Ketika melewati kandang unta, Nailah senang tak kepalang. Ia pun bernyanyi, 
“Di gurun yang panas, unta emas tinggal. 
Ia minum banyak air, dan disimpan di punuknya.
Agar tidak jatuh saat menungganginya.
Aku pegang erat punuknyaaaaaa…..”
Ia minum banyak air, dan disimpan di punuknya.
Agar tidak jatuh saat menungganginya.
Aku pegang erat punuknyaaaaaa…..”
Jalan-jalan ke kebun binatang memang kesukaan gadis cilik berusia 4.5 tahun itu, putri pertamaku.
Tiba-tiba, Nailah menggamit tanganku, “Mama bohong!”
Nah! Tak ada angin, tak ada hujan, aku dibilang bohong. “Kok Mama bohong?” tanyaku menyelidik.
“Iya, Mama bohong. Unta tidak tinggal di gurun, Ma! Di sini juga ada! Tuh, untanya!” Nailah menunjuk unta yang tengah dilihatnya.
Aku terkekeh, “Unta itu tadinya tinggal di gurun, sayang!” sahutku, “Dia datang ke sini naik pesawat, atau mungkin naik kapal laut.”
Nailah menatapku, matanya berbinar, “Dia naik pesawat sendirian? Teman-temannya masih tinggal di gurun?”
Aku mengangguk, “Dia naik pesawat ditemani penjaganya. Teman-temannya yang lain, masih tinggal di gurun. Buanyaaaakkk…..”
“Ooo…, Kenapa dia datang ke sini, Ma? Ngga sama teman-temannya saja? Kan di sini jadi sendirian, kesepian ngga punya teman.” tanya Nailah lagi.
“Supaya dia bisa bertemu Nailah hari ini!” sahutku sambil mengelus rambut gadis itu.
Nailah mengangguk-angguk, hidungnya kembang kempis. Kurasa ia sangat senang mendengar unta itu datang jauh-jauh dari gurun naik pesawat, khusus untuk bertemu dengannya. Celotehnya mengingatkanku kembali untuk selalu berhati-hati berucap atau memilih kata-kata saat berbicara dengannya. Anak-anak adalah pengingat yang ulung. 

Komentar
Posting Komentar