Aduh! Lenganku sakit sekali! Aku meringis menatap dua bocah lelaki kurus tinggi yang mengekang dua tanganku ke belakang lalu memelintirnya. Sementara pemimpin mereka merapatkan tubuhnya ke tubuhku. Aku tak bisa mundur lagi. Badanku sudah menempel di tembok. Hembusan nafasnya menyergap mukaku. Aroma rokok segera membombardir penciumanku. Berapa batang rokok sehari bisa dihabiskan oleh seorang anak SMP seperti dia?! Aku sampai harus menahan nafas.
“Heh! Kamu jangan sok alim, ya! Mana hape kamu!” hardiknya kasar.
“Wan, aku tidak mau melihat video itu. Sungguh!” sahutku.
“Di kelas kita tinggal kamu saja yang tidak punya video itu. Itu membuatku malu tahu! Kalah dengan ketua kelas SMP sebelah. Mana hape kamu, sini!!” suara Wan meninggi. Tak sabar, tangannya menggerayangi saku celanaku. 
“Aku tidak bawa hape, Wan.” 
“Huh!” Wan menghentakkan dadaku dengan kedua tangannya. Ia tampak sangat marah, tapi hanya sebentar, “Kalau begitu lihat lewat hape-ku saja,” Wan merogoh kantung celananya sambil tersenyum lebar, kini di tangannya sudah tergenggam Blackberry.
“Aku tidak mau melihatnya, Wan!” ulangku.
“Ah! Kau belum tahu saja. Aku jamin kau akan suka melihatnya, kawan! Malah kujamin kau akan ketagihan dan minta-minta padaku untuk membagi seri lainnya,” Wan tertawa. Ia masih sibuk mengutak-utik Blackberry-nya,”Nah, ini dia videonya!” Wan menyodorkan hape itu tepat di depan mataku. Hanya berjarak sekitar tiga puluh senti. Gambarnya terlihat sangat jelas.
Demi Tuhan! aku sungguh tak ingin melihatnya. Itu racun! Racun! Ibuku bilang racun satu ini tak akan pernah hilang sempurna dari aliran darahku. Dari syaraf-syaraf otakku. Reflek, aku memalingkan wajah. Memejamkan mata.
“Ah! Pengecut sekali kamu, Nang!” Wan mematikan hape-nya demi melihatku berusaha menghindar. Ia menganggukkan kepala pada kedua anak buahnya.
Tanganku diturunkan serentak. Masih dicengkeram dan kini mereka menahan kepalaku ke tembok, memaksaku memandang lurus ke aras pemimpin mereka, Wan. 
“Heh! Penakut!” Wan menantangku,”Melihat yang begini saja takut! Dasar anak mami!”
Aku tersinggung juga dibilang begitu. Ia menyentil harga diriku sebagai lelaki. Kalau bukan mengingat nasehat Ibuku untuk menahan diri, menahan marah, sudah sejak tadi bibir hitam besar Wan itu aku kirimi bogem mentah. 
“Kamu yang pengecut!” balasku, getar suaraku tak bisa menyembunyikan amarahku,”Beraninya main keroyokan!”
“Hohoho….,”Wan terbahak,”Itu sih hukum alam, Nang! Kalau sejak tadi kau tak melawan dan dengan sukarela mau menonton video itu denganku tentu aku tak perlu panggil mereka! Jadi sekarang kau sudah punya nyali nonton ini? “ Wan mendelikkan matanya, jelek sekali. 
Celaka! Rasa marah dan tersinggung itu membuatku mengiyakan, “Siapa takut!” 
“Begitu dong, kawan! Itu baru lelaki pemberani,” Wan mengerling dan lenganku kemudian terbebas. Tak hendak aku berubah pikiran, Wan segera merangkulku dan mengajakku duduk. Aku mengelus-elus tangan yang masih sakit akibat pelintiran dua anak buahnya. Tapi seperti kerbau dicucuk hidungnya, aku menuruti ajakan Wan.
