Tanganku sudah memegang gagang pintu kamar mandi di dalam kamar ketika gadis kecil itu masuk. Raut mukanya sedikit manyun. Ia membawa dua gelas yang tadi aku taruh di hadapannya. Sikat giginya masih ada di atas gelas princess pink-nya. Gelas plastik hijau satunya lagi digunakan untuk menaruh air bekas kumuran usai sikat gigi.
"Sudah sikat gigi belum?" tanyaku spontan melihatnya membawa masuk sikat gigi dan dua gelas itu ke dalam kamar.
Gadis kecil itu menggeleng.
"Kenapa?" tanyaku sedikit gusar. Sikat gigi sebelum tidur adalah satu rutinitas yang aku terapkan padanya sejak gigi kelincinya tumbuh. Aku mengira dia tidak mau menyikat giginya sendiri alias minta bantuan.
"Habis kok Mama kasih Nailah odol hijau. Nailah ngga mau odol hijau" jawabnya memelas. Aku ingat aku punya perjanjian dengannya bahwa jika odol rasa stroberinya nanti habis, maka odolnya akan diganti dengan odol bergambar Diego atau Dora yang rasanya sudah sedikit pedas-pedas mint. Mungkin ia mengira malam itu adalah malam perjanjian itu ditunaikan.
Dengan sedikit geli aku memanjangkan leher, melongok odol yang tadi aku taruh di atas sikat giginya. Benar! warnanya hijau. Kok, bisa hijau?. Aku sedikit heran. Odol yang biasa ia pakai kan odol rasa stroberi yang warnanya merah. Kenapa jadi hijau???.
Aku dan gadis cilik itu berpandangan. Ia menatapku meminta jawaban dan aku menatapnya mengingat-ingat bagaimana odolnya bisa jadi hijau.
Olala! aku jadi ingat kalau tadi sore aku baru saja meletakkan odolku yang memang berwarna hijau berdekatan dengan odolnya yang berwarna merah. Dan aku salah ambil odol gara-gara baru saja melihat berita di televisi yang isinya seratus persen berita tentang kekacauan negeriku tercinta ini, aku terus kepikiran. Kerusuhan di Temanggung, penyerangan warga Ahmadiyah di Cikeusik, kasus Gayus Tambunan, Susu berbakteri Sakazaki yang meresahkan, kasus Traveler's Cheque Miranda Gultom, sikap anggota DPR yang menolak kehadiran KPK Bibit-Chandra dan beberapa berita lain. Semua berita itu rasanya meniupkan energi negatif yang membuat lemas dan sakit. Berawal dari gagalnya sikap mengendalikan amarah dan hawa nafsu tiap individu dan ditambah gagalnya pemerintah mendidik rakyatnya, maka sempurnalah segala kekacauan itu.
Bagaimana bisa rasa tidak senang terhadap orang atau kelompok lain bisa terwujud dalam bentuk memukul, merusak, membakar, mengusir, bahkan membunuh. Bagaimana nafsu atas tahta dan harta terwujud dalam bentuk menyuap, berbohong, dan menggunakan segala cara tak peduli akibatnya bagi orang lain. Satu hal yang membuatku bertanya-tanya, bagaimana karakter-karakter buruk itu bermula?. Karakter-karakter itu, sampai kapan akan menjadi kepribadian bangsa ini yang paling dominan?
Karakter dibentuk sejak seorang anak lahir ke dunia dan makin pesat saat ia mulai bersosialisasi dengan lingkungannya. Karakter bukan sesuatu yang mudah dibentuk, ia membutuhkan pembiasaan dari proses peniruan (imitation) dan contoh perilaku (modelling) dari lingkungan terdekatnya (1). Intinya keteladanan orang-orang terdekatnya. Uniknya, sekali terbentuk karakter akan sangat sulit diubah, apalagi jika terlanjur terbawa hingga remaja atau dewasa.
