Anak yatim adalah anak manusia yang
belum dewasa yang ayahnya telah meninggal dunia. Kematian ayah, bagi orang yang
belum dewasa, menjadikannya kehilangan pelindung, seakan-akan ia sendirian dan
sebatang kara. Selain dapat menimbulkan efek fisik seperti kekurangan materiil –
pangan, sandang atau papan, juga ada efek psikis yang mengancam si anak tumbuh
menjadi jiwa yang lemah karakter dan imannya. 
Jika pemikiran kita hanya sampai di dunia, maka kita akan memandang bahwa membantu anak yatim tidak akan memberikan keuntungan apapun selain menambah beban. Imbalan memelihara anak yatim memang tidak di dunia, tetapi di akhirat. Nabi pernah bersabda sambil mendempetkan hari tengah dan jari telunjuk beliau, “Saya bersama pemelihara anak yatim seperti ini kelak di surga.” Dan jika kita mengharapkan hanya imbalan akhirat saja, ternyata Allah juga memberikan kepada kita kemuliaan di dunia.
Ada beberapa tingkatan bersikap kepada anak yatim, yang dijelaskan sejalan dengan urutan turunnya wahyu kepada Nabi Muhammad saw.
Memuliakan
 Pada
masa jahiliyah, kaum musyrikin tidak memberi warisan kepada anak-anak yatim dan
istri yang ditinggal, bahkan sang istri turut menjadi warisan. Warisan hanya
untuk mereka yang terlibat dalam peperangan atau telah membela suku, yaitu para
lelaki dewasa. Akibatnya, sudah sang anak yatim kehilangan pelindung,
kehilangan penghidupan pula. Mekah menjadi kota yang tidak memberi pelayanan
terbaik kepada anak-anak yatim. Mereka tidak ramah kepada anak-anak yatim.
Pada
masa jahiliyah, kaum musyrikin tidak memberi warisan kepada anak-anak yatim dan
istri yang ditinggal, bahkan sang istri turut menjadi warisan. Warisan hanya
untuk mereka yang terlibat dalam peperangan atau telah membela suku, yaitu para
lelaki dewasa. Akibatnya, sudah sang anak yatim kehilangan pelindung,
kehilangan penghidupan pula. Mekah menjadi kota yang tidak memberi pelayanan
terbaik kepada anak-anak yatim. Mereka tidak ramah kepada anak-anak yatim.
Ketika
itu masyarakat Mekah, jika ia diuji dengan kenikmatan berupa harta, kehormatan
atau kekuatan, mereka berkata dengan bangga cenderung sombong, “Tuhanku telah memuliakanku.” (Surat
Al-Fajr ayat 16). Lalu jika ia diuji dengan kekurangan rizki atau
mendapat penyakit atau kehilangan anggota keluarga, mereka bersedih cenderung
menggerutu dan lalai pada tuntunan agama, mereka berkata, “Tuhanku telah menghinakanku.” (Surat Al-Fajr ayat 16) 
Dengan
tegas Allah berfirman, "Kalla, bal laa
tukrimuunal yatiim. Sekali-kali tidak
(demikian), sebenarnya kamu tidak memuliakan anak yatim,…"(Surat
Al-Fajr ayat 17) 
Itulah
ayat pertama yang turun membincangi anak yatim. Berhentilah berkata seperti
itu, kehinaan yang menimpamu itu diakibatkan karena kamu tidak memuliakan anak
yatim, padahal tadinya Allah telah memuliakanmu dengan rizki yang luas, tapi
masih saja kamu mengambil harta warisan yang menjadi hak anak-anak yatim, dan kamu
terus-menerus mencintai harta itu dengan kecintaan yang berlebihan. Kamu
menjadi tamak dan kikir karenanya. Jadi kehinaan yang menimpamu sejatinya
disebabkan oleh sikapmu sendiri. Kemuliaan berpangkal pada kebajikan dan
ketaatan, dan kehinaan berpangkal pada kedurhakaan kepada Allah.
Tidak berlaku sewenang-wenang
Ayat kedua yang turun membincangi anak yatim adalah Surat Ad-Dhuhaa ayat 9, “Fa ammal yatiima fa laa taqhar. Maka, adapun (kepada) anak yatim, janganlah berlaku sewenang-wenang.”
