Dulu, di jaman saya kecil dan tumbuh mendewasa, sekolah favorit adalah sekolah negeri. Biasanya nomor sekolah menyatakan pula urutan keunggulannya, misalnya terfavorit 1 adalah SD 1, terfavorit 2 adalah SMP 2, terfavorit 3 adalah SMA 3. Keunggulan ini juga nyata ditunjukan oleh para siswanya yang unggulan juga, the best students in the best school. Sekolah swasta berada dalam urutan terakhir pilihan orang tua, hanya dilirik ketika tak ada lagi sekolah negeri yang mau menerima. Alasannya pun hanya satu hal, tak diterima karena nilai yang rendah, kalah bersaing dengan anak-anak lain.
Bersekolah adalah berkompetisi, ia memacu adrenalin saya selaku anak-anak untuk menunjukan pada teman-teman bahwa saya juga layak diperhitungkan. Maka bersekolah di sekolah unggulan adalah jalan terbaik mendapatkan suasana kompetisi yang kental. Lawan seimbang, anak-anak yang sebaya saya juga.
Kini, di jaman anak-anak saya, apalagi tinggal di tengah kota besar macam Jakarta dan sekitarnya, termasuk Depok, tempat tinggal saya, urutannya bukan begitu lagi. Sekolah negeri bukan lagi menjadi sekolah terfavorit. Justru sekolah swasta yang menjadi tempat-tempat pilihan para siswa dan orang tua. Alasannya karena sekolah-sekolah swasta itu menawarkan metode pendidikan yang tidak hanya melulu terfokus pada akademik. Mereka menawarkan nilai lebih seperti pendidikan karakter, pendidikan budi pekerti luhur, active learning, kecerdasan majemuk, boarding school, full day school, kurikulum luar negeri, sampai international school karena menggunakan bahasa inggris sebagai bahasa pengantar secara penuh atau pun hanya sebagian. Nilai-nilai ini dianggap tidak diakomodir dengan baik di sekolah-sekolah negeri.
Padahal, biaya masuk sekolah-sekolah swasta ini, kalau boleh saya bilang, luar biasa mahal. Biaya masuk SD saja sudah berada dikisaran 10 - 30 juta, tergantung seberapa favorit sekolah itu. Orang tua rela bekerja lebih keras untuk bisa merogoh kocek lebih dalam demi menyekolahkan anak-anaknya di sana. Semua demi nilai-nilai plus yang mereka tawarkan.
"Aduh, Jeng, saya sudah ninggalin anak-anak seharian di rumah hanya dengan si Mbak. Kompensasinya ya saya harus nyekolahin dia di sekolah terbaik yang bisa menggantikan posisi saya mendidik mereka. Masak anak saya jadi anak si Mbak. Ya ngga lah Jeng!" satu alasan yang sempat mampir di telinga saya.
"Wah, anak-anak saya tidak boleh gaul sama anak kampung." Sekolah negeri identik dengan sekolah anak kampung.
"All in one, Jeng. Di sekolah situ semua diajarkan. Ngga perlu les ini itu lagi. Wajarlah biayanya mahal." Guru sekolah negeri dianggap tidak fokus karena sibuk mencari seseran (uang tambahan) dari memberi les pada anak-anak. Kalau sekolah swasta bahkan anak-anak yang tidak fokus pun diterima dengan senang hati asalkan mampu membayar lebih.
Menurut saya, sekolah unggulan itu memang relatif. Semuanya kembali kepada perspektif orang tua dalam mendidik anak-anak. Sekolah dengan sistem pendidikan yang paling mendekati visi orang tualah yang akan mereka pilih. Yang tak punya visi, sekolah yang paling murah pun cukuplah.
Karena merasa sudah membayar mahal, banyak orang tua yang kemudian beranggapan bahwa tanggung jawab pendidikan anak-anaknya sudah mereka alihkan kepada sekolah. Kalau bisa orang tua lepas tangan dan fokus berkarir untuk bisa membayar biayanya. Mirip risk transfer (transfer resiko) dalam dunia industri asuransi. Jika ada yang salah dengan anak-anak, orang tua menuntut sekolah bertanggung jawab. Padahal, seberapa pun mahalnya sekolah, tanggung jawab pendidikan anak tak akan pernah bisa dialihkan dari pundak orang tua. Dan yang mesti diingat, tidak sedikit sekolah swasta yang lebih berorientasi bisnis daripada pendidikan. Ini yang mesti dicermati orang tua. Salah jika beranggapan semakin mahal biaya sekolah maka semakin bagus kualitasnya.
