Langsung ke konten utama

Hari Tua Ibu

“Jadi kapan aku harus menjemput Ibu?” tanya Rori akhirnya.
Rosa menjawab di seberang telepon, “Aku juga tidak tahu, Mbak. Ibu tidak bilang kapan”
“Kok, Ibu lama sekali ambil keputusannya sih, Ros? Di Kaliputih toh sudah tidak ada siapa-siapa lagi. Apa Ibu mau sendirian di sana?” sembur Rori kesal, “Lebih baik Ibu tinggal di sini. Semua rumah anak-anaknya ada di sini. Lebih mudah kalau Ibu mau main ke rumah kita. Kita juga kalau lebaran jadi mudah, tak perlu pulang jauh-jauh ke Kaliputih. Betul, kan, Ros?”
“Aku juga berpikir begitu, Mbak.” sahut Rosa.
“Apa sih yang menahan Ibu di sana? Sudah setahun Ayah meninggal tapi Ibu belum juga mau pindah?”
“Ibu bilang terlalu banyak kenangan di sana.”
“Hidup kok dalam kenangan! Hidup ya dalam kenyataan dong, Ros! Kenyataannya aku, kamu dan Romi sama-sama tinggal di Jakarta. Cucu-cucunya juga di sini semua. Ibu tinggal pilih Ibu mau tinggal dengan siapa. Aku, kamu atau Romi? Beres, kan?”
“Ya, tapi kita juga harus menghargai keinginan Ibu, Mbak. Kita tak mungkin memaksa Ibu.”
“Aduh, tapi kan Ibu itu sudah tua, Rosa! Kalau Ibu sakit di Kaliputih sana, siapa yang mau mengurus?” sahut Rori emosi.
“Mudah-mudahan, Ibu diberi kesehatan yang baik, Mbak. Nanti aku telepon Mba Rori lagi deh kalau sudah berhasil membujuk Ibu.” Rosa menutup teleponnya.
Rori masih belum mengerti betul sikap Ibu. Dulu memang ada Ayah, maka Rori bisa mengerti Ibu tetap di Kaliputih. Seorang istri memang tempatnya di sisi suami. Namun, kini Ayah sudah tak ada, meninggal setahun yang lalu, dan tak ada sanak saudara lagi di Kaliputih sana. Maka menurut Rori tempat seorang Ibu adalah bersama anak-anaknya. Nenek bersama cucu-cucunya. Di sini. Di rumahnya. Di Jakarta. Tapi sampai detik ini, Ibu masih belum mau pindah. Nanti nanti saja, begitu selalu alasannya.
***
Rori terkejut dengan keputusan Ibu. Ibu bersedia pindah ke Jakarta, tetapi tinggal dengan Rosa, bukan dengannya.
“Kenapa?” tanya Rori heran. Siang itu, ia sengaja bertemu Rosa dan Romi di sebuah restoran saat istirahat makan siang, khusus membahas kepindahan Ibu.
“Aku juga kurang tahu alasan Ibu, Mbak. Tapi Ibu bilang begitu semalam.” sahut Rosa.
“Mungkin Ibu merasa lebih nyaman tinggal dengan Rosa, Mbak.” timpal Romi.
“Lebih nyaman bagaimana? Lebih kesepian iya!” sahut Rori gusar. Sambil menatap Rosa, adik bungsunya, Rori melanjutkan “Penghuni rumahmu kan cuma kamu dan Yudha. Kalian berdua juga kerja, pergi pagi pulang malam. Apanya yang lebih nyaman?”
Rosa dan Romi diam. Saling memandang. Sejujurnya sedikit banyak mereka memang sependapat dengan kakaknya dalam hal ini.
“Kalau di rumahku, kan ada cucu-cucunya, Tyaga dan Nabil yang sedang lucu-lucunya. Ibu juga bisa sekalian mengawasi mereka berdua, apa dijaga dengan baik oleh pembantuku atau tidak. Aku juga bisa lebih tenang meninggalkan mereka ke kantor.” tambah Rori.