Kata ‘taqhar’ dipahami dalam arti ‘sewenang-wenang’. Ayat ini turun berkaitan dengan perintah Allah kepada Nabi Muhammad untuk flash-back, kembali mengingat masa kecil beliau. Lahir sebagai anak yatim yang sangat membutuhkan perlindungan, lalu berganti-ganti pengasuh, ibu Halimah, ibunda Aminah, kakek Abdul Muthalib lalu paman Abu Thalib hingga beliau dewasa, bahkan hingga diangkat menjadi nabi.
Terlahir sebagai seorang yatim yang miskin dan papa, diikuti dengan pengasuh yang berganti-ganti, ditambah tidak memiliki pengetahuan baca tulis, ketiganya sebenarnya sangat rentan menimbulkan penderitaan yang bisa mengakibatkan dampak negatif pada jiwa seorang anak. Namun Allah telah melindungi Nabi Muhammad dari dampak-dampak negatif itu. “Bukankah Dia mendapatimu (sebagai) seorang yatim, lalu Dia melindungimu?”(Surat Ad-Dhuhaa ayat 6).
Karena itu janganlah berbuat sewenang-wenang kepada jiwa anak yatim yang sangat rentan itu, bukankah engkau telah merasakan sendiri betapa pahitnya menjadi yatim? Demikian antara lain maksud yang tersirat. Sebagai muslim, kita pun wajib taat kepada larangan ini.
Ayat kedua yang turun membincangi anak yatim adalah Surat Ad-Dhuhaa ayat 9, “Fa ammal yatiima fa laa taqhar. Maka, adapun (kepada) anak yatim, janganlah berlaku sewenang-wenang.”
Kata ‘taqhar’ dipahami dalam arti ‘sewenang-wenang’. Ayat ini turun berkaitan dengan perintah Allah kepada Nabi Muhammad untuk flash-back, kembali mengingat masa kecil beliau. Lahir sebagai anak yatim yang sangat membutuhkan perlindungan, lalu berganti-ganti pengasuh, ibu Halimah, ibunda Aminah, kakek Abdul Muthalib lalu paman Abu Thalib hingga beliau dewasa, bahkan hingga diangkat menjadi nabi.
Terlahir sebagai seorang yatim yang miskin dan papa, diikuti dengan pengasuh yang berganti-ganti, ditambah tidak memiliki pengetahuan baca tulis, ketiganya sebenarnya sangat rentan menimbulkan penderitaan yang bisa mengakibatkan dampak negatif pada jiwa seorang anak. Namun Allah telah melindungi Nabi Muhammad dari dampak-dampak negatif itu. “Bukankah Dia mendapatimu (sebagai) seorang yatim, lalu Dia melindungimu?”(Surat Ad-Dhuhaa ayat 6).
Karena itu janganlah berbuat sewenang-wenang kepada jiwa anak yatim yang sangat rentan itu, bukankah engkau telah merasakan sendiri betapa pahitnya menjadi yatim? Demikian antara lain maksud yang tersirat. Sebagai muslim, kita pun wajib taat kepada larangan ini.
Tidak Mendorong dengan Keras (Menghardik)
Dalam beberapa riwayat, diceritakan bahwa seseorang – yang diperselisihkan siapa dia, antara Abu Sufyan atau Abu Jahal, Al-Ash Ibn Walid atau selain mereka – konon setiap minggu menyembelih unta. Suatu hari ada seorang anak yatim datang meminta sedikit daging yang telah disembelih itu, namun ia tidak diberi bahkan dihardik dan diusir. Maka turunlah wahyu ketiga yang membincangi anak yatim, yaitu Surat Al-Ma’un ayat 1-2, “Aro aital ladzii yukadzdzibu bid diin, fa dzalikal ladzii yadu’-’ul yatiim. Apakah engkau telah melihat orang yang mendustakan hari kemudian? Maka (mereka) itulah yang mendorong (menghardik) keras anak yatim.”
Pertanyaan Allah di ayat pertama bukan berarti Allah tidak tahu karena Dia Maha Mengetahui, melainkan bermaksud menggugah hati dan pikiran kita agar memperhatikan ayat berikutnya. Kata dzalika/itu menunjukkan betapa jauhnya tempat dan kedudukan orang yang ditunjuk dari Pembicara, Allah swt. Kata yukadzdzibu/mendustakan dapat terwujud berupa sikap batin, misalnya meragukan atau malah tidak percaya, dapat pula berupa sikap lahir, terrefleksi dalam perbuatan. Kata ad-din dari segi bahasa antara lain berarti agama, kepatuhan dan pembalasan. Pengamatan menunjukan jika Al-Qur’an menggandengkan kata ad-din dengan kata yukadzdzibu, konteksnya adalah pengingkaran terhadap hari kiamat, contoh lainnya di Surat Al-Infithar ayat 9 atau At-Tin ayat 7. Kata yadu’-‘u berarti mendorong dengan keras. Tidak terbatas pada makna mendorong secara fisik, tapi termasuk pula segala macam bentuk penganiayaan, gangguan dan sikap tak bersahabat.
