Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari 2011

Reformasi Diri

Tengoklah headline di koran atau televisi, semua masih mengabarkan tentang ketidakmampuan negeri ini menyelesaikan masalahnya. Jika ada yang diusut pun, seolah disengaja tak mencapai akar permasalahannya, hanya karena menyangkut kepentingan segelintir orang. Sehingga laksana jamur, masalah itu tumbuh lagi dan lagi.  Generasi yang kini memimpin negeri ini terus berkutat dalam masalah korupsi, kolusi, berebut jabatan, dan suap. Generasi mudanya masih belum usai dari aksi bentrok, tawuran, narkoba, dan contek-menyontek. Semua seakan berlomba berbuat curang. Mengapa curang menjadi kebanggaan? Generasi harapan yang kini tengah membentuk karakter, mereka yang masih di sekolah dasar dan menengah, tergeragap dijejali hafalan seribu satu pelajaran akademik di sekolah. Sibuk menghafal sedemikian banyak materi akademik sehingga sering kehilangan waktu untuk berpikir kritis, apalagi melangkah lebih lanjut pada menganalisa lalu mengaplikasikan dalam kehidupan bermasyarakat. Kehilangan kesemp...

Anakku Bertanya Tentang Amal

Selama ini, aku cenderung sangat berhati-hati jika berbicara tentang hal-hal yang tak kasat mata dengan Nailah, anak perempuanku yang baru berusia 4.5 tahun. Misalnya tentang Allah, surga, neraka, alam kubur, kematian dan lain sebagainya. Entahlah, aku merasa seperti terlalu pagi menerangkan hal ini kepada anak yang baru lahir kemarin. Seolah menceritakan kematian pada sebuah kelahiran. Serupa saat kita baru saja menginjakkan kaki  di rumah saudara jauh sudah ditanya "Kapan pulang?". Orang baru datang sudah ditanya pulang. Meski mungkin maksudnya supaya dia bisa lebih mudah mengatur acaranya. Tapi kok rasanya membuat kita sedikit tidak nyaman. Seperti itulah. Namun jika saatnya tiba, jika pertanyaan itu keluar langsung dari mulut mungil mereka, apa iya kita tidak menjawab. Bukankah jika anak sudah bertanya maka sejatinya ia siapa belajar dan berpikir. Seperti hari itu, suara merdu Opick mengusik keasyikan Nailah bermain boneka dinosaurus warna pink kesayangannya. "...

Karena Kita Bersaudara

Nailah si 4 tahun, dan adiknya, Farraas si 2 tahun, sedang bermain senter. Tak lama, terjadilah saling rebut senter antara Nailah dan adiknya. Farraas menangis ingin minta senter itu dari tangan kakaknya, sementara Nailah bersikeras menolak memberi. “Jem…jem…,” rengek Farraas. Maksudnya pinjem.  “Nailah, Adikmu kan sudah bilang baik-baik, kenapa Nailah ngga mau minjemin senternya? Nailah jadi anak pelit sekarang?” tanyaku membujuk. Nailah sedikit memberengut, “Tadi Nailah masih pengin main sama senternya, Ma. Jadi pelitnya banyak,” tangan mungilnya memberikan senter itu ke Farraas, “Tapi sekarang, pelitnya sedikit kok, Ma. Tuh, Nailah udah kasih Adek.” Aku tersenyum mendengar istilah pelitnya banyak dan pelitnya sedikit . Itu memang istilah khas Nailah mengatakan sesuatu yang abu-abu, sesuatu yang berada di antara, sesuatu yang sedang-sedang saja, banyak dan sedikit . “Begitu, dong! Sama saudara itu harus saling menyayangi,” aku memuji. “Nailah sama Dek Farraas itu saudara emang?...

Kera(h) Alvin

Field Trip keluarga hari Minggu ini ke kebun binatang Ragunan. Project Nailah adalah menggambar binatang. Nailah sudah menggambar zebra, gajah dan rusa. Binatang terakhir pilihan gadis cilik 4.5 tahun itu adalah burung merak. Banyak pengunjung mengerubungi kandang burung Merak. Sebagian mereka, terutama anak-anak, melingkari Nailah yang asyik menggambar. Beberapa tertawa, karena gambar Nailah memang jauh dari mirip. Tiba-tiba, terdengar suara wanita mengumumkan sesuatu. Berita anak hilang. “Mohon perhatian, telah ditemukan seorang anak laki-laki berusia sekitar lima tahun, mengaku bernama Alvin, dengan ciri-ciri memakai baju berkerah bergaris-garis oranye. Kepada orang tua yang kehilangan harap menghubungi pusat informasi.” Selang beberapa lama, pengumuman yang sama diulang. Selama kami menemani Nailah menggambar di dekat kandang burung merak  itu, ada sekitar lima kali pengumuman itu diulang. Barangkali orang tua si anak hilang ini tak kunjung datang. “Alvinnya di mana, Ma?” tan...

