Gairah untuk punya penghasilan sendiri, setelah setengah tahun berhenti bekerja, kurasakan semakin memuncak. Apalagi setelah kubaca berbagai peluang yang berhasil dimanfaatkan para ibu tanpa harus meninggalkan anak. Kisah keberhasilan mereka yang ditulis di blog-blog membuat semangatku kian melecut. 
Aku mencoba menjadi agen buku sebuah penerbit terkemuka, sembari menyeleksi alternatif buku cerita untuk anak-anakku. Aku segera mengontak mereka.
Anak-anakku, Nai – 4 tahun, dan Farr – 1.5 tahun, sangat antusias ketika agen buku itu datang pertama kali. Apalagi ketika dus itu dibuka, aneka warna sampul buku-buku dongeng itu begitu menggoda mata kanak-kanak mereka.
Maka, segera, di antara kesibukanku mengurus anak-anak, aku juga sibuk mengurus promosi buku. Salah satunya melalui expo sebuah SD swasta tak jauh dari rumahku. Di sana, Nai ikut lomba mewarnai ditemani ayahnya. Dan aku menjaga stand kecil bukuku dengan Farr. Sekolah itu terletak di sebuah tanah lapang dengan banyak pepohonan, jauh dari jalan raya. Rumah penduduk di sekitarnya masih jarang. Kelas-kelasnya berupa saung-saung terbuka, beralas dan berdinding kayu setinggi pinggang, ada yang beratap genteng, ada juga rumbia. Di sekitar saung-saung itu terdapat kebun dan kolam ikan untuk sarana belajar. Ada titian tali yang menjadi media outbound. Angin leluasa bertiup menyapa kawan-kawan pohonnya, senang tak banyak bangunan yang menghalangi. Satu-satunya bangunan permanen hanya sebuah aula berbentuk joglo.
Karena expo ini berakhir selepas Dhuhur, aku sudah menyiapkan bekal untuk anak-anak. Susu, makanan ringan, nasi serta lauknya. Aku dan suamiku, berganti-ganti menjaga anak-anak dan menjaga stand. Usai makan siang, Farr tertidur di stand. Begitu bangun, ia muntah-muntah, semua yang dimakannya tadi keluar.
Sepulang dari expo, sorenya, Farr muntah-muntah lagi. Masih belum khawatir, aku mengoleskan minyak telon ke perut dan dadanya. Seluruh badannya terasa dingin, namun perutnya terasa hangat dan sedikit keras. Saat buang air besar, Farr juga mencret. Ia rewel sesorean itu.
Setelah mandi sore, aku membuat bubur untuk anak-anak, khawatir perut mereka masih terlalu sensitif selepas seharian berangin-angin ria. Farr makan hanya satu sendok saja, ia menolak suapan berikutnya, kemudian menangis. Tangan mungilnya menunjuk-nunjuk tempat menyimpan susu kotak UHT-nya.
Usai menyedot satu kotak penuh susu ukuran kecil itu, Farr muntah lagi. Semua keluar, bubur dan susu. Farr menangis, minta gendong dan tak mau diturunkan. 
Aku terus membujuknya untuk makan bubur lagi. Tapi Farr menolak. Hingga malam, Farr masih mencret dan muntah. Aku memberinya teh pahit, berharap mencretnya bisa berangsur-angsur berkurang. Kurasakan beberapa bagian tubuhnya lebih hangat, kepala, leher, ketiak dan perut. Sementara bagian lainnya dingin. Aku mulai khawatir.
“Ya, sudah. Suruh tidur saja. Sepulang acara tadi kan dia belum tidur. Mudah-mudahan, besok ia bangun dengan lebih segar,” ujar suamiku menenangkan.
“Atau kita beri dia obat penurun panas saja, ya?” kataku bimbang, “Tapi panas badannya tidak merata.”
Semalaman itu, Farr berkali-kali menangis dalam tidurnya. Berguling ke sana kemari, seolah hendak mengatakan tubuhnya sangat tidak nyaman malam ini.
Esok paginya, Farr kelihatan sedikit lebih segar saat bangun. Namun panas tubuhnya masih belum merata. Perutnya masih buncit, keras dan terasa lebih panas. Aku menduga ada yang salah dengan pencernaannya.