Pernahkah kita benar-benar memikirkan konsep pendidikan seperti apa sih yang ingin kita terapkan untuk anak-anak kita? Ups, maksud saya, pernahkah kita memikirkan model, sosok dan karakter seperti apa sih anak yang kita inginkan? Sholeh? Pintar? Santun? Memiliki integritas? Pekerja keras? Mampu memenangi persaingan mencari kerja di jamannya nanti? atau apa? Lalu, dari model yang sudah kita gambarkan itu, pernahkah kita duduk bersama pasangan kita, untuk menjabarkan karakter tersebut sebaiknya dididik dengan cara bagaimana? Bagian mana yang bisa kita lakukan sendiri selaku orang tua (agar pahala mendidik anak juga jadi bagian kita, bukan melulu milik guru sekolah), mana yang tak bisa kita lakukan dan membutuhkan bantuan sekolah (atau guru). Berangkat dari situlah maka kita akan menemukan sekolah yang paling tepat untuk anak-anak.
Banyak orang tua, termasuk beberapa orang tua berpendidikan tinggi lulusan S1, S2 bahkan S3, yang beranggapan bahwa lebih baik mengajar anak orang lain daripada mendidik anak sendiri. Mendidik anak sendiri susahnya minta ampun, manja dan malah tak pernah menurut. Saya sangat suka kata-kata kawan saya, anak saya akan selalu compatible dengan saya "no matter how", lha wong 1/2 kromosomnya bawaan dari saya. Hehehe, meski bahasanya teknik banget, tapi dari situ saya yakin bahwa tak ada anak-anak yang tak menurut pada orang tuanya. Barangkali kita yang tidak persistent (ah, saya belum menemukan artinya dalam bahasa Indonesia yang cukup memuaskan saya) kala mendidiknya. Atau barangkali kita sendiri tak punya konsep mendidik anak-anak, just let them grow. Toh, anak-anak punya takdirnya sendiri, mereka bahkan bisa tumbuh tanpa dididik. Tapi lalu mana andil kita? Apa yang akan kita haturkan dihadapan Allah kelak saat hari perhitungan?
Mau jadi orang tua yang mana kita? Ah, hidup di dunia ini singkat saja, hanya sekali, setegukan air teh kesukaan saya, terlalu sayang jika kita lewatkan dengan memabukkan diri dalam godaannya, melupakan bekal yang mesti kita persiapkan di kehidupan yang sejati sesudahnya.
*Notes ini saya tulis karena rasa shock saya dengan biaya masuk SD sebesar 25 juta rupiah yang saya dengar baru-baru ini. Menurut saya ini mahal? menurut anda?
*Catatan yang sama pernah saya tulis untuk ikut sebuah lomba, Sekolah Itu Adalah Aku
Bersekolah adalah berkompetisi, ia memacu adrenalin saya selaku anak-anak untuk menunjukan pada teman-teman bahwa saya juga layak diperhitungkan. Maka bersekolah di sekolah unggulan adalah jalan terbaik mendapatkan suasana kompetisi yang kental. Lawan seimbang, anak-anak yang sebaya saya juga.
Kini, di jaman anak-anak saya, apalagi tinggal di tengah kota besar macam Jakarta dan sekitarnya, termasuk Depok, tempat tinggal saya, urutannya bukan begitu lagi. Sekolah negeri bukan lagi menjadi sekolah terfavorit. Justru sekolah swasta yang menjadi tempat-tempat pilihan para siswa dan orang tua. Alasannya karena sekolah-sekolah swasta itu menawarkan metode pendidikan yang tidak hanya melulu terfokus pada akademik. Mereka menawarkan nilai lebih seperti pendidikan karakter, pendidikan budi pekerti luhur, active learning, kecerdasan majemuk, boarding school, full day school, kurikulum luar negeri, sampai international school karena menggunakan bahasa inggris sebagai bahasa pengantar secara penuh atau pun hanya sebagian. Nilai-nilai ini dianggap tidak diakomodir dengan baik di sekolah-sekolah negeri.
Padahal, biaya masuk sekolah-sekolah swasta ini, kalau boleh saya bilang, luar biasa mahal. Biaya masuk SD saja sudah berada dikisaran 10 - 30 juta, tergantung seberapa favorit sekolah itu. Orang tua rela bekerja lebih keras untuk bisa merogoh kocek lebih dalam demi menyekolahkan anak-anaknya di sana. Semua demi nilai-nilai plus yang mereka tawarkan.
"Aduh, Jeng, saya sudah ninggalin anak-anak seharian di rumah hanya dengan si Mbak. Kompensasinya ya saya harus nyekolahin dia di sekolah terbaik yang bisa menggantikan posisi saya mendidik mereka. Masak anak saya jadi anak si Mbak. Ya ngga lah Jeng!" satu alasan yang sempat mampir di telinga saya.