Unta Tidak Tinggal Di Gurun

Ketika melewati kandang unta, Nailah senang tak kepalang. Ia pun bernyanyi, “Di gurun yang panas, unta emas tinggal. Ia minum banyak air, dan disimpan di punuknya. Agar tidak jatuh saat menungganginya. Aku pegang erat punuknyaaaaaa…..” Jalan-jalan ke kebun binatang memang kesukaan gadis cilik berusia 4.5 tahun itu, putri pertamaku. Tiba-tiba, Nailah menggamit tanganku, “Mama bohong!” Nah! Tak ada angin, tak ada hujan, aku dibilang bohong. “Kok Mama bohong?” tanyaku menyelidik. “Iya, Mama bohong. Unta tidak tinggal di gurun, Ma! Di sini juga ada! Tuh, untanya!” Nailah menunjuk unta yang tengah dilihatnya. Aku terkekeh, “Unta itu tadinya tinggal di gurun, sayang!” sahutku, “Dia datang ke sini naik pesawat, atau mungkin naik kapal laut.” Nailah menatapku, matanya berbinar, “Dia naik pesawat sendirian? Teman-temannya masih tinggal di gurun?” Aku mengangguk, “Dia naik pesawat ditemani penjaganya. Teman-temannya yang lain, masih tinggal di gurun. Buanyaaaakkk…..” “Ooo…, Kenapa dia data...

Yang Sudah Besar dan Masih Kecil

Nailah, gadis cilik 4.5 tahunku, cukup mudah jika dimintai bantuan untuk mengurus adiknya, Farraas yang belum genap 2 tahun. Seperti memakaikan sepatu atau bahkan menggantikan celana. Jika Nailah terlihat sedikit malas, aku punya jurus ampuh, “Mama minta tolong, Nak? Nailah kan sudah besar, sudah bisa bantuin Mama.” Dibilang “sudah besar” biasanya langsung menyulut semangatnya melakukan permintaanku. Kala ia bertanya mengapa ia harus berangkat sekolah, aku menjawab, “Karena Nailah sudah besar, sudah empat tahun.” Nailah mengangguk-angguk, sangat bangga karena “sudah besar”. Suatu siang, aku sedang memotong-motong sayuran di lantai untuk masak sore. Aku beranjak membuka kulkas sebentar dan ketika kembali, kulihat Nailah sedang memegang pisau dan bergaya seolah memotong sesuatu. Reflek, aku larang dia. “Nai. Lepas pisaunya, Nak! Anak kecil belum boleh pakai pisau!” sergahku. Nailah langsung melepas pisaunya, tapi wajahnya manyun tak setuju,” “Nailah bukan anak kecil, Ma! Nailah udah be...

When They Know, You'll Know

Saya sangat terkesan dengan si penyu, Crush, ketika ia dan rombongannya menghanyutkan diri dalam arus Australia Timur. Anak lelakinya yang masih kecil, Dude, mencoba beratraksi dengan renang solo, loncat keluar dari arus deras tersebut lalu masuk kembali, menghantam dinding air yang sangat kuat. Penuh khawatir, Marlin, si ikan badut, bertanya pada Crush. “Hei, mengapa kau biarkan anakmu melakukan itu? Dia bisa celaka!” Dengan santai, Crush menjawab, “Dia bisa melakukannya, jangan khawatir.”   Benar, anak lelaki Crush berhasil masuk kembali dalam arus dan bergabung dengan rombongannya. Ia tampak melakukannya dengan sangat mudah dan penuh percaya diri. “Bagaimana kau tahu kapan dia bisa?” Marlin bertanya lagi. Ia memang punya masalah dengan anaknya, Nemo. Dia tak tahu bagaimana mencari tahu bahwa Nemo telah mampu melakukan sesuatu. Dan kesalahpahaman itu telah membawa Nemo terjaring seorang penyelam tempo hari. “Aku tidak tahu.” Crash menjawab yakin. Melihat Marlin mendelikkan ma...

Menunda dengan Ikhlas

Gairah untuk punya penghasilan sendiri, setelah setengah tahun berhenti bekerja, kurasakan semakin memuncak. Apalagi setelah kubaca berbagai peluang yang berhasil dimanfaatkan para ibu tanpa harus meninggalkan anak. Kisah keberhasilan mereka yang ditulis di blog-blog membuat semangatku kian melecut. Aku mencoba menjadi agen buku sebuah penerbit terkemuka, sembari menyeleksi alternatif buku cerita untuk anak-anakku. Aku segera mengontak mereka. Anak-anakku, Nai – 4 tahun, dan Farr – 1.5 tahun, sangat antusias ketika agen buku itu datang pertama kali. Apalagi ketika dus itu dibuka, aneka warna sampul buku-buku dongeng itu begitu menggoda mata kanak-kanak mereka. Maka, segera, di antara kesibukanku mengurus anak-anak, aku juga sibuk mengurus promosi buku. Salah satunya melalui expo sebuah SD swasta tak jauh dari rumahku. Di sana, Nai ikut lomba mewarnai ditemani ayahnya. Dan aku menjaga stand kecil bukuku dengan Farr. Sekolah itu terletak di sebuah tanah lapang dengan banyak pepohonan, j...

