Langsung ke konten utama

Reformasi Diri

Tengoklah headline di koran atau televisi, semua masih mengabarkan tentang ketidakmampuan negeri ini menyelesaikan masalahnya. Jika ada yang diusut pun, seolah disengaja tak mencapai akar permasalahannya, hanya karena menyangkut kepentingan segelintir orang. Sehingga laksana jamur, masalah itu tumbuh lagi dan lagi. 

Generasi yang kini memimpin negeri ini terus berkutat dalam masalah korupsi, kolusi, berebut jabatan, dan suap. Generasi mudanya masih belum usai dari aksi bentrok, tawuran, narkoba, dan contek-menyontek. Semua seakan berlomba berbuat curang. Mengapa curang menjadi kebanggaan? Generasi harapan yang kini tengah membentuk karakter, mereka yang masih di sekolah dasar dan menengah, tergeragap dijejali hafalan seribu satu pelajaran akademik di sekolah. Sibuk menghafal sedemikian banyak materi akademik sehingga sering kehilangan waktu untuk berpikir kritis, apalagi melangkah lebih lanjut pada menganalisa lalu mengaplikasikan dalam kehidupan bermasyarakat. Kehilangan kesempatan mengasah ketrampilan dasar seperti mengorganisasi diri dan waktu, mengolah informasi, bekerja sama, berkomunikasi, dan yang paling penting reflection, mengevaluasi diri.
Berkali-kali, sepulang kantor, saat melalui stadion Gelora Bung Karno, kulihat banyak sekali anak-anak muda usia sekolah dasar dan menengah bergerombol usai pertandingan sepakbola. Bukan masalah menonton sepakbolanya yang meresahkanku. Tapi perilaku mereka yang amat mengganggu pengguna jalan. Dengan masih mengenakan seragam sekolah, banyak dari mereka bergerombol sambil menenteng  tongkat dan benda-benda tajam lain, siap bertarung. Sebagian menabuh apa saja yang bisa ditabuh, membuat suasana demikian gaduh. Ada juga yang memaksa menyetop sebuah metromini, memaksa turun penumpang dan mengambil alih metromini itu. Padahal bangku-bangkunya mereka biarkan kosong, mereka memilih duduk di atap metromini atau bergelantungan di pintu-pintunya. Belum lagi jika jagoan mereka kalah, maka hawa panas kekecewaan akan sangat mudah tersulut oleh salah ucap satu orang saja. Sebuah drama tawuran akan menjadi pemandangan sore itu. Inikah potret generasi muda negeri ini? Mudah marah. Bersiap “perang”. Seenaknya mengambil hak orang lain. Duh, anak-anak itu, mereka yang kelak akan menerima estafet mengelola negeri ini? Tahukah orang tua mereka apa dilakukan anaknya?
Keprihatinan akan permasalahan negeri ini begitu menggelayutiku. Menyandarkan harapan pada generasi muda yang ada saat ini pun rasanya belum bisa. Bukankah pendidikan anak-anak itu tak jauh beda dengan pendidikan generasi pemegang amanah negeri saat ini? Apa yang bisa kulakukan?  Sementara aku di sini, mondar-mandir puluhan kilo setiap hari dari rumah ke kantor, menghabiskan 14 jam di kantor dan jalanan, pergi gelap pulang pun gelap, tiba di rumah kepala masih dipenuhi deadline pekerjaan. Semua demi apa? Demi uang, demi diriku sendiri, demi penghidupanku sendiri, demi nama baikku sendiri, demi posisiku sendiri. Mengapa semua masih saja demi aku dan aku? Inikah hasil pendidikan di zamanku? Hanya menjadi sosok yang mementingkan diri sendiri? Seingatku, aku memang tak pernah mengenal yang namanya community service diajarkan di sekolahku dulu. Seingatku, semua diukur dengan angka-angka, nilai-nilai dan rangking-rangking saja. Dan aku bukan salah satu anak yang beruntung karena diberi anugerah bisa mempelajari hal itu sendiri.
Merasa tak punya andil sama sekali untuk perbaikan negeri ini membuat keresahanku kian memuncak. Siapalah aku? Aku bukan presiden, anggota dewan, guru, polisi, hakim, jaksa, tokoh masyarakat, atau siapapun yang punya kesempatan lebih banyak melakukan sesuatu untuk memperbaiki negeri ini lewat keputusan-keputusannya, sistem pendidikannya, kekuasaannya, atau keteladanannya pada umat. Aku tak memiliki apapun. Aku hanya seorang pegawai kantoran biasa, istri dan seorang ibu dari dua anak balita. Tapi keresahan itu terus menuntutku berbuat sesuatu. Ada firman Allah yang terus berdentang-dentang dalam pikiranku. Tak ada yang bisa merubah suatu kaum selain kaum itu sendiri.  Janganlah meninggalkan (generasi) keturunan yang lemah. Oh….
Keresahan macam inikah yang dulu di rasakan Baginda Nabi sehingga ia memutuskan menyendiri di gua Hira? Keresahan seperti inikah yang dulu dirasakan Siddhartha Gautama sehingga ia memutuskan bersemedi di bawah pohon Bodhi? Keresahan yang makin menuntut diri melakukan sesuatu yang lebih dari sekedar mengikuti apa yang dianggap wajar oleh masyarakat? Setelah mendapatkan pencerahan, mereka mampu mempengaruhi masyarakatnya untuk memperbaiki diri, didukung oleh posisi mereka masing-masing yang sudah strategis kala itu. Baginda Rosul sebagai pedagang kaya dan Siddhartha selaku raja. Keduanya mampu menyeru dalam jangkauan yang lebih luas. Aku? Hiks..hiks….hanya seluas rumahku, seluas keluargaku saja.
Tapi aku tak boleh putus asa. Bukankah hanya orang putus asa yang kehilangan rahmat Tuhannya? Seluas keluargaku pun jadilah, asalkan diurus dengan serius dan bersungguh-sungguh. Bukankah istiqomah adalah keharusan dalam agama? Bukankah keluarga adalah jiwa dan tulang punggung masyarakat, tiangnya negara? 