Erik Erikson, tokoh psikologi sosial, mengatakan bahwa pada tahun pertama kehidupannya, bayi memakai sebagian besar waktunya untuk makan, buang kotoran, dan tidur. Ketika sang ibu memberinya makan dan minum secara teratur, bayi belajar tentang kepercayaan dasar (basic trust). Perlakuan yang lembut, ayunan, dan irama menjelang tidur, serta pemenuhan semua kebutuhannya, membuat bayi belajar bersikap tenang, santai, dan percaya diri menghadapi tugas kehidupannya (2). Jika anak pada masa usia dua tahun pertamanya mendapatkan limpahan kasih sayang cukup, maka akan mudah baginya membangun karakter positif dalam dirinya, seperti rasa empati, dermawan, rasa malu jika melakukan perbuatan yang tidak baik, dan sebagainya. Pada usia-usia berikutnya, karakter positif ini akan berkembang dengan baik jika anak sudah mempunyai basic trust seperti teori Erikson di atas. Karenanya, para psikolog sangat menyarankan orang tua, agar selalu mengekspresikan kasih sayangnya kepada anak, secara verbal maupun non-verbal (sikap & bahasa tubuh). Anak yang tumbuh dalam lingkungan penuh kasih sayang, kelak akan tumbuh menjadi pribadi yang penuh dengan kesabaran, empati, dan juga menyayangi sesamanya.
Dalam pandangan Islam, tanggung jawab pendidikan anak yang utama dan pertama adalah orang tuanya. Seperti firman Allah SWT : "Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan” (Q.S. At-Tahrim: 6).
Ketika anak memasuki usia pra sekolah dan sekolah dasar hingga menengah pertama, interaksi dengan orang tua sangat dibutuhkan, karena interaksi pada masa ini terkait dengan hal-hal yang berfokus pada kesopanan, jadwal tidur, pengendalian amarah, berkelahi dengan saudara kandung dan teman sebaya, perilaku dan tata karma makan, kebebasan dalam berpakaian, dan mencari perhatian (3). Pada rentang usia inilah sebuah karakter akan terpatri kuat dalam diri seorang manusia.
Pemerintah, yang diamanati UUD 45 pasal 31 untuk menyelenggarakan pengajaran dan pendidikan bagi rakyatnya, mulai terasa berperan ketika seorang anak memasuki usia sekolah, melalui kurikulum yang diterapkan di sekolah-sekolah. Sayangnya, sebagian besar kurikulum itu hanya sedikit sekali menitikberatkan pada pendidikan karakter yang baik. Content atau pengetahuan, masih jadi yang dominan. Padahal content atau pengetahuan itu dapat dicari sendiri oleh si anak kelak saat ia membutuhkannya. Syaratnya hanya, si anak diperkenalkan pada teknik mencari informasi dan dididik dengan karakter tak mudah menyerah. Tugas orang tua dan pendidik mestinya bukan penyampai informasi belaka, tetapi membekali anak dengan ilmu siap belajar dan karakter baik yang kuat. Anak akan melesat sendiri mencari informasi apapun yang ia butuhkan kelak.
Dalam bukunya Ihya Ulumuddin, Al-Ghazali mengatakan: ”Anak adalah amanah bagi kedua orang tuanya. Hatinya adalah emas yang belum diukir, tidak ada lukisan dan gambaran. Dia bisa menerima semua lukisan, cenderung kepada setiap yang mengajaknya. Bila dibiasakan dalam kebaikan dan diajarkan maka ia akan tumbuh di atasnya. Orang tua, guru, dan pendidiknya akan berbahagia di dunia dan akhirat. Apabila dibiasakan dengan kejelekan dan dibiarkan seperti binatang maka ia akan sengsara dan binasa. Dosanya ditanggung juga oleh pendidik dan orang tuanya." (4)
Menjelang usia sekolah menengah atas, pengaruh orang lain selain orang tua semakin banyak dan kadang lebih dominan. Jika karakter yang terbentuk padanya karakter baik, maka orang tua tak terlalu khawatir karena anak akan punya proteksi dalam dirinya sendiri terhadap hal-hal buruk. Orang tua tinggal terus menajamkannya saja. Lain halnya jika karakter buruk lebih dominan pada diri si anak. Ia akan sangat rentan terbawa arus hal-hal yang kurang baik di sekelilingnya, seperti pergaulan bebas, pelecehan (bullying), narkoba, tawuran, contek-mencontek, suap-menyuap kecil, gengster, dan sebagainya. Akibatnya kadang tidak hanya menimpa si anak, tetapi juga orang tuanya. Akibatnya itu, mungkin tak dirasakan saat masih sekolah, tetapi nanti saat sudah bekerja atau bermasyarakat.
