Langsung ke konten utama

Membincangi Anak Yatim

Anak yatim adalah anak manusia yang belum dewasa yang ayahnya telah meninggal dunia. Kematian ayah, bagi orang yang belum dewasa, menjadikannya kehilangan pelindung, seakan-akan ia sendirian dan sebatang kara. Selain dapat menimbulkan efek fisik seperti kekurangan materiil – pangan, sandang atau papan, juga ada efek psikis yang mengancam si anak tumbuh menjadi jiwa yang lemah karakter dan imannya.

Jika pemikiran kita hanya sampai di dunia, maka kita akan memandang bahwa membantu anak yatim tidak akan memberikan keuntungan apapun selain menambah beban. Imbalan memelihara anak yatim memang tidak di dunia, tetapi di akhirat. Nabi pernah bersabda sambil mendempetkan hari tengah dan jari telunjuk beliau, “Saya bersama pemelihara anak yatim seperti ini  kelak di surga.” Dan jika kita mengharapkan hanya imbalan akhirat saja, ternyata Allah juga memberikan kepada kita kemuliaan di dunia.
          
Ada beberapa tingkatan bersikap kepada anak yatim, yang dijelaskan sejalan dengan urutan turunnya wahyu kepada Nabi Muhammad saw.

Memuliakan

Pada masa jahiliyah, kaum musyrikin tidak memberi warisan kepada anak-anak yatim dan istri yang ditinggal, bahkan sang istri turut menjadi warisan. Warisan hanya untuk mereka yang terlibat dalam peperangan atau telah membela suku, yaitu para lelaki dewasa. Akibatnya, sudah sang anak yatim kehilangan pelindung, kehilangan penghidupan pula. Mekah menjadi kota yang tidak memberi pelayanan terbaik kepada anak-anak yatim. Mereka tidak ramah kepada anak-anak yatim.
  
Ketika itu masyarakat Mekah, jika ia diuji dengan kenikmatan berupa harta, kehormatan atau kekuatan, mereka berkata dengan bangga cenderung sombong, “Tuhanku telah memuliakanku.” (Surat Al-Fajr ayat 16). Lalu jika ia diuji dengan kekurangan rizki atau mendapat penyakit atau kehilangan anggota keluarga, mereka bersedih cenderung menggerutu dan lalai pada tuntunan agama, mereka berkata, “Tuhanku telah menghinakanku.” (Surat Al-Fajr ayat 16) 

Dengan tegas Allah berfirman, "Kalla, bal laa tukrimuunal yatiim. Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya kamu tidak memuliakan anak yatim,…"(Surat Al-Fajr ayat 17) 

Itulah ayat pertama yang turun membincangi anak yatim. Berhentilah berkata seperti itu, kehinaan yang menimpamu itu diakibatkan karena kamu tidak memuliakan anak yatim, padahal tadinya Allah telah memuliakanmu dengan rizki yang luas, tapi masih saja kamu mengambil harta warisan yang menjadi hak anak-anak yatim, dan kamu terus-menerus mencintai harta itu dengan kecintaan yang berlebihan. Kamu menjadi tamak dan kikir karenanya. Jadi kehinaan yang menimpamu sejatinya disebabkan oleh sikapmu sendiri. Kemuliaan berpangkal pada kebajikan dan ketaatan, dan kehinaan berpangkal pada kedurhakaan kepada Allah.

Tidak berlaku sewenang-wenang
Ayat kedua yang turun membincangi anak yatim adalah Surat Ad-Dhuhaa ayat 9, “Fa ammal yatiima fa laa taqhar. Maka, adapun (kepada) anak yatim, janganlah berlaku sewenang-wenang.”

Kata ‘taqhar’ dipahami dalam arti ‘sewenang-wenang’. Ayat ini turun berkaitan dengan perintah Allah kepada Nabi Muhammad untuk flash-back, kembali mengingat masa kecil beliau. Lahir sebagai anak yatim yang sangat membutuhkan perlindungan, lalu berganti-ganti pengasuh, ibu Halimah, ibunda Aminah, kakek Abdul Muthalib lalu paman Abu Thalib hingga beliau dewasa, bahkan hingga diangkat menjadi nabi.

Terlahir sebagai seorang yatim yang miskin dan papa, diikuti dengan pengasuh yang berganti-ganti, ditambah tidak memiliki pengetahuan baca tulis,  ketiganya sebenarnya sangat rentan menimbulkan penderitaan yang bisa mengakibatkan dampak negatif pada jiwa seorang anak. Namun Allah telah melindungi Nabi Muhammad dari dampak-dampak negatif itu.  Bukankah Dia mendapatimu (sebagai) seorang yatim, lalu Dia melindungimu?”(Surat Ad-Dhuhaa ayat 6).

