini kalau hatimu merasa beku?.
Aku semakin merasa tak berguna kala sering kali berpapasan dengan anak-anak dibawah umur yang beramai-ramai konvoi usai kesebelasan sepakbolanya bertanding, memenuhi metromini sampai ke atap-atapnya lalu membuat kegaduhan dengan memukul apa saja yang bisa dipukul guna mengirinya lagu dan yel-yel ciptaan mereka. Kemanakah orang tua mereka? Tahukah? Tak adakah kegiatan lain yang lebih menarik untuk anak-anak muda itu?. Tak adakah yang mendampingi mereka saat pencarian jati diri itu? Siapa yang paling bertanggung jawab atas tingkah laku mereka?. Bunda dan Ayahnya tentu saja. Dan aku adalah Bunda, aku ingin ada disamping anakku saat mereka mencari jati diri itu. Aku ingin menunjukan dengan tanganku sendiri mana jalan para pembaharu kebaikan dan sebaik-baik suri tauladan. Aku tak ingin anak-anakku menyia-nyiakan waktu terbaiknya saat menguatkan karakter baik dalam dirinya.
Untukku sendiri, aku ingin kerjaku memberi kontribusi untuk alam dan sesama manusia. Tak sekedar bekerja untuk sebuah profit. Maka akhirnya aku memilih jalan ini, dengan berkali-kali menyebut nama-Nya. Karena aku tak ingin dianggap-Nya tak bersyukur atas nikmat-Nya padaku selama ini.
Ternyata memang luar biasa terjal jalan yang kupilih ini. Bahkan berkali-kali suamiku mengingatkan bahwa posisiku saat ini masih dipandang rendah. Hanya dengan ijin-Nya aku bisa meninggikan diriku, itupun jika aku melakukan hal-hal yang mencerminkan hal itu.
Menanamkan karakter baik keluarga adalah misi pertama dan menularkannya adalah hal kedua. Keluarga adalah tiang utama sebuah negara, maka karakter sebuah bangsa ditentukan oleh karakter keluarga-keluarganya. Jika saat ini karakter bangsa ini sangat memprihatinkan, aku tak mau hanya berdoa memohon perubahan pada-Nya, pertama karena itu selemah-lemahnya iman dan aku tak mau memilih iman yang seperti itu, kedua karena Allah sendiri berkata bahwa Ia takkan mengubah nasib suatu kaum jika kaum itu tak mau mengubah dirinya sendiri. Aku ingin membuat suatu tindakan nyata lewat keluargaku, dimana aku mempunyai kekuatan untuk mengubahnya. Maka aku kembali kepada fungsi utama perempuan, yaitu tiang keluarga. Meski dipandang rendah, tapi aku tak memandang rendah diriku. Bukankah tiap-tiap perempuan dan laki-laki mendapatkan imbalan atas apa yang dikerjakannya?.
Komentar
Posting Komentar