Siang itu, bazar mulai ramai. Tak hanya oleh para orang tua yang mendampingi anaknya ikut lomba, tetapi juga oleh para warga sekitar yang mulai berdatangan. Beberapa orang tua mendatangi standku sambil menggandeng anak-anaknya.
Seorang anak perempuan bergaun kotak-kotak merah putih melihat-lihat buku cerita anak yang kujual, ia serius membaca sinopsis tiap buku yang ada di meja stand. Sebuah jas hitam kecil dengan logo sebuah sekolah SD di dada kirinya membuatnya tampak gagah seperti seorang mahasiswa, mahasiswa yang masih kecil.
"Ini buku yang aku cari-cari!" teriaknya tiba-tiba sambil melompat-lompat kecil. Sebuah buku cerita anak berjudul Teman Tapi Musuh ia dekap di dadanya.
Aku tersenyum padanya.
"Ini harganya berapa?" tanyanya padaku.
"Dua puluh ribu tujuh ratus" jawabku.
"Hmmm..." ia menimang-nimang buku itu, "tapi aku minta uang sama papaku dulu ya" lanjutnya.
"OK" sahutku.
Gadis cilik itu meletakkan kembali buku ceritanya pelan-pelan, kelihatannya sangat berat. Barangkali ia ingin langsung bisa membawa pulang buku itu atau barangkali ia takut buku itu keburu di beli anak lain.
"Kelas berapa?" tanyaku ingin tahu.
"Kelas lima" jawabnya.
Aku paham kenapa ia sangat menginginkan buku itu. Kemampuannya membaca tentu sudah sangat mendukungnya untuk mengambil hikmah dari sebuah buku cerita. Aku jadi ingat bagaimana dulu aku pun saat kelas 5 SD pun sangat antusias membaca buku. Perpustakaan SD yang ala kadarnya itu pernah jadi tempat kesukaaanku. Semua bukunya yang hanya terbitan Balai Pustaka sudah aku lalap habis. Maklum, perpustakaan sebuah SD inpres di sebuah desa kecil, aku yakin buku-buku itu adalah buku bantuan dari Depdikbud setempat. Para tokoh di dalam buku-buku cerita itu membawaku ke berbagai tempat dan situasi yang berbeda. Aku tahu rasanya menjadi orang lain. Buku-buku itu memberiku banyak pengalaman batin. Terkadang, aku juga bersikap seperti para tokoh itu jika aku mendapatkan masalah yang sama dengan mereka, tanpa berpikir sikap itu baik atau tidak. Namanya juga anak-anak!. Untung saja dulu Balai Pustaka menerbitkan buku-buku cerita dengan setting dan tema yang baik, sehingga pengalaman yang hinggap di kepalaku adalah pengalaman yang baik. Sekarang aku tahu pentingnya memberikan asupan bacaan yang baik untuk anak-anak. Hmmm.....Aku teringat buku cerita tentang seorang anak yang menyelesaikan masalah sampah di kampungnya, buku kesukaanku saat SD dulu, masih terbitan Balai Pustaka.
Si gadis kecil itu pergi sambil meninggalkan pesan untukku, "Nanti aku mau beli buku ini. Jangan dijual ke orang lain ya". Aku tersenyum mengiyakan. Aku menyimpan buku pesanannya dalam kotak di bawah meja. Sama sekali tak terpikir olehku gadis itu tak kan pernah kembali karena papanya tak mau memberinya uang untuk membeli buku idamannya. Ini adalah perjanjian seorang perempuan dewasa dengan seorang gadis kecil, maka aku menyimpan bukunya dengan ikhlas.
Seorang anak lelaki berusia sekitar lima tahun menggandeng ibunya mengampiri meja standku. Ia langsung tertarik pada buku dongeng bergambar putri dan pangeran yang berwarna-warni. Penerbit buku anak jaman sekarang memang benar-benar lebih maju, mereka tahu betul warna-warni itu sangat diminati anak-anak. Aku tersenyum pada mereka sambil mempersilahkan melihat-lihat buku-bukuku yang sengaja kubuka plastiknya supaya mereka bisa melihat isinya. Kupastikan mereka tak membeli kucing dalam karung.