Jadi orang-orang yang mendorong dengan keras atau menghardik anak yatim, baik secara fisik maupun non-fisik, termasuk kategori mendustakan hari kiamat. Dalam arti mereka menduga bahwa jika mereka memberi bantuan kepada anak yatim tidak akan memberikan manfaat apapun pada mereka, mereka tidak percaya akan adanya hari pembalasan. Bukankah orang yang percaya apapun yang dilakukannya akan mendapat balasan dari Allah meyakini, kalau toh tak ada balasan di dunia, maka akan ada balasannya di akhirat?.
Dalam beberapa riwayat, diceritakan bahwa seseorang – yang diperselisihkan siapa dia, antara Abu Sufyan atau Abu Jahal, Al-Ash Ibn Walid atau selain mereka – konon setiap minggu menyembelih unta. Suatu hari ada seorang anak yatim datang meminta sedikit daging yang telah disembelih itu, namun ia tidak diberi bahkan dihardik dan diusir. Maka turunlah wahyu ketiga yang membincangi anak yatim, yaitu Surat Al-Ma’un ayat 1-2, “Aro aital ladzii yukadzdzibu bid diin, fa dzalikal ladzii yadu’-’ul yatiim. Apakah engkau telah melihat orang yang mendustakan hari kemudian? Maka (mereka) itulah yang mendorong (menghardik) keras anak yatim.”
Pertanyaan Allah di ayat pertama bukan berarti Allah tidak tahu karena Dia Maha Mengetahui, melainkan bermaksud menggugah hati dan pikiran kita agar memperhatikan ayat berikutnya. Kata dzalika/itu menunjukkan betapa jauhnya tempat dan kedudukan orang yang ditunjuk dari Pembicara, Allah swt. Kata yukadzdzibu/mendustakan dapat terwujud berupa sikap batin, misalnya meragukan atau malah tidak percaya, dapat pula berupa sikap lahir, terrefleksi dalam perbuatan. Kata ad-din dari segi bahasa antara lain berarti agama, kepatuhan dan pembalasan. Pengamatan menunjukan jika Al-Qur’an menggandengkan kata ad-din dengan kata yukadzdzibu, konteksnya adalah pengingkaran terhadap hari kiamat, contoh lainnya di Surat Al-Infithar ayat 9 atau At-Tin ayat 7. Kata yadu’-‘u berarti mendorong dengan keras. Tidak terbatas pada makna mendorong secara fisik, tapi termasuk pula segala macam bentuk penganiayaan, gangguan dan sikap tak bersahabat.
Jadi orang-orang yang mendorong dengan keras atau menghardik anak yatim, baik secara fisik maupun non-fisik, termasuk kategori mendustakan hari kiamat. Dalam arti mereka menduga bahwa jika mereka memberi bantuan kepada anak yatim tidak akan memberikan manfaat apapun pada mereka, mereka tidak percaya akan adanya hari pembalasan. Bukankah orang yang percaya apapun yang dilakukannya akan mendapat balasan dari Allah meyakini, kalau toh tak ada balasan di dunia, maka akan ada balasannya di akhirat?.
Bahkan Saat Krisis Pangan
Wahyu keempat yang menyebutkan anak yatim adalah Surat Al-Balad ayat 10-15. “Dan Kami telah menunjukinya, dua jalan (yaitu kebaikan dan keburukan), maka tidakkah, sebaiknya dia ia menempuh jalan yang mendaki? Apakah yang menjadikanmu tahu, apa jalan yang mendaki itu?, (yaitu) melepaskan budak, atau pemberian makanan pada hari kelaparan, (kepada) anak yatim yang ada hubungan kedekatan.”
Yaumin dzii masghabatin, hari kelaparan, diartikan banyak ulama sebagai musim paceklik, krisis pangan yang melanda suatu masyarakat. Sedangkan ‘pemberian makanan’ di sana menggunakan kata ith’aam yang berarti makanan yang diberikan adalah milik si pemberi dan bukan hak si penerima seperti zakat misalnya.