"Wah, anak-anak saya tidak boleh gaul sama anak kampung." Sekolah negeri identik dengan sekolah anak kampung.
"All in one, Jeng. Di sekolah situ semua diajarkan. Ngga perlu les ini itu lagi. Wajarlah biayanya mahal." Guru sekolah negeri dianggap tidak fokus karena sibuk mencari seseran (uang tambahan) dari memberi les pada anak-anak. Kalau sekolah swasta bahkan anak-anak yang tidak fokus pun diterima dengan senang hati asalkan mampu membayar lebih.
Menurut saya, sekolah unggulan itu memang relatif. Semuanya kembali kepada perspektif orang tua dalam mendidik anak-anak. Sekolah dengan sistem pendidikan yang paling mendekati visi orang tualah yang akan mereka pilih. Yang tak punya visi, sekolah yang paling murah pun cukuplah.
Karena merasa sudah membayar mahal, banyak orang tua yang kemudian beranggapan bahwa tanggung jawab pendidikan anak-anaknya sudah mereka alihkan kepada sekolah. Kalau bisa orang tua lepas tangan dan fokus berkarir untuk bisa membayar biayanya. Mirip risk transfer (transfer resiko) dalam dunia industri asuransi. Jika ada yang salah dengan anak-anak, orang tua menuntut sekolah bertanggung jawab. Padahal, seberapa pun mahalnya sekolah, tanggung jawab pendidikan anak tak akan pernah bisa dialihkan dari pundak orang tua. Dan yang mesti diingat, tidak sedikit sekolah swasta yang lebih berorientasi bisnis daripada pendidikan. Ini yang mesti dicermati orang tua. Salah jika beranggapan semakin mahal biaya sekolah maka semakin bagus kualitasnya.
Pernahkah kita benar-benar memikirkan konsep pendidikan seperti apa sih yang ingin kita terapkan untuk anak-anak kita? Ups, maksud saya, pernahkah kita memikirkan model, sosok dan karakter seperti apa sih anak yang kita inginkan? Sholeh? Pintar? Santun? Memiliki integritas? Pekerja keras? Mampu memenangi persaingan mencari kerja di jamannya nanti? atau apa? Lalu, dari model yang sudah kita gambarkan itu, pernahkah kita duduk bersama pasangan kita, untuk menjabarkan karakter tersebut sebaiknya dididik dengan cara bagaimana? Bagian mana yang bisa kita lakukan sendiri selaku orang tua (agar pahala mendidik anak juga jadi bagian kita, bukan melulu milik guru sekolah), mana yang tak bisa kita lakukan dan membutuhkan bantuan sekolah (atau guru). Berangkat dari situlah maka kita akan menemukan sekolah yang paling tepat untuk anak-anak.
Banyak orang tua, termasuk beberapa orang tua berpendidikan tinggi lulusan S1, S2 bahkan S3, yang beranggapan bahwa lebih baik mengajar anak orang lain daripada mendidik anak sendiri. Mendidik anak sendiri susahnya minta ampun, manja dan malah tak pernah menurut. Saya sangat suka kata-kata kawan saya, anak saya akan selalu compatible dengan saya "no matter how", lha wong 1/2 kromosomnya bawaan dari saya. Hehehe, meski bahasanya teknik banget, tapi dari situ saya yakin bahwa tak ada anak-anak yang tak menurut pada orang tuanya. Barangkali kita yang tidak persistent (ah, saya belum menemukan artinya dalam bahasa Indonesia yang cukup memuaskan saya) kala mendidiknya. Atau barangkali kita sendiri tak punya konsep mendidik anak-anak, just let them grow. Toh, anak-anak punya takdirnya sendiri, mereka bahkan bisa tumbuh tanpa dididik. Tapi lalu mana andil kita? Apa yang akan kita haturkan dihadapan Allah kelak saat hari perhitungan?
Mau jadi orang tua yang mana kita? Ah, hidup di dunia ini singkat saja, hanya sekali, setegukan air teh kesukaan saya, terlalu sayang jika kita lewatkan dengan memabukkan diri dalam godaannya, melupakan bekal yang mesti kita persiapkan di kehidupan yang sejati sesudahnya.
*Notes ini saya tulis karena rasa shock saya dengan biaya masuk SD sebesar 25 juta rupiah yang saya dengar baru-baru ini. Menurut saya ini mahal? menurut anda?
*Catatan yang sama pernah saya tulis untuk ikut sebuah lomba, Sekolah Itu Adalah Aku
Komentar
Posting Komentar