Karena itu janganlah berbuat sewenang-wenang kepada jiwa anak yatim yang sangat rentan itu, bukankah engkau telah merasakan sendiri betapa pahitnya menjadi yatim? Demikian antara lain maksud yang tersirat. Sebagai muslim, kita pun wajib taat kepada larangan ini.

Tidak Mendorong dengan Keras (Menghardik)
Dalam beberapa riwayat, diceritakan bahwa seseorang – yang diperselisihkan siapa dia, antara Abu Sufyan atau Abu Jahal, Al-Ash Ibn Walid atau selain mereka – konon setiap minggu menyembelih unta. Suatu hari ada seorang anak yatim datang meminta sedikit daging  yang telah disembelih itu, namun ia tidak diberi bahkan dihardik dan diusir. Maka turunlah wahyu ketiga yang membincangi anak yatim, yaitu Surat Al-Ma’un ayat 1-2, “Aro aital ladzii yukadzdzibu bid diin, fa dzalikal ladzii yadu’-’ul yatiim. Apakah engkau telah melihat orang yang mendustakan hari kemudian? Maka (mereka) itulah yang mendorong (menghardik) keras anak yatim.”

Pertanyaan Allah di ayat pertama bukan berarti Allah tidak tahu karena Dia Maha Mengetahui, melainkan bermaksud menggugah hati dan pikiran kita agar memperhatikan ayat berikutnya. Kata dzalika/itu menunjukkan betapa jauhnya tempat dan kedudukan orang yang ditunjuk dari Pembicara, Allah swt. Kata yukadzdzibu/mendustakan dapat terwujud berupa sikap batin, misalnya meragukan atau malah tidak percaya, dapat pula berupa sikap lahir, terrefleksi dalam perbuatan. Kata ad-din dari segi bahasa antara lain berarti agama, kepatuhan dan pembalasan. Pengamatan menunjukan jika Al-Qur’an menggandengkan kata ad-din dengan kata yukadzdzibu, konteksnya adalah pengingkaran terhadap hari kiamat, contoh lainnya di Surat Al-Infithar ayat 9 atau At-Tin ayat 7.  Kata yadu’-‘u berarti mendorong dengan keras. Tidak terbatas pada makna mendorong secara fisik, tapi termasuk pula segala macam bentuk penganiayaan, gangguan dan sikap tak bersahabat.

Jadi orang-orang yang mendorong dengan keras atau menghardik anak yatim, baik secara fisik maupun non-fisik, termasuk kategori mendustakan hari kiamat. Dalam arti mereka menduga bahwa jika mereka memberi bantuan kepada anak yatim tidak akan memberikan manfaat apapun pada mereka, mereka tidak percaya akan adanya hari pembalasan. Bukankah orang yang percaya apapun yang dilakukannya akan mendapat balasan dari Allah meyakini, kalau toh tak ada balasan di dunia, maka akan ada balasannya di akhirat?.

Bahkan Saat Krisis Pangan
Wahyu keempat yang menyebutkan anak yatim adalah Surat Al-Balad ayat 10-15. “Dan Kami telah menunjukinya, dua jalan (yaitu kebaikan dan keburukan), maka tidakkah, sebaiknya dia ia menempuh jalan yang mendaki? Apakah yang menjadikanmu tahu, apa jalan yang mendaki itu?, (yaitu) melepaskan budak, atau pemberian makanan pada hari kelaparan, (kepada) anak yatim yang ada hubungan kedekatan.”

Yaumin dzii masghabatin, hari kelaparan, diartikan banyak ulama sebagai musim paceklik, krisis pangan yang melanda suatu masyarakat. Sedangkan ‘pemberian makanan’ di sana menggunakan kata ith’aam yang berarti makanan yang diberikan adalah milik si pemberi dan bukan hak si penerima seperti zakat misalnya. 

Maka bisa dibayangkan, pada saat kita mengalami krisis pangan, kekurangan pangan, kita justru diperintah Allah untuk mengutamakan memberi makan anak yatim yang ada hubungan kedekatan dengan kita, makanan yang kita sendiri sangat membutuhkannya di masa itu? Bukankah itu benar-benar bukan jalan mudah? Justru amat sangat sulit? Sesulit kita berjalan di jalan yang mendaki? Lelah terengah-engah. Tapi justru itulah jalan kebaikan yang dijanjikan Allah ada keagungan di sana, ada balasan yang lebih baik bagi mereka yang berani memutuskan mengambil jalan itu.

Diutamakan anak yatim yang memiliki hubungan kedekatan, baik itu kedekatan mutlak karena hubungan darah atau kekerabatan, maupun kedekatan jenis dan tempat misalnya hubungan tetangga, kebangsaan maupun kemanusiaan. Mana saja yang paling dekat pada saat krisis itu terjadi.