Rosa dan Romi masih terdiam. Mengaduk-aduk minuman jus jeruk yang tadi mereka pesan. Waktu makan siang sudah hampir habis. Mereka harus segera kembali ke kantor masing-masing. Kantor mereka memang kebetulan berada di daerah yang sama di Jakarta Selatan. Justru rumah mereka saling berjauhan, di kota-kota penyangga Jakarta. Bertemu saat jam makan siang lebih mudah buat mereka daripada saling berkunjung ke rumah.
“Kalau menurutku, kita ikuti saja permintaan Ibu. Di hari tuanya mungkin Ibu ingin suasana yang tenang, tetapi gampang kalau ingin berkunjung ke rumah kita.” Romi memecah kebisuan yang sempat mengambang.
“Tenang bagaimana, Rom? Kalau ada apa-apa dengan Ibu waktu Rosa dan Yudha pergi ke kantor bagaimana?” sahut Rori cepat, masih emosi.
“Aku akan ambil asisten di rumah deh, Mbak. Demi Ibu.” Rosa bergumam, “Karena Ibu memilih tinggal bersamaku, biar aku saja yang jemput Ibu dari Kaliputih.”
Rori menghela nafas, lalu mengangkat bahu. Ia sangat kecewa dengan keputusan Ibu. Sebagai anak sulung, dan juga satu-satunya yang sudah memberikan cucu untuk Ibu, Rori merasa lebih punya hak jika Ibu tinggal bersamanya.
***
Romi dan Rosa menjemput Ibu dari Kaliputih menggunakan mobil Romi. Yudha, suami Rosa turut serta. Sebagai anak lelaki satu-satunya, Romilah yang akan mengurus tanah dan rumah peninggalan Ayah. Rencananya rumah dan tanah itu akan dijual, tetapi Ibu tampaknya masih sangat sayang untuk melepasnya, sehingga untuk sementara mereka memutuskan rumah itu disewakan saja. Romi menitipkan kunci pada Pak RT yang kebetulan tinggal tepat di sebelah rumah Ibu. Sambil meninggalkan nomor teleponnya untuk dihubungi jika ada orang yang berminat menyewa.
“Itu harga dari saya, Pak. Kalau Bapak mau melebihkan, itu jadi komisi Bapak.” kata Romi tersenyum.
Pak RT mengangguk-angguk setuju, ia sepakat.
Tak banyak barang yang dibawa Ibu. Hanya seluruh pakaian, perhiasan dan beberapa barang kenangan dengan Ayah yang masih akan ia simpan. Wajah Ibu tak tampak gembira dengan kepindahan ini, namun juga tak menunjukan kesedihan. Romi dan Rosa kesulitan menebak isi hati Ibu. Bersih, itu saja yang terpancar dari wajah tua setengah abad lebih itu. Di keningnya ada tanda hitam samar bekas sujud.
Mobil yang mereka naiki sudah meninggalkan batas Kaliputih. Rosa duduk di kursi belakang menemani Ibu. Romi dan Yudha di depan bergantian menyetir selama delapan jam lebih menuju Jakarta.
“Ibu ridho kan dengan kepindahan ini, Bu?” tanya Rosa hati-hati sambil menyentuh punggung tangan Ibunya.
Ibu yang sejak berangkat tadi memandang keluar kaca mobil, menoleh. Beliau mengangguk, kemudian memalingkan wajahnya kembali.
Romi melirik ke arah Rosa. Mereka berpandangan. Ini bukan waktu yang tepat membicarakan keberatan Rori.
Sepertinya memang tak ada yang bisa memahami beratnya perasaan Ibu meninggalkan Kaliputih, kampung halaman yang sudah ditinggalinya selama hidup. Kaliputih hanyalah sebuah kota kecil di bawah Karisidenan Banyumas, namun Ibu lahir dan besar di sana. Kemudian Ibu menikah dengan Ayah yang masih tetangga juga. Jadilah Ibu tak pernah hidup di luar Kaliputih. Itulah sebabnya Ibu sangat mencintai kota kecil itu.
