Ketika itu di Madinah, kaum Anshar terbagi dalam
dua kabilah, Aus dan Khazraj. Sedangkan kaum Yahudi terbagi dalam tiga kabilah,
Bani Qainuna, Bani Nadhir dan Bani Quraizah. Bani Qainuna bersekutu dengan kaum
Khazraj, sedangkan Bani Nadhir dan Bani Quraizah bersekutu dengan kaum Aus.
Ketiga kabilah Yahudi inilah yang kerap membangkitkan persengketaan dan
peperangan antara kaum Aus dan Khazraj. 
Setelah Rasulullah SAW hijrah, kaum Aus dan Khazraj
bersatu dalam panji Islam. Dengan ketiga kabilah Yahudi tersebut, disepakatilah
perjanjian damai yang salah satu isinya adalah saling bersekutu mempertahankan
Madinah jika datang penyerang.
Dalam perang parit, Madinah diserang oleh pasukan multinasional
gabungan antara kaum Quraisy Mekah, kaum Yahudi yang terusir dari Madinah dan
beberapa kabilah Arab antara lain Bani Ghathafan. Strategi benteng parit yang
diusulkan Salman Al Farisi dari Persia berhasil menahan laju pasukan
multinasional. Terjadilah perang urat syarat selama berhari-hari melalui
lemparan panah,  usaha menembus parit
hingga lobi-lobi penuh tipu daya.
Bani Quraizah menyatakan persekutuan baru dengan
pasukan multinasional, menyediakan bentengnya sebagai pintu masuk pasukan itu
menyerang Rasulullah SAW. Mereka mengkhianati perjanjian damai dengan kaum
mukminin. Di tengah situasi mencekam itu, Nu’aim bin Mas’ud, seorang tokoh Bani
Ghathafan, masuk Islam. Rasulullah SAW lalu menugasinya memprovokasi
persekutuan baru Bani Quraizah. 
Tugas ini berhasil dilaksanakan Nu’aim dengan baik.
Selagi Bani Quraizah dan pasukan multinasional terprovokasi, Allah mengirimkan angin
topan sehingga pasukan multinasional di luar parit kocar-kacir dan logistik mereka
porak-poranda. Para pemimpin pasukan itupun akhirnya membatalkan penyerbuan dan
memutuskan angkat kaki, pulang.  
Tinggallah Bani Quraizah sendiri di Madinah, dikhianati
sekutu barunya, tak punya pilihan selain tunduk pada pasukan mukmin. Rasulullah
menunjuk Sa’ad bin Mu’adz, tokoh kaum Aus, sebagai hakim dalam pengadilan
terhadap pengkhianatan Bani Quraizah. Kaum Aus berharap Sa’ad akan memutuskan
sesuatu yang baik terhadap Bani Quraizah, mengingat riwayat persekutuan mereka
dulu. Namun Sa’ad justru bertekad untuk tidak takut terhadap kecaman orang dan
lebih memilih bersikap adil dalam menegakkan hukum Allah. Sa’ad memutuskan hukuman
mati bagi semua laki-laki dewasa Bani Quraizah, anak-anak dan wanita ditawan, dan
harta menjadi rampasan.
Setelah urusan Bani Quraizah selesai, Sa’ad bin
Mu’adz meninggal dunia akibat makin parahnya luka tembakan panah yang
dideritanya selama perang parit. Sa’ad seorang yang berperawakan gemuk dan
tampan. Ketika orang-orang memikul jenazahnya, mereka merasa ringan. Beberapa
orang berkata, “Demi Allah, ia seorang yang gemuk, anehnya, kita tidak pernah
memikul jenazah seringan ini”.
Hal tersebut terdengar oleh Rasulullah SAW sehingga
Beliau bersabda, “Sesungguhnya, Sa’ad bin Mu’adz mempunyai para pemikul selain
kalian. Demi Zat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh para malaikat senang
dengan ruh Sa’ad bin Mu’adz dan Arsy bergetar karenanya”.
Begitulah sambutan para malaikat terhadap seorang
hakim yang memilih menegakkan keadilan meskipun dalam pengadilan terhadap
sekutunya sendiri. 
Disarikan dari Sirah Nabawiyah, Syaikh Shafiyurrahman Al Mubarakfury, Sygma Publishing, 2010
Ilustrasi dari Wordpress.

Komentar
Posting Komentar