Setelah berdiskusi panjang dan lama, aku memutuskan untuk kembali ke rumah, kembali serius menjadi ibu dan pendidik anak-anakku. Aku akan memulai misi baru, karir baru, menjadi sekolah bagi anak-anakku, dua di antara sekian juta generasi muda bangsa ini. Jam sekolahku adalah setiap detik kala mata tak terpejam tidur. Materi utamanya adalah berpikir sebagaimana Allah menantang manusia berulang kali dengan kalimat : Apakah kamu tidak berpikir? Hidup adalah sekolah bagi orang-orang yang berpikir. Materi penunjangnya adalah membaca, menulis, berhitung dan semua peristiwa dalam hidup. Visi utamanya adalah mengantarkan mereka secepat-cepatnya menemukan kekuatan dirinya dan mampu berpikir secara mandiri, lalu menggunakan keduanya secara aktif untuk menyelesaikan segala persoalan hidup dan melakukan community service, memberi sumbangsih pada masyarakatnya.
Aku pun mengundurkan diri dari hiruk pikuk karirku sebagai seorang underwriter di dunia asuransi. Saat itu Nailah berusia 3.5 tahun  dan Farraas 9 bulan. Banyak yang menyayangkan keputusan ini. Sepertinya aku tengah melawan aturan tak tertulis masyarakat, bahwa wanita masa kini lazimnya bekerja di luar rumah. Aku menguatkan diri, memohon pada Allah yang Maha membolak-balikkan hati. Berdoa pada-Nya, bahwa berhenti bekerja kantoran bukanlah bentuk tidak bersyukurku melepas satu pintu rizki-Nya, melainkan caraku memberi makna pada hidupku yang tinggal setengah jalan lagi. Kini rata-rata usia manusia 60 tahun, dan aku telah melewati setengahnya. Aku bersyukur Allah masih mencukupkan rizki keluargaku melalui suamiku.
Kini di usia Nailah 4.5 tahun, ia sudah mampu membaca dan menulis, meskipun tulisannya belum terlalu rapi benar. Iqro-nya sudah di halaman-halaman terakhir jilid 3. Ia mampu menguasainya tanpa melalui les apapun, hanya belajar bersamaku setiap hari. Selama ini aku mendengar banyak pendapat bahwa anak-anak sebaiknya dibiarkan bermain, jangan terlalu dipaksa belajar materi ini itu. Oh, anak-anak itu memiliki energi yang luar biasa besar! Sangat besar! Energi itu harus disalurkan, jika tidak ia bisa berbuat kerusakan. Belajar membaca dan menulis sangatlah mudah untuk energi sebesar itu, apalagi pikiran mereka pun belum terlalu banyak. Tapi memang cara belajarnya yang harus kreatif, harus dalam atmosfer bermain, dan yang pasti dipenuhi aroma kasih sayang. Jika mereka mengeluh capek, sebenarnya ia hanya perlu cara belajar dan bermain baru yang lebih menyenangkan. Instingku sebagai ibu tahu benar kapan mereka benar-benar lelah dan butuh istirahat, dan kapan mereka hanya sekedar bosan saja.
Nailah belajar mengorganisasi diri dan waktu melalui rutinitas yang kami sepakati bersama. Ia juga aku serahi beberapa tugas rumah tangga seperti menyusun bajunya dan baju adiknya di lemari mereka. Mengembalikan semua mainan dan alat-alat tulisnya di tempat semula. Menjaga atau membacakan buku untuk adiknya ketika aku melakukan pekerjaan rumah tangga. Dengan ia sudah bisa membaca, Nailah siap belajar bagaimana cara mendapatkan informasi yang ia perlukan dan mengolahnya. Ia juga mulai belajar reflection, evaluasi, setiap hari dengan menceritakan kembali, menyimpulkan dan kadang-kadang menuliskannya dalam buku. Ternyata, anak-anak itu sangat mampu belajar apapun. Mereka pembelajar ulung! Mereka hanya perlu ditantang dan diberi kesempatan. Setiap peristiwa yang mereka jumpai sehari-hari, di mana dan kapanpun, dengan siapapun, adalah sarana bagi mereka belajar tentang nilai-nilai luhur seperti kejujuran, kesopanan, kasih sayang, amanah dan sebagainya. Mereka hanya perlu guide, pembimbing. Aku tetap memasukan Nailah ke sekolah formal karena di sanalah tempat yang tepat untuknya belajar bekerja sama, collaboration, berkomunikasi dengan orang lain dan bersaing. Dan tentu saja, untuk selembar ijazah. Sebagai ibu dan guru anak-anakku, aku juga menantang diriku sendiri untuk terus belajar tentang dunia dan psikologi pendidikan, juga belajar mengenai community service.
Di manakah kekuatan dirimu, Nak? Hingga kini, aku masih terus mencari dan mencari. Memberi sebanyak mungkin tantangan dan kesempatan padamu agar semakin terasah dan muncul ke permukaan. Lalu nanti kita akan bersama-sama mencari bentuk untuk melakukan pelayanan pada masyarakat, community service, agar kita belajar untuk tidak menjadi orang-orang yang hanya mementingkan kepentingan diri sendiri, seperti kebanyakan para pemimpin negerimu saat ini. Mudah-mudahan Allah meridloi niat tulus kita ya, Nak!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Proses (Kreatif) Dibalik Buku Anak : Mengenal Tanda Kebesaran Allah SWT

