Nailah, gadis cilik 4.5 tahunku, cukup mudah jika dimintai bantuan untuk mengurus adiknya, Farraas yang belum genap 2 tahun. Seperti memakaikan sepatu atau bahkan menggantikan celana. Jika Nailah terlihat sedikit malas, aku punya jurus ampuh, “Mama minta tolong, Nak? Nailah kan sudah besar, sudah bisa bantuin Mama.” Dibilang “sudah besar” biasanya langsung menyulut semangatnya melakukan permintaanku. 
Kala ia bertanya mengapa ia harus berangkat sekolah, aku menjawab, “Karena Nailah sudah besar, sudah empat tahun.” Nailah mengangguk-angguk, sangat bangga karena “sudah besar”.
 Suatu siang, aku sedang memotong-motong sayuran di lantai untuk masak sore. Aku beranjak membuka kulkas sebentar dan ketika kembali, kulihat Nailah sedang memegang pisau dan bergaya seolah memotong sesuatu. Reflek, aku larang dia.
Suatu siang, aku sedang memotong-motong sayuran di lantai untuk masak sore. Aku beranjak membuka kulkas sebentar dan ketika kembali, kulihat Nailah sedang memegang pisau dan bergaya seolah memotong sesuatu. Reflek, aku larang dia.“Nai. Lepas pisaunya, Nak! Anak kecil belum boleh pakai pisau!” sergahku.
Nailah langsung melepas pisaunya, tapi wajahnya manyun tak setuju,” “Nailah bukan anak kecil, Ma! Nailah udah besar!”
“Nailah masih kecil, sayang! Tuh, lihat belum sebesar Mama, kan?” ujarku memberi pengertian.
“Bukan, Mama! Nailah udah besar!” pekik Nailah tertahan, “Kan kemarin Mama bilang Nailah udah besar. Udah empat tahun. Udah sekolah. Mama lupa, ya?”
Aku tertegun. Kupikir urusan “sudah besar” dan “masih kecil” ini bisa runyam jika dibiarkan. Bisa-bisa gadis cilik itu menilaiku tidak konsisten. Padahal, konsisten kan sangat penting dalam mendidik anak. Aku jadi ingat beberapa kali kami berdebat karena aku melarangnya dengan alasan ia masih kecil, tapi dilain waktu aku menyuruhnya dengan rayuan ia sudah besar. Kurasa kami harus mengganti istilah “sudah besar” dan “masih kecil” ini segera.
 “Iya, deh. Mama lupa. Maaf ya, Kak?” ketika kulihat Nailah mengangguk-angguk puas, aku melanjutkan, “Kak, Kak Nailah itu masih kecil, namanya anak-anak. Kalau sudah besar kayak Mama, namanya dewasa.” 
“Kalau Adek? Anak-anak juga?”
“Adek masih bayi, nanti kalau sudah lancar ngomongnya, baru deh jadi anak-anak.”
“Ooo, Habis anak-anak nanti, Nailah dewasa? Kayak Mama?” 
“Urutannya begini, bayi dulu, terus anak-anak, terus remaja, baru deh dewasa.”
Kulihat Nailah lebih puas dengan istilah baru ini. Memahami jenjang pertumbuhan dengan urutan bayi-anak-remaja-dewasa ternyata lebih mengena. Sejak saat itu, perdebatan karena “sudah besar” dan “masih kecil”, tak pernah terjadi lagi. Jika melarang, aku cukup beralasan “Karena Nailah masih anak-anak”. Jika merayu, aku katakan “Karena Nailah sudah anak-anak, bukan bayi lagi”.
Komentar
Posting Komentar