Wahyu keempat yang menyebutkan anak yatim adalah Surat Al-Balad ayat 10-15. “Dan Kami telah menunjukinya, dua jalan (yaitu kebaikan dan keburukan), maka tidakkah, sebaiknya dia ia menempuh jalan yang mendaki? Apakah yang menjadikanmu tahu, apa jalan yang mendaki itu?, (yaitu) melepaskan budak, atau pemberian makanan pada hari kelaparan, (kepada) anak yatim yang ada hubungan kedekatan.”
Yaumin dzii masghabatin, hari kelaparan, diartikan banyak ulama sebagai musim paceklik, krisis pangan yang melanda suatu masyarakat. Sedangkan ‘pemberian makanan’ di sana menggunakan kata ith’aam yang berarti makanan yang diberikan adalah milik si pemberi dan bukan hak si penerima seperti zakat misalnya.
 Maka
bisa dibayangkan, pada saat kita mengalami krisis pangan, kekurangan pangan, kita
justru diperintah Allah untuk mengutamakan memberi makan anak yatim yang ada
hubungan kedekatan dengan kita, makanan yang kita sendiri sangat membutuhkannya
di masa itu? Bukankah itu benar-benar bukan jalan mudah? Justru amat sangat
sulit? Sesulit kita berjalan di jalan yang mendaki? Lelah terengah-engah. Tapi
justru itulah jalan kebaikan yang dijanjikan Allah ada keagungan di sana, ada balasan
yang lebih baik bagi mereka yang berani memutuskan mengambil jalan itu.
Maka
bisa dibayangkan, pada saat kita mengalami krisis pangan, kekurangan pangan, kita
justru diperintah Allah untuk mengutamakan memberi makan anak yatim yang ada
hubungan kedekatan dengan kita, makanan yang kita sendiri sangat membutuhkannya
di masa itu? Bukankah itu benar-benar bukan jalan mudah? Justru amat sangat
sulit? Sesulit kita berjalan di jalan yang mendaki? Lelah terengah-engah. Tapi
justru itulah jalan kebaikan yang dijanjikan Allah ada keagungan di sana, ada balasan
yang lebih baik bagi mereka yang berani memutuskan mengambil jalan itu.
Diutamakan
anak yatim yang memiliki hubungan kedekatan, baik itu kedekatan mutlak karena
hubungan darah atau kekerabatan, maupun kedekatan jenis dan tempat misalnya
hubungan tetangga, kebangsaan maupun kemanusiaan. Mana saja yang paling dekat pada
saat krisis itu terjadi.
Harta Anak Yatim
Wahyu kelima membincangi anak yatim adalah Surat Al-Isra’ ayat 34, “Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan (cara) yang paling baik sampai ia dewasa,...”. Hal yang sama ditegaskan lagi dalam Surat Al-An’am ayat 152.
Wahyu kelima membincangi anak yatim adalah Surat Al-Isra’ ayat 34, “Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan (cara) yang paling baik sampai ia dewasa,...”. Hal yang sama ditegaskan lagi dalam Surat Al-An’am ayat 152.
Anak
yatim tidak identik sebagai anak miskin. Bisa jadi mereka mendapatkan warisan
yang cukup banyak dari ayahnya yang meninggal, tetapi karena masih anak-anak,
mereka belum cukup akal untuk mengelola harta tersebut. Jika kita menjadi wali
anak yatim yang demikian, kita diperingatkan untuk tidak mendekati harta itu,
kecuali dengan cara yang paling baik, yaitu cara yang dijelaskan kemudian dalam
Surat An-Nisaa ayat 5-6 yang turun di Madinah. “Dan janganlah kamu serahkan, kepada orang-orang yang belum sempurna
akalnya (anak yatim), harta (mereka jika ada dalam kekuasaanmu), yang dijadikan
Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil
harta itu), dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik. Dan ujilah anak
yatim itu, sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut
pendapatmu, mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah
kepada mereka harta-hartanya. Dan janganlah kamu memakan harta anak yatim,
lebih dari batas kepatutan, dan (janganlah kamu) tergesa-gesa
(membelanjakannya), sebelum mereka dewasa. Barangsiapa (di antara pemelihara
itu) mampu, maka hendaklah ia menahan diri, (dari memakan harta anak yatim
itu), dan barangsiapa miskin, maka bolehlah ia makan harta itu, menurut yang
patut. Kemudian apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, maka hendaklah
kamu sediakan saksi-saksi, (tentang penyerahan itu) bagi mereka. Dan cukuplah
Allah sebagai Pengawas.” 