"Bu, aku mau yang ini" tangan mungilnya sudah memegang buku dongeng tipis berjudul Pangeran Alif Sang Bijaksana.
Sang Ibu mengambil buku itu dari tangan anaknya dan melihat label harga di bagian belakangnya.
"Diskon sepuluh persen kok, Bu" ujarku. Berusaha membantunya meringankan kernyitan di antara kedua alisnya. Barangkali harga buku itu terlalu mahal untuknya.
Ibu itu meletakkan kembali buku dongeng di meja. Ia menarik tangan anaknya pergi seraya berkata, "Ngga usah, ah. Kamu belum bisa baca. Nanti saja kalau sudah bisa baca!"
Bocah lelaki itu menolak diajak pergi, ia menarik tangannya dari gamitan si ibu. "Aku mau buku itu!" teriaknya hampir menangis.
"Kamu belum bisa baca!" Si Ibu menegaskan kembali alasannya tak mau membelikan buku untuk anaknya.
Kupikir sekarang adalah jaman di mana para pakar anak-anak menganjurkan para orang tua mulai membacakan anak-anaknya cerita atau dongeng dari sejak lahir atau malah sejak dalam kandungan. Membacakan dongeng untuk anak menjelang tidur kupikir suatu hal yang lazim zaman sekarang. Maka tanpa pikir panjang aku berujar pada si Ibu, "Dibacakan saja, Bu", sambil berharap 'pertikaian kecil' ibu-anak itu bisa berakhir damai.
"Males, ah!" jawab si Ibu kepadaku. Aku benar-benar terkejut dengan jawaban ibu itu, benar-benar tak mengira. Aku langsung tak bisa berkata apa-apa. Malas adalah penyakit nomor satu penghalang sebuah kemajuan apapun dan di manapun.
Aku menatap kepergian anak itu penuh rasa menyesal. Kasihan melihatnya menangis tersaruk-saruk mengikuti langkah-langkah lebar ibunya.
Aku teringat pada komentar seorang kawan. Seorang anak memang lahir dengan sebuah default yang diturunkan langsung dari gen kedua orang tuanya. Persis pepatah, buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Tapi manusia bukan buah. Manusia di beri akal oleh Allah. Sebuah Akal, bukan sekedar otak. Akal berbeda dengan otak. Ruh yang ditiupkan Allah berkontribusi pada akal, sedangkan otak lebih merupakan representatif sebuah fisik.
Akal diberikan kemampuan untuk mengambil hikmah. Mengambil pelajaran dari berbagai kejadian yang melibatkan alam dan manusia lain di sekitarnya. Sebuah default pada seorang anak pun bisa diubah dengan akal orang tuanya. Jika si ibu punya sifat pemarah dan judes, si ayah punya sifat keras kepala, tentu terbayang bagaimana default anak-anak mereka bukan?. Tapi jika si ibu dan si ayah sadar sifat jelek mereka dan bertekad meminimalkannya pada anak-anak mereka, tentu bukan suatu hal yang mustahil jika kemudian mereka mencari ilmu manajemen marah yang terkendali dan menerapkannya pada diri mereka saat itu juga sekaligus mengenalkannya pada anak-anak mereka. Itu dinamakan perbaikan diri. Jika mereka konsisten, tentu Allah akan mempermudah usaha mereka bukan?.
