Sepulang mengantar Nanay ke taman kanak-kanaknya, aku melewati rumah Raya, kawan sekelas Nanay. Kulihat Raya masih ada di rumah bersama pengasuhnya, memakai baju rumah. Padahal hari ini adalah hari Senin, hari sekolah Nanay yang berarti hari sekolah Raya juga. Jam sudah menunjukan pukul 08.15. Itu artinya sudah lewat lima belas menit dari jam masuk kelas mereka.
“Lho, Raya kok belum berangkat sekolah?” tanyaku spontan dari pinggir jalan.
Pengasuhnya tersenyum,  “Iya, nih. Baru saja bangun tidur. Sekarang ngga mau berangkat sekolah, deh!”  jawabnya datar tanpa merasa bersalah melewatkan satu hari yang mungkin saja bersejarah bagi Raya.
Aku mengangguk-angguk, “Oooo…..” lalu meneruskan langkah pulang.
Sebelum tiba di rumah, aku bertemu dengan Fadhil, kawan sekelas Nanay juga, baru berangkat diantar oleh neneknya dan pengasuhnya.  Boleh dibilang pertemuanku dengan Fadhil adalah pertemuan rutin setiap hari sekolah. Itu artinya Fadhil terlambat hampir setiap hari!.
“Lho, Fadhil baru berangkat?” tanyaku , lagi-lagi, spontan. Tak enak hati mengatakan, Fadhil terlambat lagi?.
“Iya nih. Aduh…langganan terlambat, deh!” keluh Neneknya. Pengasuhnya tersenyum-senyum saja di belakang mereka.
Itu juga jawaban yang sama yang kudengar setiap hari bertemu mereka.
Terlambat memang bukan barang baru, aku pun pernah terlambat masuk sekolah. Terlambat juga hal yang manusiawi, bukankah dalam sholat pun ada istilah masbuk untuk orang yang terlambat bergabung sholat berjamaah. Terlambat baru menjadi masalah jika ia sudah menjadi budaya. Parahnya lagi, sepertinya hal itu benar-benar terjadi di negeri ini.
Sudah bukan hal baru sebuah acara mulai lebih lambat dari waktu yang ditentukan. Peserta sengaja datang terlambat karena biasanya sebuah acara memang selalu molor dari waktu mulai yang dijadwalkan. Panitia sengaja memolorkan waktu untuk menunggu para peserta yang sengaja terlambat tersebut. Begitu seterusnya. Yang berusaha tepat waktu, terpaksa kecewa dan berikutnya sengaja terlambat demi tidak merasa kecewa lagi. Semua maklum. Semua paham. Semua menerima dan memaafkan.
Budaya terlambat ini terefleksi sangat jelas pada diri bangsa ini. Sejak krisis ekonomi 1998, Indonesia terlambat bangkit. Kalah jauh oleh negara-negara tetangga. Bahkan bisa dikatakan hingga kini pun Indonesia tak bangkit 100%. Berbagai bencana alam, katakanlah tsunami Aceh, lumpur Lapindo, gempa Jogja atau bencana-bencana langganan seperti banjir, semua bisa dikatakan ditangani ‘terlambat’ oleh pihak yang berwenang. Lain lagi dengan kasus-kasus korupsi kelas kakap yang melibatkan banyak kepentingan, sudah pasti penyelesaiannya sengaja dilambat-lambatkan. Tidak sengaja saja sudah terbiasa terlambat kok, apalagi disengaja, pasti lebih gampang!.
Aku pernah berpendapat bahwa kunci perubahan bangsa ini ada pada pendidikan generasi mudanya, anak-anak yang hari ini lahir dari rahim-rahim yang mulia hingga anak usia sekolah dasar. Mereka adalah jiwa-jiwa muda yang masih bisa dibentuk. Jiwa yang masih bisa diluruskan jika bengkok. Jiwa fitrah yang jika diurus dengan sungguh-sungguh Insya Allah akan menjadi penentram keluarga, memperingan langkah orang tuanya di hari akhir, hingga menjadi penguat masyarakat dan bangsa.
Setiap anak seusia itu, selama apa yang masuk ke dalam dirinya adalah sesuatu yang halal, aku yakini akan cenderung kepada kebaikan. Menepati waktu adalah satu kebaikan. Ia mengajarkan kepada mereka tanggung jawab pada diri sendiri, penghargaan pada orang lain dan juga organizational skill yang sangat penting bagi proses belajar di tahap lanjut nanti.
Kita tidak bisa mengharapkan anak-anak di usia itu akan sadar sendiri pentingnya menepati waktu. Kita sebagai orang tuanya yang kebetulan punya lebih banyak pengalaman tentu lebih tahu mengenai hal ini. Maka kewajiban kitalah memberitahu pada mereka. 
Zaman dulu, orang tua mulai mengajarkan pada anak-anak konsep menepati waktu ketika mulai mengajarkan sholat di usia ketika mereka sudah bisa membedakan kanan dan kiri. Lalu mulai disiplin ketika usia 10 tahun dimana dibolehkan memukul pantat mereka jika mereka menolak mendirikan sholat di usia ini. Sekarang, para orang tua punya kesempatan lebih awal mengenalkan konsep menepati waktu dengan memasukan anak-anaknya di playgroup, TK bahkan PAUD  yang menerima anak usia 2.5 tahun. Kesempatan itu ada pada detik-detik menyiapkan anak-anak berangkat ke sekolah mereka masing-masing.