Tengok saja kerusuhan di Temanggung, penyerangan di Cikeusik, dan penyerangan atau kerusuhan lain yang sebelumnya terjadi, bukankah itu dengan kata lain adalah kelanjutan dari tawuran dan bullying saat mereka muda dulu?. Kasus suap Gayus Tambunan, kasus suap Traveler's Cheque Miranda Gultom, dan kasus suap yang banyak bertebaran dari tingkat kelurahan hingga pejabat tinggi, bukankah dengan kata lain itu adalah juga kelanjutan dari sikap bullying, contek-mencontek, suap-menyuap kecil hingga gengster saat mereka muda dulu?. Intinya, kegagalan penanaman karakter baik pada anak sejak dini, akan membentuk pribadi yang bermasalah di masa dewasanya kelak.
Bukan tak mungkin manusia dewasa yang terlanjur berkarakter buruk menjadi taubat dan berubah seratus delapan puluh derajat menjadi berkarakter baik. Selama ajal belum menjemputnya, ia masih memiliki kesempatan memperbaiki diri. Namun, seberapa banyak orang yang mendapatkan hidayah Allah seperti itu?.
"Mama.....gimana ini odolnya?" suara Nailah membuyarkan lamunanku tentang berita di televisi tadi. Aku seperti disadarkan kembali kepada dunia nyata.
Aku menatap Nailah, menatap seorang gadis kecil usia 4 tahun yang menjadi tanggung jawabku menanamkan karakter baik itu. Perangai dan kelakuan gadis itu selama hidupnya di dunia kelak akan menjadi hal yang harus aku pertanggungjawabkan di hadapan Allah di hari penghisaban. Doa gadis kecil itu pulalah kelak yang akan meringankan bebanku di sana. "Ya, Allah. Aku akan memberi yang terbaik dari diriku untuk mendidiknya. Selebihnya, aku titipkan ia dalam bimbingan-Mu, karena Engkau saja yang mampu membolak-balikkan hati manusia".
Aku mengganti odol hijau di sikat giginya dengan odol merah stroberi. Andai saja memperbaiki karakter buruk semudah aku mengganti odol hijau dengan odol merah ini, tentu gampang sekali berita kekacauan di televisi tadi berganti dengan berita keteladanan yang baik esok hari.
Depok, 10 Februari 2011
(Gambar diambil dari forum.detik.com)
"Sudah sikat gigi belum?" tanyaku spontan melihatnya membawa masuk sikat gigi dan dua gelas itu ke dalam kamar.
Gadis kecil itu menggeleng.
"Kenapa?" tanyaku sedikit gusar. Sikat gigi sebelum tidur adalah satu rutinitas yang aku terapkan padanya sejak gigi kelincinya tumbuh. Aku mengira dia tidak mau menyikat giginya sendiri alias minta bantuan.
"Habis kok Mama kasih Nailah odol hijau. Nailah ngga mau odol hijau" jawabnya memelas. Aku ingat aku punya perjanjian dengannya bahwa jika odol rasa stroberinya nanti habis, maka odolnya akan diganti dengan odol bergambar Diego atau Dora yang rasanya sudah sedikit pedas-pedas mint. Mungkin ia mengira malam itu adalah malam perjanjian itu ditunaikan.
Dengan sedikit geli aku memanjangkan leher, melongok odol yang tadi aku taruh di atas sikat giginya. Benar! warnanya hijau. Kok, bisa hijau?. Aku sedikit heran. Odol yang biasa ia pakai kan odol rasa stroberi yang warnanya merah. Kenapa jadi hijau???.
Aku dan gadis cilik itu berpandangan. Ia menatapku meminta jawaban dan aku menatapnya mengingat-ingat bagaimana odolnya bisa jadi hijau.
Olala! aku jadi ingat kalau tadi sore aku baru saja meletakkan odolku yang memang berwarna hijau berdekatan dengan odolnya yang berwarna merah. Dan aku salah ambil odol gara-gara baru saja melihat berita di televisi yang isinya seratus persen berita tentang kekacauan negeriku tercinta ini, aku terus kepikiran. Kerusuhan di Temanggung, penyerangan warga Ahmadiyah di Cikeusik, kasus Gayus Tambunan, Susu berbakteri Sakazaki yang meresahkan, kasus Traveler's Cheque Miranda Gultom, sikap anggota DPR yang menolak kehadiran KPK Bibit-Chandra dan beberapa berita lain. Semua berita itu rasanya meniupkan energi negatif yang membuat lemas dan sakit. Berawal dari gagalnya sikap mengendalikan amarah dan hawa nafsu tiap individu dan ditambah gagalnya pemerintah mendidik rakyatnya, maka sempurnalah segala kekacauan itu.