Beruntung di Kaliputih hubungan kekerabatan dan pertetanggaan masih kental. Hari-hari penuh dengan percakapan antar tetangga yang mampu menghibur hati yang sedih. Setiap hari antar tetangga saling memberi lauk walau hanya semangkok. Kebun sepetak di belakang rumah pun mampu memberi kontribusi berarti akan kebutuhan lauk pauk sehari-hari. Di sana Ibu menanam beraneka jenis sayuran dan bumbu dapur yang dirawatnya dengan penuh cinta. Ada empang kecil di samping rumah yang dihuni ikan mas, mujair dan gurami. Ada dua pasang ayam juga di sana yang bertelur hampir setiap hari.  
Di Kaliputih juga hidup Ibu sangat berarti. Ibu aktif di berbagai kegiatan di sana. Berkali-kali Ibu menjabat sebagai ketua PKK dan ketua Posyandu. Hari-hari Ibu adalah hari-hari sibuk laksana seorang wanita karier di kota metropolitan. Bedanya, kebahagiaan Ibu bukan didapat dari gaji setiap bulan, tetapi dari rasa ikhlas menolong orang lain tanpa imbalan uang.
Kini, Ibu belum tahu apa yang akan ia kerjakan setelah kepindahannya ke Jakarta. Dan itu membuatnya sedikit takut.
***
Rosa kaget dengan permintaan Ibu, ia sampai tak tahu harus berkata apa. Ia memang sedikit banyak sudah memperkirakan hal ini. Tapi tak menyangka akan secepat itu. Baru satu minggu Ibu tinggal bersamanya. Kini Ibu minta pulang ke Kaliputih.
“Mungkin Ibu mau tinggal dengan Mbak Rori? Di rumahnya kan ada Tyaga dan Nabil, cucu Ibu. Pasti di sana lebih ramai dan Ibu tidak kesepian.” bujuk Rosa.
Ibu menggeleng, “Ibu mau pulang ke Kaliputih saja.”
“O, mungkin Ibu kangen. Nanti Rosa suruh Romi mengantar Ibu berkunjung ke sana, deh. Sehari atau dua hari. Nanti dijemput lagi sama Romi.” Rosa tidak menyerah.
“Ibu mau tinggal di Kaliputih saja, Nduk!” tegas Ibu.
Rosa menggigit bibirnya, “Bu, Rosa tahu Ibu belum terbiasa tinggal di sini. Karena itu tadi Rosa sarankan Ibu coba tinggal dengan Mbak Rori yang rumahnya lebih ramai. Berganti-gantian rumah Rosa dan rumah Mbak Rori juga boleh kok, Bu. Di Kaliputih sudah tidak ada siapa-siapa lagi, Bu. Jadi kini ijinkan kami yang menjaga Ibu. Rosa minta maaf karena kami bertiga sama-sama bekerja di Jakarta sehingga Ibu juga harus tinggal di Jakarta. Tapi sekarang, di sinilah tempat kami mendapatkan rizki. Jika Ibu berkenan, mungkin dengan doa Ibu salah satu dari kami bisa mendapatkan rizki dari kota sedekat mungkin dengan Kaliputih, supaya Ibu bisa sering-sering berkunjung ke sana. Tapi itu perlu waktu, Bu. Dan sambil menunggu waktu itu tiba, Rosa pikir sebaiknya Ibu tinggal dekat kami.” Rosa mencoba sehalus mungkin membujuk Ibu.
Ibu diam. Merenungkan kata-kata Rosa. Rosa segera mengirim pesan singkat pada Rori melalui telepon gengamnya.