Bagi
wali yang mampu, sebaiknya tidak memakan harta anak yatim itu untuk dirinya dan
keluarganya. Jika ia menyantuni anak yatim itu dengan hartanya sendiri, itu
adalah kebaikan yang akan dia dapatkan balasannya yang lebih baik di sisi
Allah. Tetapi bisa juga ia mengelola dan mengembangkan harta pokok si anak
yatim itu, dan hasil pengembangannya digunakan untuk memenuhi semua kebutuhan si
anak yatim - pangan, sandang, pendidikan, kesehatan dan kebutuhan lainnya,
sehingga harta pokoknya tidak berkurang. Jika si wali miskin, maka hasil
pengelolaan dan pengembangan harta itu, selain digunakan untuk memenuhi
kebutuhan si anak yatim, ia juga diijinkan untuk memakannya dengan cara yang
patut, yaitu sekedar supaya tidak lapar dan tidak berlebih-lebihan.
Jika
si wali tidak jujur dalam menggunakan harta anak yatim, baik pokok hartanya
maupun hasil pengelolaan dan pengembangannya, ancamannya sungguh berat, "Sesungguhnya, orang-orang yang memakan
harta anak yatim, secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh
perutnya, dan mereka akan masuk ke dalam api, yang menyala-nyala
(neraka)."(Surat An-Nisaa : 10) 
Beberapa
sahabat nabi yang menjadi wali anak yatim kerabatnya, karena takutnya pada
adzab Allah akibat memakan harta anak yatim, ada yang sampai memisahkan makanan
dan minuman keluarganya dengan makanan dan minuman si anak yatim. Jika makanan
si anak yatim tidak habis, maka mereka simpan, dan tidak jarang tersisa sampai
basi. Karena itu mereka pun bertanya kepada Nabi dengan pertanyaan yang
beraneka ragam. Allah memerintahkan Nabi-Nya menjawab dengan singkat tapi
menyeluruh sehingga dapat menjadi pegangan bagi semua pengasuh atau wali anak
yatim, di masa kapan saja, “(Mereka
bertanya) tentang dunia akhirat. Dan mereka bertanya kepadamu tentang anak
yatim. Katakanlah, ‘mengurus urusan mereka secara patut adalah baik, dan jika
kamu mencampurkan mereka, maka mereka adalah saudara-saudara kamu. Allah
mengetahui siapa yang membuat kerusakan dari yang mengadakan perbaikan. Dan
jikalau Allah menghendaki, niscaya Dia dapat mendatangkan kesulitan kepadamu.
Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana’. (QS Al-Baqarah :
220) 
Mengurus
urusan anak yatim secara patut adalah lebih baik, yaitu mendidik, bergaul,
memelihara serta mengembangkan harta mereka dengan baik dan wajar. Memisahkan
makanan dan minuman mereka termasuk yang tidak wajar karena tidak mencerminkan
sikap kekeluargaan dan persaudaraan, juga menyulitkan si wali sendiri.
Mencampurkan makanan dan minuman mereka dengan makanan dan minuman keluargamu
dengan cara yang baik dan wajar, adalah lebih baik, karena mereka itu saudaramu
sendiri. Allah tahu siapa yang dalam hatinya ada maksud mengambil harta atau
memperlakukan mereka mereka dengan tidak wajar. Allah juga tahu siapa yang
bersungguh-sungguh mengikuti tuntunan Allah dalam hal harta anak yatim itu.
Terbaca
di atas bahwa yang pertama dan utama dilakukan terhadap anak-anak yatim adalah
bersikap baik dengan menjaga perasaan mereka dengan tidak mengambil apa-apa
yang menjadi hak mereka, menghardik mereka, apalagi berlaku sewenang-wenang. Jika
itu sudah dan kita ingin berbuat lebih baik maka silahkan jika kita ingin
menyantuni mereka dengan hal materiil seperti pangan atau sandang. Menyakiti
anak kecil, apalagi yang kehilangan ayah sebagai pelindung dalam kehidupannya, dapat
menimbulkan masalah kejiwaan yang bisa terbawa hingga dewasa. Dampaknya jauh
lebih buruk daripada kekurangan dalam hal materiil. Kemudian jika kita berada
pada posisi sebagai wali dari anak yatim yang memiliki harta waris, maka
tuntunan Allah telah jelas, sejelas ancamannya pula. 

Komentar
Posting Komentar