Sekolah Negeri Vs Swasta

Dulu, di jaman saya kecil dan tumbuh mendewasa, sekolah favorit adalah sekolah negeri. Biasanya nomor sekolah menyatakan pula urutan keunggulannya, misalnya terfavorit 1 adalah SD 1, terfavorit 2 adalah SMP 2, terfavorit 3 adalah SMA 3. Keunggulan ini juga nyata ditunjukan oleh para siswanya yang unggulan juga, the best students in the best school . Sekolah swasta berada dalam urutan terakhir pilihan orang tua, hanya dilirik ketika tak ada lagi sekolah negeri yang mau menerima. Alasannya pun hanya satu hal, tak diterima karena nilai yang rendah, kalah bersaing dengan anak-anak lain. Bersekolah adalah berkompetisi, ia memacu adrenalin saya selaku anak-anak untuk menunjukan pada teman-teman bahwa saya juga layak diperhitungkan.  Maka bersekolah di sekolah unggulan adalah jalan terbaik mendapatkan suasana kompetisi yang kental. Lawan seimbang, anak-anak yang sebaya saya juga. Kini, di jaman anak-anak saya, apalagi tinggal di tengah kota besar macam Jakarta dan sekitarny...

Tanpa Penawar

Aduh! Lenganku sakit sekali! Aku meringis menatap dua bocah lelaki kurus tinggi yang mengekang dua tanganku ke belakang lalu memelintirnya. Sementara pemimpin mereka merapatkan tubuhnya ke tubuhku. Aku tak bisa mundur lagi. Badanku sudah menempel di tembok. Hembusan nafasnya menyergap mukaku. Aroma rokok segera membombardir penciumanku. Berapa batang rokok sehari bisa dihabiskan oleh seorang anak SMP seperti dia?! Aku sampai harus menahan nafas. “Heh! Kamu jangan sok alim, ya! Mana hape kamu!” hardiknya kasar. “Wan, aku tidak mau melihat video itu. Sungguh!” sahutku. “Di kelas kita tinggal kamu saja yang tidak punya video itu. Itu membuatku malu tahu! Kalah dengan ketua kelas SMP sebelah. Mana hape kamu, sini!!” suara Wan meninggi. Tak sabar, tangannya menggerayangi saku celanaku. “Aku tidak bawa hape, Wan.” “Huh!” Wan menghentakkan dadaku dengan kedua tangannya. Ia tampak sangat marah, tapi hanya sebentar, “Kalau begitu lihat lewat hape-ku saja,” Wan merogoh kantung celananya...

Layulah, Bunga Tidurku

Sekali lagi, sekali lagi kau menjadi bunga tidurku Bukankah pernah kukatakan padamu, aku tak ingin lagi merajut hari bersamamu? Karena aku menyerahkan diriku seutuhnya, sedangkan kau hanya mengirimkan bayangan dirimu saja Ratusan mil, puluhan tahun, bahkan dua lautan menjadi jarak antara kita Kukira, bahkan hatiku sudah melupakanmu Namun, lagi-lagi, oh lagi-lagi, tanpa permisi kau menyeruak, menghiasi tiap tidur malamku Bukankah sudah ada dia disisimu? Gadis ayu yang wajahnya benar-benar mirip denganmu! Itu pertanda kalian berdua memang berjodoh, bukan? Lantas, mengapa pula aku masih duduk manis di sini Mengenang tiap detik masa lalu kita Membaca tiap kata dalam guratan pena surat-suratmu Mereka-reka perjumpaan manis kita yang tak pernah nyata Aku memang pernah mengharapkanmu, amat sangat Tiap kisah yang kita bagi bersama, bertahun-tahun Menyemai bunga-bunga indah semerbak dalam hati perempuanku Mengikat jiwa laksana rampai dalam keranjang cinta Hanya ada kau dalam ha...

Hari Tua Ibu

“Jadi kapan aku harus menjemput Ibu?” tanya Rori akhirnya. Rosa menjawab di seberang telepon, “Aku juga tidak tahu, Mbak. Ibu tidak bilang kapan” “Kok, Ibu lama sekali ambil keputusannya sih, Ros? Di Kaliputih toh sudah tidak ada siapa-siapa lagi. Apa Ibu mau sendirian di sana?” sembur Rori kesal, “Lebih baik Ibu tinggal di sini. Semua rumah anak-anaknya ada di sini. Lebih mudah kalau Ibu mau main ke rumah kita. Kita juga kalau lebaran jadi mudah, tak perlu pulang jauh-jauh ke Kaliputih. Betul, kan, Ros?” “Aku juga berpikir begitu, Mbak.” sahut Rosa. “Apa sih yang menahan Ibu di sana? Sudah setahun Ayah meninggal tapi Ibu belum juga mau pindah?” “Ibu bilang terlalu banyak kenangan di sana.” “Hidup kok dalam kenangan! Hidup ya dalam kenyataan dong, Ros! Kenyataannya aku, kamu dan Romi sama-sama tinggal di Jakarta. Cucu-cucunya juga di sini semua. Ibu tinggal pilih Ibu mau tinggal dengan siapa. Aku, kamu atau Romi? Beres, kan?” “Ya, tapi kita juga harus menghargai keinginan Ibu, Mbak. Ki...