Alhamdulillahi Robbil 'Alamiin Tahun 2015 kemarin ditutup dengan terbitnya buku solo perdana saya. Buku anak berjudul "Mengenal Tanda-Tanda Kebesaran Allah SWT", diterbitkan oleh Al-Kautsar Kids (Pustaka Alkautsar Group). Buku setebal 152 halaman ini telah menempuh perjalanan yang cukup panjang sejak idenya muncul hingga terbit.  Berawal dari perjalanan saya, suami, dan dua anak saya naik motor bolak-balik dari rumah ke masjid setiap waktu sholat tiba.  Saat maghrib, isya dan subuh, saya selalu memandangi langit yang gelap. Di antara kerlip bintang di sana, saya melihat bulan dalam bentuk yang selalu berbeda. Kadang sabit tipiiis serupa alis, kadang cembung gendut lucu, kadang purnama bulat sempurna dengan cahaya berpendar-pendar, indah sekali.  Lalu timbullah tanya dalam hati, dalam Al-Qur'an Allah SWT berfirman bahwa tidaklah Dia menciptakan segala sesuatu di alam semesta ini dengan sia-sia. Tapi mengapa rasa di hati saya terhadap bulan tak lebih hanya hi...

Tiga Langkah Pertamaku

(Juara 2 lomba menulis " Capture Your Gain Moment " yang di selenggarakan oleh Majalah Parents Guide, bulan Desember 2010) Menjelang usia sembilan bulan anakku, Farraas. Aku menjadi full time mom.  Jika dulu pengasuhnya sangat hati-hati menjaga karena tentu saja takut aku marahi kalau terjadi apa-apa. Aku cenderung membiarkan dan tidak menahannya menjelajah seisi rumah. Aku hanya mengamati benda-benda disekitarnya kalau-kalau bisa membahayakannya. Selebihnya,kubiarkan ia menantang dirinya sendiri, merangkak, memegang ini itu, menjangkau benda yang lebih tinggi, lalu mulai berdiri. Awalnya aku terpana melihat ia berdiri sendiri dengan kaki gemetar, mungkin kakinya belum kuat. Ia menangis lalu jatuh terduduk. Aku hanya tersenyum seraya berkata, “Bagus, Nak. Ayo teruskan!”. Dua hari kemudian, Farraas mulai menantang dirinya untuk menggerakkan kakinya selangkah dengan tangan berpegangan di sofa. Satu langkah masih gemetar, ia menangis, namun sekali lagi aku katakan, “Ba...

Indeks Pembangunan Manusia, Indeks Membaca dan Korupsi

Sudah lama saya ingin tahu dan menulis mengenai hubungan korupsi, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan Indeks Membaca, adakah hubungan yang saling berkaitan? KORUPSI Dari data “Political & Economic Risk Consultancy” (PERC) – Hongkong yang dirilis pada tanggal 8 Maret 2010, Indonesia menduduki peringkat pertama sebagai negara paling korup se-asia pasifik. Berikut urutan lengkapnya: Indonesia (terkorup) Kamboja (korup) Vietnam (korup) Filipina (korup) Thailand India China Taiwan Korea Macau Malaysia Jepang Amerika Serikat (bersih) Hong Kong (bersih) Australia (bersih) Singapura (terbersih) Penilaian didasarkan atas pandangan ekskutif bisnis yang menjalankan usaha di 16 negara terpilih. Total responden adalah 2,174 dari berbagai kalangan eksekutif kelas menengah dan atas di Asia, Australia, dan Amerika Serikat. Masih data PERC 2010, dalam kurun 2008-2010, peringkat korupsi Indonesia meningkat dari 7.98 (2008.), 8.32 (2009) dan naik menjadi 9.07 (2010) dari angka...