Harta Anak Yatim
Wahyu kelima membincangi anak yatim adalah Surat Al-Isra’ ayat 34, “Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan (cara) yang paling baik sampai ia dewasa,...”.  Hal yang sama ditegaskan lagi dalam Surat Al-An’am ayat 152.  
Anak yatim tidak identik sebagai anak miskin. Bisa jadi mereka mendapatkan warisan yang cukup banyak dari ayahnya yang meninggal, tetapi karena masih anak-anak, mereka belum cukup akal untuk mengelola harta tersebut. Jika kita menjadi wali anak yatim yang demikian, kita diperingatkan untuk tidak mendekati harta itu, kecuali dengan cara yang paling baik, yaitu cara yang dijelaskan kemudian dalam Surat An-Nisaa ayat 5-6 yang turun di Madinah. “Dan janganlah kamu serahkan, kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya (anak yatim), harta (mereka jika ada dalam kekuasaanmu), yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu), dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik. Dan ujilah anak yatim itu, sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu, mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. Dan janganlah kamu memakan harta anak yatim, lebih dari batas kepatutan, dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (membelanjakannya), sebelum mereka dewasa. Barangsiapa (di antara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah ia menahan diri, (dari memakan harta anak yatim itu), dan barangsiapa miskin, maka bolehlah ia makan harta itu, menurut yang patut. Kemudian apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, maka hendaklah kamu sediakan saksi-saksi, (tentang penyerahan itu) bagi mereka. Dan cukuplah Allah sebagai Pengawas.” 

Bagi wali yang mampu, sebaiknya tidak memakan harta anak yatim itu untuk dirinya dan keluarganya. Jika ia menyantuni anak yatim itu dengan hartanya sendiri, itu adalah kebaikan yang akan dia dapatkan balasannya yang lebih baik di sisi Allah. Tetapi bisa juga ia mengelola dan mengembangkan harta pokok si anak yatim itu, dan hasil pengembangannya digunakan untuk memenuhi semua kebutuhan si anak yatim - pangan, sandang, pendidikan, kesehatan dan kebutuhan lainnya, sehingga harta pokoknya tidak berkurang. Jika si wali miskin, maka hasil pengelolaan dan pengembangan harta itu, selain digunakan untuk memenuhi kebutuhan si anak yatim, ia juga diijinkan untuk memakannya dengan cara yang patut, yaitu sekedar supaya tidak lapar dan tidak berlebih-lebihan.

Jika si wali tidak jujur dalam menggunakan harta anak yatim, baik pokok hartanya maupun hasil pengelolaan dan pengembangannya, ancamannya sungguh berat, "Sesungguhnya, orang-orang yang memakan harta anak yatim, secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya, dan mereka akan masuk ke dalam api, yang menyala-nyala (neraka)."(Surat An-Nisaa : 10) 

Beberapa sahabat nabi yang menjadi wali anak yatim kerabatnya, karena takutnya pada adzab Allah akibat memakan harta anak yatim, ada yang sampai memisahkan makanan dan minuman keluarganya dengan makanan dan minuman si anak yatim. Jika makanan si anak yatim tidak habis, maka mereka simpan, dan tidak jarang tersisa sampai basi. Karena itu mereka pun bertanya kepada Nabi dengan pertanyaan yang beraneka ragam. Allah memerintahkan Nabi-Nya menjawab dengan singkat tapi menyeluruh sehingga dapat menjadi pegangan bagi semua pengasuh atau wali anak yatim, di masa kapan saja, “(Mereka bertanya) tentang dunia akhirat. Dan mereka bertanya kepadamu tentang anak yatim. Katakanlah, ‘mengurus urusan mereka secara patut adalah baik, dan jika kamu mencampurkan mereka, maka mereka adalah saudara-saudara kamu. Allah mengetahui siapa yang membuat kerusakan dari yang mengadakan perbaikan. Dan jikalau Allah menghendaki, niscaya Dia dapat mendatangkan kesulitan kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana’. (QS Al-Baqarah : 220) 

Mengurus urusan anak yatim secara patut adalah lebih baik, yaitu mendidik, bergaul, memelihara serta mengembangkan harta mereka dengan baik dan wajar. Memisahkan makanan dan minuman mereka termasuk yang tidak wajar karena tidak mencerminkan sikap kekeluargaan dan persaudaraan, juga menyulitkan si wali sendiri. Mencampurkan makanan dan minuman mereka dengan makanan dan minuman keluargamu dengan cara yang baik dan wajar, adalah lebih baik, karena mereka itu saudaramu sendiri. Allah tahu siapa yang dalam hatinya ada maksud mengambil harta atau memperlakukan mereka mereka dengan tidak wajar. Allah juga tahu siapa yang bersungguh-sungguh mengikuti tuntunan Allah dalam hal harta anak yatim itu.