Bagaimana bisa rasa tidak senang terhadap orang atau kelompok lain bisa terwujud dalam bentuk memukul, merusak, membakar, mengusir, bahkan membunuh. Bagaimana nafsu atas tahta dan harta terwujud dalam bentuk menyuap, berbohong, dan menggunakan segala cara tak peduli akibatnya bagi orang lain. Satu hal yang membuatku bertanya-tanya, bagaimana karakter-karakter buruk itu bermula?. Karakter-karakter itu, sampai kapan akan menjadi kepribadian bangsa ini yang paling dominan?
Karakter dibentuk sejak seorang anak lahir ke dunia dan makin pesat saat ia mulai bersosialisasi dengan lingkungannya. Karakter bukan sesuatu yang mudah dibentuk, ia membutuhkan pembiasaan dari proses peniruan (imitation) dan contoh perilaku (modelling) dari lingkungan terdekatnya (1). Intinya keteladanan orang-orang terdekatnya. Uniknya, sekali terbentuk karakter akan sangat sulit diubah, apalagi jika terlanjur terbawa hingga remaja atau dewasa.
Erik Erikson, tokoh psikologi sosial, mengatakan bahwa pada tahun pertama kehidupannya, bayi memakai sebagian besar waktunya untuk makan, buang kotoran, dan tidur. Ketika sang ibu memberinya makan dan minum secara teratur, bayi belajar tentang kepercayaan dasar (basic trust). Perlakuan yang lembut, ayunan, dan irama menjelang tidur, serta pemenuhan semua kebutuhannya, membuat bayi belajar bersikap tenang, santai, dan percaya diri menghadapi tugas kehidupannya (2). Jika anak pada masa usia dua tahun pertamanya mendapatkan limpahan kasih sayang cukup, maka akan mudah baginya membangun karakter positif dalam dirinya, seperti rasa empati, dermawan, rasa malu jika melakukan perbuatan yang tidak baik, dan sebagainya. Pada usia-usia berikutnya, karakter positif ini akan berkembang dengan baik jika anak sudah mempunyai basic trust seperti teori Erikson di atas. Karenanya, para psikolog sangat menyarankan orang tua, agar selalu mengekspresikan kasih sayangnya kepada anak, secara verbal maupun non-verbal (sikap & bahasa tubuh). Anak yang tumbuh dalam lingkungan penuh kasih sayang, kelak akan tumbuh menjadi pribadi yang penuh dengan kesabaran, empati, dan juga menyayangi sesamanya.
Dalam pandangan Islam, tanggung jawab pendidikan anak yang utama dan pertama adalah orang tuanya. Seperti firman Allah SWT : "Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan” (Q.S. At-Tahrim: 6).
Ketika anak memasuki usia pra sekolah dan sekolah dasar hingga menengah pertama, interaksi dengan orang tua sangat dibutuhkan, karena interaksi pada masa ini terkait dengan hal-hal yang berfokus pada kesopanan, jadwal tidur, pengendalian amarah, berkelahi dengan saudara kandung dan teman sebaya, perilaku dan tata karma makan, kebebasan dalam berpakaian, dan mencari perhatian (3). Pada rentang usia inilah sebuah karakter akan terpatri kuat dalam diri seorang manusia.
Pemerintah, yang diamanati UUD 45 pasal 31 untuk menyelenggarakan pengajaran dan pendidikan bagi rakyatnya, mulai terasa berperan ketika seorang anak memasuki usia sekolah, melalui kurikulum yang diterapkan di sekolah-sekolah. Sayangnya, sebagian besar kurikulum itu hanya sedikit sekali menitikberatkan pada pendidikan karakter yang baik. Content atau pengetahuan, masih jadi yang dominan. Padahal content atau pengetahuan itu dapat dicari sendiri oleh si anak kelak saat ia membutuhkannya. Syaratnya hanya, si anak diperkenalkan pada teknik mencari informasi dan dididik dengan karakter tak mudah menyerah. Tugas orang tua dan pendidik mestinya bukan penyampai informasi belaka, tetapi membekali anak dengan ilmu siap belajar dan karakter baik yang kuat. Anak akan melesat sendiri mencari informasi apapun yang ia butuhkan kelak.