Sorenya, Rori datang bersama dua orang anaknya yang masih balita. Suasana rumah Rosa langsung ramai, penuh dengan tawa anak-anak. Ibu banyak tersenyum dan tertawa melihat polah tingkah Tyaga dan Nabil yang lucu-lucu. Rosa dan Rori berpandangan, berdoa supaya Ibu lupa akan niatnya tinggal di Kaliputih.
***
Ibu setuju untuk tinggal bersama Rori. Tentu saja Rori amat senang dengan keputusan ini. Rosa pun sedikit lega setidaknya ide kembali ke Kaliputih hilang dari pikiran Ibu.
Adanya Ibu di rumah membuat Rori lebih tenang bekerja di kantor. Kini ia tak terlalu was-was jika pekerjaan mengharuskannya pulang lebih larut dari biasanya. Dulu, lembur adalah satu hal yang paling ia hindari tapi kini ia sudah lebih bisa berkompromi, kan ada Ibu di rumah.
Sebulan berlalu dan Ibu masih terlihat betah di rumah Rori. Hingga suatu pagi, Ibu jatuh sakit. Ibu mengeluhkan sesak di dada sebelah kirinya.
“Ros, Ibu sakit. Baru saja pembantuku telepon. Tapi aku sedang di tengah meeting dengan klien. Aku tidak bisa pulang sekarang. Kau bisa ke rumahku dan urus Ibu dulu sampai aku pulang nanti?” suara Rori di telepon terdengar  sangat buru-buru.
“Waduh…” Rosa ragu, pekerjaannya di kantor juga banyak. Tapi ia merasa tak pantas mengatakan tidak, ini soal Ibu! “Aku usahakan ya, Mbak.” jawab Rosa menutup telepon genggamnya.
Setelah minta ijin pada atasannya, Rosa langsung meluncur ke rumah Rori. Sesampainya di sana, ibu tengah tertidur di kamarnya. Siti, pembantu Rori bercerita bahwa tadi ketika Ibu mengeluhkan sesak di dadanya, Ibu sempat jatuh di ruang tengah. Siti sampai harus mengangkat Ibu sendirian ke tempat tidur karena pembantu satunya lagi sibuk mengurus Tyaga dan Nabil yang menangis takut melihat neneknya terjatuh.
Rosa memandang Ibunya yang terlentang tenang di atas kasur. Wajah Ibu bening dan bersih, tak ada noda hitam atau pun bekas jerawat masa muda yang menyisa. Hanya kerut yang tak hendak menahan diri, ia tetap di sana seiring bertambahnya usia ibu. Rambut Ibu sudah putih semua, hanya beberapa helai warna hitam yang sesekali menyembul. Paduan itu masih menyiratkan kecantikan Ibu di masa mudanya.
Rosa ingin sekali segera membangunkan Ibu dan mengajaknya periksa ke rumah sakit. Tapi melihatnya tengah beristirahat sungguh Rosa jadi tak ingin menganggu ketenangannya. Nafas Ibu terdengar teratur, dadanya naik turun mengikuti. Sama sekali tak terlihat kalau tadi Ibu sempat sakit hingga terjatuh. Merasakan kehadiran seseorang, Ibu membuka mata.
“Ibu….kita ke rumah sakit ya, Bu. Kita periksakan kondisi Ibu.” bujuk Rosa langsung memburu, tak bisa menyembunyikan kekhawatirannya. Rosa mengenggam tangan Ibu, dingin.
“Ibu mau pulang, Nduk. Pulang ke Kaliputih.” sahut Ibu lirih.
Rosa menggeleng-gelengkan kepala, “Kalau Ibu jatuh sakit seperti ini di sana, bagaimana? Siapa yang akan merawat Ibu?”
“Ibu tidak akan sakit di sana, Nduk. Di sanalah tempat Ibu ingin menghabiskan hari tua Ibu.”
“Ibu…” Rosa tak sanggup berargumen lagi. Ia sungguh merasa tak tega memaksakan kehendak pada wanita yang sangat dikasihinya itu.