Anak-anak sangat senang dan nyaman dengan rutinitas. Rutinitas membuat mereka tahu apa yang akan dan harus mereka lakukan berikutnya. Sangat penting untuk menyiapkan mental mereka sebelum hari pertama masuk sekolah dengan mengenalkan rutinitas pagi. Jam berapa harus bangun, setelah bangun langsung mandi, sikat gigi, berpakaian, dan kemudian sarapan pagi. Semuanya harus bisa selesai paling telat setengah jam sebelum jam masuk sekolah (untuk yang jarak sekolahnya dekat, jika jauh mungkin memerlukan waktu satu jam sebelumnya). Dengan demikian mereka masih bisa menikmati perjalanan ke sekolah tanpa diburu-buru ibu atau pengasuhnya karena takut terlambat. Perjalanan yang menyenangkan akan menanamkan dalam benak mereka bahwa bersekolah itu sama menyenangkan.
Banyak guru playgroup dan TK yang mengatakan bahwa pada awalnya setiap anak merasa sangat malu dan tidak percaya diri jika terlambat datang ke sekolah.  Namun karena orang tua merasa tak ada masalah dengan menjadi terlambat sehingga membiarkan kebiasaan anak terus-menerus terlambat, maka perlahan-lahan rasa malu dan tidak percaya diri itu hilang, berganti dengan rasa cuek dan merasa tak merugi. Padahal berapa banyak anak-anak yang menjadi langganan terlambat karena orang tuanya juga gagal menjadikan dirinya menepati waktu. Ah, lagi-lagi teladan dari orang tua. 
Anak sulit bangun pagi aku pikir bukan alasan bagus untuk terlambat masuk sekolah. Itu lebih tepat dikatakan sebagai kekurangpedulian orang tua terhadap anak dan masa depan mereka. Jika sudah tahu anak masuk sekolah pukul delapan pagi, maka bangunkanlah ia sebelumnya hingga cukup waktu untuknya mempersiapkan diri secara sempurna. Biasakanlah terus rutinitas ini meskipun anak-anak cemberut dan melawan. Beri pengertian selalu, jika tak mempan juga mungkin saatnya mengatakan siapa yang berkuasa di rumah!.  
Memang bisa juga akan tumbuh dalam diri mereka sendiri kesadaran menepati waktu di suatu masa di sekolah lanjut nanti. Tapi berapa banyak anak yang mendapatkan anugrah seperti ini?. Tak inginkah kita dikenang oleh anak kita nanti sebagai gurunya yang paling sejati?.
Ada juga yang berpendapat bahwa memasukan anak-anak ke playgroup, PAUD atau TK hanya sekedar memberikan media untuk anak bersosialisasi dengan kawan sebaya, sehingga tak perlu terlalu serius menepati jadwal sekolah. Takut anak menjadi bosan atau malah jadi membenci sekolah juga menjadi alasan lainnya. Jika anak terlambat bangun, ya bolos saja sekolahnya. Jika anak menolak diajak berangkat sekolah, ya bolos saja sekolahnya. Banyak orang tua memilih tak terlalu memaksakan jadwal sekolah.
Padahal anak pada rentang usia ini sesungguhnya tak terlalu tahu apa yang benar-benar mereka inginkan. Sejatinya mereka akan menurut saja pada apa yang dikatakan orang tuanya. Jika anak bersikap menolak atau melawan, ia tengah mencari batas kesabaran orang tuanya. Sekali orang tua longgar, maka anak tahu ia bisa mempermainkan ayah ibunya. Sebaliknya, jika orang tuanya konsisten bersikap disiplin, pada akhirnya anak akan tahu bahwa disiplin banyak memudahkan hidupnya kelak di jenjang pendidikan berikutnya. Jika mereka terbiasa menepati waktu, Insya Allah juga jika kelak mereka diamanti negeri ini di tangan mereka, mereka tak akan terlambat mengambil keputusan karena dalam diri mereka tertanam kuat sense of responsibility dan sense of urgency. Lebih baik daripada generasi yang saat ini berkuasa.
Ada juga yang berpendapat bahwa memasukan anak-anak ke playgroup, PAUD atau TK hanya sekedar memberikan media untuk anak bersosialisasi dengan kawan sebaya, sehingga tak perlu terlalu serius menepati jadwal sekolah. Takut anak menjadi bosan atau malah jadi membenci sekolah juga menjadi alasan lainnya. Jika anak terlambat bangun, ya bolos saja sekolahnya. Jika anak menolak diajak berangkat sekolah, ya bolos saja sekolahnya. Banyak orang tua memilih tak terlalu memaksakan jadwal sekolah.
Padahal anak pada rentang usia ini sesungguhnya tak terlalu tahu apa yang benar-benar mereka inginkan. Sejatinya mereka akan menurut saja pada apa yang dikatakan orang tuanya. Jika anak bersikap menolak atau melawan, ia tengah mencari batas kesabaran orang tuanya. Sekali orang tua longgar, maka anak tahu ia bisa mempermainkan ayah ibunya. Sebaliknya, jika orang tuanya konsisten bersikap disiplin, pada akhirnya anak akan tahu bahwa disiplin banyak memudahkan hidupnya kelak di jenjang pendidikan berikutnya. Jika mereka terbiasa menepati waktu, Insya Allah juga jika kelak mereka diamanti negeri ini di tangan mereka, mereka tak akan terlambat mengambil keputusan karena dalam diri mereka tertanam kuat sense of responsibility dan sense of urgency. Lebih baik daripada generasi yang saat ini berkuasa.
Melihat dua kawan Nanay tak diberi rutinitas pagi yang jelas sehingga menjadi terbiasa terlambat membuatku berpikir ulang, apakah generasi pembaharu bangsa ini masih akan lama lahir ke dunia?.
Apakah kita menginginkan generasi penerus yang lebih baik dari diri kita atau sama pun cukuplah?. 
Depok, 23 Februari 2011

Komentar
Posting Komentar