Terbaca di atas bahwa yang pertama dan utama dilakukan terhadap anak-anak yatim adalah bersikap baik dengan menjaga perasaan mereka dengan tidak mengambil apa-apa yang menjadi hak mereka, menghardik mereka, apalagi berlaku sewenang-wenang. Jika itu sudah dan kita ingin berbuat lebih baik maka silahkan jika kita ingin menyantuni mereka dengan hal materiil seperti pangan atau sandang. Menyakiti anak kecil, apalagi yang kehilangan ayah sebagai pelindung dalam kehidupannya, dapat menimbulkan masalah kejiwaan yang bisa terbawa hingga dewasa. Dampaknya jauh lebih buruk daripada kekurangan dalam hal materiil. Kemudian jika kita berada pada posisi sebagai wali dari anak yatim yang memiliki harta waris, maka tuntunan Allah telah jelas, sejelas ancamannya pula. 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Proses (Kreatif) Dibalik Buku Anak : Mengenal Tanda Kebesaran Allah SWT

Alhamdulillahi Robbil 'Alamiin Tahun 2015 kemarin ditutup dengan terbitnya buku solo perdana saya. Buku anak berjudul "Mengenal Tanda-Tanda Kebesaran Allah SWT", diterbitkan oleh Al-Kautsar Kids (Pustaka Alkautsar Group). Buku setebal 152 halaman ini telah menempuh perjalanan yang cukup panjang sejak idenya muncul hingga terbit.  Berawal dari perjalanan saya, suami, dan dua anak saya naik motor bolak-balik dari rumah ke masjid setiap waktu sholat tiba.  Saat maghrib, isya dan subuh, saya selalu memandangi langit yang gelap. Di antara kerlip bintang di sana, saya melihat bulan dalam bentuk yang selalu berbeda. Kadang sabit tipiiis serupa alis, kadang cembung gendut lucu, kadang purnama bulat sempurna dengan cahaya berpendar-pendar, indah sekali.  Lalu timbullah tanya dalam hati, dalam Al-Qur'an Allah SWT berfirman bahwa tidaklah Dia menciptakan segala sesuatu di alam semesta ini dengan sia-sia. Tapi mengapa rasa di hati saya terhadap bulan tak lebih hanya hi...

Tiga Langkah Pertamaku

(Juara 2 lomba menulis " Capture Your Gain Moment " yang di selenggarakan oleh Majalah Parents Guide, bulan Desember 2010) Menjelang usia sembilan bulan anakku, Farraas. Aku menjadi full time mom.  Jika dulu pengasuhnya sangat hati-hati menjaga karena tentu saja takut aku marahi kalau terjadi apa-apa. Aku cenderung membiarkan dan tidak menahannya menjelajah seisi rumah. Aku hanya mengamati benda-benda disekitarnya kalau-kalau bisa membahayakannya. Selebihnya,kubiarkan ia menantang dirinya sendiri, merangkak, memegang ini itu, menjangkau benda yang lebih tinggi, lalu mulai berdiri. Awalnya aku terpana melihat ia berdiri sendiri dengan kaki gemetar, mungkin kakinya belum kuat. Ia menangis lalu jatuh terduduk. Aku hanya tersenyum seraya berkata, “Bagus, Nak. Ayo teruskan!”. Dua hari kemudian, Farraas mulai menantang dirinya untuk menggerakkan kakinya selangkah dengan tangan berpegangan di sofa. Satu langkah masih gemetar, ia menangis, namun sekali lagi aku katakan, “Ba...

Indeks Pembangunan Manusia, Indeks Membaca dan Korupsi

Sudah lama saya ingin tahu dan menulis mengenai hubungan korupsi, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan Indeks Membaca, adakah hubungan yang saling berkaitan? KORUPSI Dari data “Political & Economic Risk Consultancy” (PERC) – Hongkong yang dirilis pada tanggal 8 Maret 2010, Indonesia menduduki peringkat pertama sebagai negara paling korup se-asia pasifik. Berikut urutan lengkapnya: Indonesia (terkorup) Kamboja (korup) Vietnam (korup) Filipina (korup) Thailand India China Taiwan Korea Macau Malaysia Jepang Amerika Serikat (bersih) Hong Kong (bersih) Australia (bersih) Singapura (terbersih) Penilaian didasarkan atas pandangan ekskutif bisnis yang menjalankan usaha di 16 negara terpilih. Total responden adalah 2,174 dari berbagai kalangan eksekutif kelas menengah dan atas di Asia, Australia, dan Amerika Serikat. Masih data PERC 2010, dalam kurun 2008-2010, peringkat korupsi Indonesia meningkat dari 7.98 (2008.), 8.32 (2009) dan naik menjadi 9.07 (2010) dari angka...