Nduk, Ibu tahu kamu dan kakak-kakakmu ingin merawat Ibu. Tapi yang Ibu lakukan di sini hanya merawat dan menemani Tyaga dan Nabil saja. Itu bukan tugas Ibu, Nduk. Itu tugas kakakmu, Rori. Ibu tidak mau menggantikannya apalagi mengambil alih. Kakakmu bukan orang yang kekurangan. Di Kaliputih, banyak sekali keluarga yang kekurangan. Ibu ingin menghabiskan hari tua ibu membantu mereka lewat program Posyandu dan PKK, Nduk. Mudah-mudahan bisa menjadi bekal Ibu pulang di akhirat nanti.” Ibu membalas genggaman tangan Rosa, bahkan lebih kuat. Perlahan Rosa merasakan kehangatan mulai mengalir dari tangan Ibunya dan ini membuatnya merasa sangat senang.
Rosa memandang Ibu, menatap seraut wajah tua yang lelah. Rosa lalu tersenyum dan menganggukkan kepala. Kali ini ketenangan Ibu lebih penting daripada masalah siapa merawat siapa.
Ketika Rori pulang, Rosa menceritakan perihal keinginan Ibu. Seperti yang ia duga, Rori masih belum memahami permintaan Ibu. Ia bersikeras yang terbaik bagi Ibu adalah di sini bersama anak-anaknya.
“Biar aku yang bicara pada Ibu.” Rori beranjak menuju kamar Ibu. Ia tak bisa menyembunyikan kekesalannya. Mungkin ia sangat lelah seharian bekerja di kantor dan kini pulang langsung dihadapkan pada permasalahan ini.
“Mbak, Ibu baru saja sakit tadi pagi dan kita belum membawanya ke dokter.” Rosa menyentuh pundak Rori, berusaha mencegahnya masuk ke kamar Ibu. Ia takut beban pikiran Ibu bertambah dan memperburuk kesehatannya.
“Aku akan hati-hati bicara, Ros. Percayalah.” Rori menatap adik perempuannya tajam.
Setengah jam berlalu, Rori keluar dari kamar Ibu dengan muka lebih masai daripada saat ia masuk tadi. Rosa menatapnya penuh tanya.
“Aku tak bisa menahannya, Ros.” kata Rori mengangkat bahu.”Aku malah diceramahi soal menjadi Ibu untuk Tyaga dan Nabil.” lanjutnya sambil beranjak masuk ke kamarnya sendiri.
Rosa tersenyum  patah. Ia merasa tak ada pilihan lain selain mengabulkan permintaan Ibu. Tapi mengapa pula harus ada pilihan lain. Ini soal hari tua Ibu. Dan Ibu ingin menghabiskannya di Kaliputih, kampung kelahiran dan kehidupannya. Ibu ingin mengabdikan diri untuk masyarakat di sana. Itu adalah niat mulia. Tak ada alasan mencegahnya. Termasuk alasan agar hati ketiga  anaknya menjadi lebih tenang hanya dengan bisa memandangi Ibu setiap pulang kerja. Ini tentang Ibu yang ia kasihi. Maka lebih mudah baginya mengatur jadwal mengunjungi Ibu di Kaliputih daripada memaksakan pilihan pada perempuan yang telah melahirkannya tiga puluh tahun lalu itu.
Tiga hari kemudian, Rosa dan Romi mengantarkan Ibu kembali pulang ke Kaliputih. Rosa tak pernah melihat wajah Ibu sedemikian bening dan bahagia seperti wajah Ibu sepanjang perjalanan pulang ini. Senyumnya tak berhenti mengembang. Bahkan berubah menjadi tawa ketika Ibu bertemu kembali dengan para tetangga di Kaliputih. Tawa yang tak pernah ia lihat sejak membawanya keluar dari Kaliputih yang dicintainya itu. Rosa dan Romi berpandangan dan mengangguk, yakin inilah yang terbaik untuk Ibu di hari tuanya.
Selesai.