Maka mulailah detik pengubah hidupku. Dari layar hape milik Wan, aku melihat apa yang tak boleh kulihat di usia mudaku ini. Seorang lelaki dan seorang perempuan dewasa bertelanjang melampiaskan nafsu mereka. Video itu merekamnya dari awal hingga akhir, nyaris tanpa sensor. Mataku terpaku tak berkedip. Dadaku berdegup sangat kencang. Darahku mengalir sangat deras. Oh, Tuhan, aku gemetar tak sanggup melawan respon tubuh pubertasku. Racunnya mulai memasuki urat darahku dan membekukan otakku. 
Hingga adegan itu berakhir dan Wan menutup hape-nya,  jiwaku masih terguncang. Keseluruhan adegan itu terpatri kuat dalam pikiranku. Aku sungguh hafal detik per detiknya. Jika aku disuruh menyalin ulang pasti tak kan terlewatkan satu gerakan pun.
“Nah! Terima kasih atas kerja samanya, Kawan!” Wan memasukan hape itu ke kantong celananya dan mengajak kedua anak buahnya pergi,”Kalau ada yang tanya padamu apa kau sudah melihatnya, jangan lupa bilang iya! Ok? Ini video paling dahsyat tahun ini, Kawan! Paling panas! Paling banyak dicari orang! Kau akan dibilang kuper kalau belum melihatnya. Maka berterima kasihlah padaku,” Wan melambai pergi. 
Tinggallah aku sendiri menanggung beban yang luar biasa. Aku bahkan belum bisa meredakan keguncangan jiwaku saat harus masuk kembali ke kelas karena bel mulai pelajaran berikutnya berdentang-dentang. Aku sungguh berharap suara bel itu mampu mengalahkan echo desahan terkutuk yang luar biasa menulikan telingaku. Aku tersaruk-saruk meninggalkan lorong sempit di belakang sekolah itu, menuju kelasku.
Racun itu begitu ganas memacu jantung dan darahku. Bayangan video makin jelas setiap kupandangi kawan-kawan perempuan satu kelasku, setiap kupandangi Ibu guru yang berdiri di depan kelas, setiap berpapasan dengan adik-adik kelasku yang perempuan, setiap berbicara pada si mbak penjual bakso di kantin sekolah, setiap kupandangi perempuan-perempuan yang lalu lalang sepanjang jalan, setiap kupandang anak-anak perempuan kecil tetanggaku, setiap mataku membentur poster artis-artis cantik yang tertempel di dinding kamarku,  setiap ibu-ibu teman arisan ibuku menyapaku, bahkan setiap aku hendak bicara pada ibuku sendiri.  Mereka semua langsung kubayangkan menjadi pemeran video itu. Ini gila! Sinting! Aku benar-benar dibuatnya mumet. Bahkan kertas putih buku tulisku, huruf dan gambar dalam buku teks pelajaranku, piring makanku dan gelas minumanku, semua benda yang kupegang, mereka bersekutu memutar ulang video itu. 
Aku memilih banyak mengurung diri di kamar. Di sana aku bebas mengulang video itu dalam televisi di kepalaku tanpa harus menempatkan perempuan manapun menjadi pemerannya. Aku juga tidak harus malu pada manusia manapun. Tapi anehnya, aku malu pada diriku sendiri. Ketika aku merasakan keinginan yang sangat besar dalam diriku untuk melihat video itu lagi atau yang sejenisnya, aku makin bertambah malu. Racun! Racun! Oh, nasehat Ibu dan dorongan hasrat itu berperang dalam diriku.
Kakiku berhenti di depan sebuah warnet. Wan bilang aku bisa menemukan video sejenis di internet dengan memasukan kode rahasia miliknya di semua mesin pencari di internet. Bayarnya murah. Aku menimang-nimang uang enam ribu hasil menabung uang jajan selama seminggu. Bisa untuk dua jam. Masuk? Tidak! Masuk? Tidak! Masuk? Tidak! Masuk?
Aku turun dari angkot di depan sebuah kios hape yang dikatakan Wan memberikan pelayanan ekstra. Cukup dengan mengatakan kata sandi yang dibisikan Wan. Aku menatap hape-ku yang dibelikan Bapak sebulan lalu. Bapak akhirnya bersedia membelikannya setelah aku berjanji tidak akan menyalahgunakannya. Mengunduh video itu ke hape-ku berarti akan merusak kepercayaan Bapak. Lanjut? Tidak! Lanjut? Tidak! Lanjut?
Komentar
Posting Komentar