Dalam bukunya Ihya Ulumuddin, Al-Ghazali mengatakan: ”Anak adalah amanah bagi kedua orang tuanya. Hatinya adalah emas yang belum diukir, tidak ada lukisan dan gambaran. Dia bisa menerima semua lukisan, cenderung kepada setiap yang mengajaknya. Bila dibiasakan dalam kebaikan dan diajarkan maka ia akan tumbuh di atasnya. Orang tua, guru, dan pendidiknya akan berbahagia di dunia dan akhirat. Apabila dibiasakan dengan kejelekan dan dibiarkan seperti binatang maka ia akan sengsara dan binasa. Dosanya ditanggung juga oleh pendidik dan orang tuanya." (4)
Menjelang usia sekolah menengah atas, pengaruh orang lain selain orang tua semakin banyak dan kadang lebih dominan. Jika karakter yang terbentuk padanya karakter baik, maka orang tua tak terlalu khawatir karena anak akan punya proteksi dalam dirinya sendiri terhadap hal-hal buruk. Orang tua tinggal terus menajamkannya saja. Lain halnya jika karakter buruk lebih dominan pada diri si anak. Ia akan sangat rentan terbawa arus hal-hal yang kurang baik di sekelilingnya, seperti pergaulan bebas, pelecehan (bullying), narkoba, tawuran, contek-mencontek, suap-menyuap kecil, gengster, dan sebagainya. Akibatnya kadang tidak hanya menimpa si anak, tetapi juga orang tuanya. Akibatnya itu, mungkin tak dirasakan saat masih sekolah, tetapi nanti saat sudah bekerja atau bermasyarakat.
Tengok saja kerusuhan di Temanggung, penyerangan di Cikeusik, dan penyerangan atau kerusuhan lain yang sebelumnya terjadi, bukankah itu dengan kata lain adalah kelanjutan dari tawuran dan bullying saat mereka muda dulu?. Kasus suap Gayus Tambunan, kasus suap Traveler's Cheque Miranda Gultom, dan kasus suap yang banyak bertebaran dari tingkat kelurahan hingga pejabat tinggi, bukankah dengan kata lain itu adalah juga kelanjutan dari sikap bullying, contek-mencontek, suap-menyuap kecil hingga gengster saat mereka muda dulu?. Intinya, kegagalan penanaman karakter baik pada anak sejak dini, akan membentuk pribadi yang bermasalah di masa dewasanya kelak.
Bukan tak mungkin manusia dewasa yang terlanjur berkarakter buruk menjadi taubat dan berubah seratus delapan puluh derajat menjadi berkarakter baik. Selama ajal belum menjemputnya, ia masih memiliki kesempatan memperbaiki diri. Namun, seberapa banyak orang yang mendapatkan hidayah Allah seperti itu?.
"Mama.....gimana ini odolnya?" suara Nailah membuyarkan lamunanku tentang berita di televisi tadi. Aku seperti disadarkan kembali kepada dunia nyata.
Aku menatap Nailah, menatap seorang gadis kecil usia 4 tahun yang menjadi tanggung jawabku menanamkan karakter baik itu. Perangai dan kelakuan gadis itu selama hidupnya di dunia kelak akan menjadi hal yang harus aku pertanggungjawabkan di hadapan Allah di hari penghisaban. Doa gadis kecil itu pulalah kelak yang akan meringankan bebanku di sana. "Ya, Allah. Aku akan memberi yang terbaik dari diriku untuk mendidiknya. Selebihnya, aku titipkan ia dalam bimbingan-Mu, karena Engkau saja yang mampu membolak-balikkan hati manusia".
Aku mengganti odol hijau di sikat giginya dengan odol merah stroberi. Andai saja memperbaiki karakter buruk semudah aku mengganti odol hijau dengan odol merah ini, tentu gampang sekali berita kekacauan di televisi tadi berganti dengan berita keteladanan yang baik esok hari.
Depok, 10 Februari 2011
(Gambar diambil dari forum.detik.com)

Komentar
Posting Komentar