(Gambar profil diambil dari sosbud.kompasiana.com)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Proses (Kreatif) Dibalik Buku Anak : Mengenal Tanda Kebesaran Allah SWT

Alhamdulillahi Robbil 'Alamiin Tahun 2015 kemarin ditutup dengan terbitnya buku solo perdana saya. Buku anak berjudul "Mengenal Tanda-Tanda Kebesaran Allah SWT", diterbitkan oleh Al-Kautsar Kids (Pustaka Alkautsar Group). Buku setebal 152 halaman ini telah menempuh perjalanan yang cukup panjang sejak idenya muncul hingga terbit.  Berawal dari perjalanan saya, suami, dan dua anak saya naik motor bolak-balik dari rumah ke masjid setiap waktu sholat tiba.  Saat maghrib, isya dan subuh, saya selalu memandangi langit yang gelap. Di antara kerlip bintang di sana, saya melihat bulan dalam bentuk yang selalu berbeda. Kadang sabit tipiiis serupa alis, kadang cembung gendut lucu, kadang purnama bulat sempurna dengan cahaya berpendar-pendar, indah sekali.  Lalu timbullah tanya dalam hati, dalam Al-Qur'an Allah SWT berfirman bahwa tidaklah Dia menciptakan segala sesuatu di alam semesta ini dengan sia-sia. Tapi mengapa rasa di hati saya terhadap bulan tak lebih hanya hi...

Tiga Langkah Pertamaku

(Juara 2 lomba menulis " Capture Your Gain Moment " yang di selenggarakan oleh Majalah Parents Guide, bulan Desember 2010) Menjelang usia sembilan bulan anakku, Farraas. Aku menjadi full time mom.  Jika dulu pengasuhnya sangat hati-hati menjaga karena tentu saja takut aku marahi kalau terjadi apa-apa. Aku cenderung membiarkan dan tidak menahannya menjelajah seisi rumah. Aku hanya mengamati benda-benda disekitarnya kalau-kalau bisa membahayakannya. Selebihnya,kubiarkan ia menantang dirinya sendiri, merangkak, memegang ini itu, menjangkau benda yang lebih tinggi, lalu mulai berdiri. Awalnya aku terpana melihat ia berdiri sendiri dengan kaki gemetar, mungkin kakinya belum kuat. Ia menangis lalu jatuh terduduk. Aku hanya tersenyum seraya berkata, “Bagus, Nak. Ayo teruskan!”. Dua hari kemudian, Farraas mulai menantang dirinya untuk menggerakkan kakinya selangkah dengan tangan berpegangan di sofa. Satu langkah masih gemetar, ia menangis, namun sekali lagi aku katakan, “Ba...

Indeks Pembangunan Manusia, Indeks Membaca dan Korupsi

Sudah lama saya ingin tahu dan menulis mengenai hubungan korupsi, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan Indeks Membaca, adakah hubungan yang saling berkaitan? KORUPSI Dari data “Political & Economic Risk Consultancy” (PERC) – Hongkong yang dirilis pada tanggal 8 Maret 2010, Indonesia menduduki peringkat pertama sebagai negara paling korup se-asia pasifik. Berikut urutan lengkapnya: Indonesia (terkorup) Kamboja (korup) Vietnam (korup) Filipina (korup) Thailand India China Taiwan Korea Macau Malaysia Jepang Amerika Serikat (bersih) Hong Kong (bersih) Australia (bersih) Singapura (terbersih) Penilaian didasarkan atas pandangan ekskutif bisnis yang menjalankan usaha di 16 negara terpilih. Total responden adalah 2,174 dari berbagai kalangan eksekutif kelas menengah dan atas di Asia, Australia, dan Amerika Serikat. Masih data PERC 2010, dalam kurun 2008-2010, peringkat korupsi Indonesia meningkat dari 7.98 (2008.), 8.32 (2009) dan naik menjadi 9.07 (2010) dari angka...