Aku menyuapkan bubur lagi, kali ini Farr mau menelan tiga sendok. Ia juga minta susu. Namun menjelang siang, ia muntah lagi. Semua yang ditelannya, keluar lagi, tanpa sisa. Aku panik, jangan-jangan muntaber! Tapi aku runut semua kejadian sejak kemarin, rasanya tak menemukan pemicu muntaber. Farr tak jajan apapun, ia makan apa yang kusiapkan dari rumah. 
Siangnya, Farr sudah tidak mencret lagi. Aku sedikit lega. Tapi sekaligus sedih melihatnya hanya duduk terkulai di sofa, kuyu, tak bertenaga. Gelak tawa yang biasa terurai dari bibir mungilnya, hari itu menguap. Mainan Dino kesayangannya pun kehilangan pesona.
Hingga sore, aku masih ragu membawanya ke dokter. Jika dokter memberi penurun panas, Farr tak sepenuhnya panas, hanya hangat tak merata. Obat pencahar, kurasa itu berlebihan, buang air besarnya sudah normal. Aku tak menduga tipus. Farr tak mendadak panas tinggi di malam hari dan turun di siang hari. Sakitnya ajeg, tidak memburuk, tidak membaik. Mendengarkan keluhanku, suamiku, dari kantornya, hanya berujar, “Percayai kata hatimu sebagai ibu. Kalau kau rasa perlu ke dokter segeralah ke sana.” Duh, duh, bagaimana ini?
Malam itu, aku membalurkan campuran parutan bawang merah minyak telon ke seluruh tubuh Farr, ini ramuan tradisional penurun panas yang kuperoleh dari ibuku di kampung. Mudah-mudahan panas tubuh Farr merata.
Hari ketiga, Farr belum membaik, ia malah makin tidak mau makan. Aku panik. Pagi itu juga, aku membawa Farr ke rumah Mak Iyah yang punya keahlian memijat bayi. Berharap Farr hanya kembung perutnya akibat angin saat expo itu. Namun saat aku tiba di sana, ternyata Mak Iyah sedang sakit. Mukanya pucat. Wah, aku tak tega memintanya memijat Farr. Tapi aku tak mau menunda lagi. Kasihan Farr. Aku bertekad hari ini juga Farr harus dipijat. Setidaknya jika sore nanti tak ada perubahan berarti, maka aku bisa mengambil keputusan selanjutnya, seperti ke dokter misalnya. Aku lalu ingat Teh May, pemilik warung kelontong di belakang rumahku, pernah bercerita kalau Mak Sani, tetangganya, punya keahlian memijat bayi juga. Tanpa banyak membuang waktu, aku langsung ke rumah Mak Sani. Ia sedang bersiap-siap hendak pergi memijat seorang ibu pasca melahirkan di sebuah komplek perumahan. Melihat Farr, Mak Sani berbaik hati menunda kepergiannya, ia langsung membaringkan Farr di kasur kecil, memijatnya, sambil bertanya asal muasal sakit Farr. Aku menjelaskannya secara berurutan. 
Awalnya, Farr menangis, tapi lama-lama ia diam dan kelihatan menikmati tiap pijitan itu. Aku senang, aku berdoa mudah-mudahan pijitan itu cukup untuk menyembuhkannya sehingga tak perlu meminum obat dari dokter. Obat-obatan, adalah pilihan terakhirku.
Usai dipijit, Farr kelihatannya lebih tenang. Ia bahkan sudah mau jalan sendiri, langkahnya ringan, tak seberat dan selemas tadi. Tak lama kemudian, Farr tertidur. Setelah bangun, Farr kelihatan jauh lebih segar. Badannya sudah hangat merata dan perutnya melembut,  tidak sekeras tadi. Ia bahkan minta makan.
“Ma, amma, amma,” celotehnya lucu. Amma adalah bahasa Farr untuk makan. Satu piring bubur porsi Farr ludes tanpa sisa. Aku gembira, Farr-ku sudah sembuh.
Dari pengalaman itu, kuputuskan untuk menunda niatku bekerja sampingan yang mengharuskan kami berada di luar untuk waktu lama, meskipun kupikir bisa kulakukan sambil mengawasi anak, tapi kesehatan anak-anakku lebih berarti. Kuyakin, waktu yang lebih tepat akan tiba seiring bertambahnya usia Farr. (Selesai)

Komentar
Posting Komentar