Pun demikian halnya dengan membaca. Jika membaca bisa memperkenalkan pada anak-anak bagaimana menjadi dan berada pada posisi orang lain, tentu hal itu akan sangat membantu para orang tua mendidik anak-anaknya. Apalagi untuk orang tua yang kurang bisa memberikan pengalaman langsung pada si anak seperti aku. Kuncinya adalah memastikan bacaan anak-anak itu adalah bacaan yang membawa hikmah yang baik. Peran orang tua tak tergantikan untuk memastikan itu. Malas membacakan cerita untuk anak juga dapat dengan mudah kita hilangkan jika kita memikirkan karakter anak kita harus lebih baik dari kita para orang tua ini. Aku menyayangkan keputusan ibu tadi mempertahankan kemalasannya membacakan buku pada si anak. Tahukah ia bahwa ia telah dengan tanpa sadar menghalangi keinginan belajar anaknya.
Ah, aku menepiskan pikiran yang sempat berkelebat. Ada pengunjung stand lain yang harus dilayani. Barangkali mereka lebih berpikiran terbuka dan tak berat membelikan buku-buku untuk anak-anaknya, seperti jika mereka membelikan pakaian lucu-lucu memanjakan mata untuk anaknya atau membeli makanan yang lezat-lezat memanjakan lidah. Siang itu pun aku banyak mendapatkan banyak pelajaran dari para pengunjung stand bukuku.
Meruyung, 5 Februari 2011
Seorang anak perempuan bergaun kotak-kotak merah putih melihat-lihat buku cerita anak yang kujual, ia serius membaca sinopsis tiap buku yang ada di meja stand. Sebuah jas hitam kecil dengan logo sebuah sekolah SD di dada kirinya membuatnya tampak gagah seperti seorang mahasiswa, mahasiswa yang masih kecil.
"Ini buku yang aku cari-cari!" teriaknya tiba-tiba sambil melompat-lompat kecil. Sebuah buku cerita anak berjudul Teman Tapi Musuh ia dekap di dadanya.
Aku tersenyum padanya.
"Ini harganya berapa?" tanyanya padaku.
"Dua puluh ribu tujuh ratus" jawabku.
"Hmmm..." ia menimang-nimang buku itu, "tapi aku minta uang sama papaku dulu ya" lanjutnya.
"OK" sahutku.
Gadis cilik itu meletakkan kembali buku ceritanya pelan-pelan, kelihatannya sangat berat. Barangkali ia ingin langsung bisa membawa pulang buku itu atau barangkali ia takut buku itu keburu di beli anak lain.
"Kelas berapa?" tanyaku ingin tahu.
"Kelas lima" jawabnya.
Aku paham kenapa ia sangat menginginkan buku itu. Kemampuannya membaca tentu sudah sangat mendukungnya untuk mengambil hikmah dari sebuah buku cerita. Aku jadi ingat bagaimana dulu aku pun saat kelas 5 SD pun sangat antusias membaca buku. Perpustakaan SD yang ala kadarnya itu pernah jadi tempat kesukaaanku. Semua bukunya yang hanya terbitan Balai Pustaka sudah aku lalap habis. Maklum, perpustakaan sebuah SD inpres di sebuah desa kecil, aku yakin buku-buku itu adalah buku bantuan dari Depdikbud setempat. Para tokoh di dalam buku-buku cerita itu membawaku ke berbagai tempat dan situasi yang berbeda. Aku tahu rasanya menjadi orang lain. Buku-buku itu memberiku banyak pengalaman batin. Terkadang, aku juga bersikap seperti para tokoh itu jika aku mendapatkan masalah yang sama dengan mereka, tanpa berpikir sikap itu baik atau tidak. Namanya juga anak-anak!. Untung saja dulu Balai Pustaka menerbitkan buku-buku cerita dengan setting dan tema yang baik, sehingga pengalaman yang hinggap di kepalaku adalah pengalaman yang baik. Sekarang aku tahu pentingnya memberikan asupan bacaan yang baik untuk anak-anak. Hmmm.....Aku teringat buku cerita tentang seorang anak yang menyelesaikan masalah sampah di kampungnya, buku kesukaanku saat SD dulu, masih terbitan Balai Pustaka.
Si gadis kecil itu pergi sambil meninggalkan pesan untukku, "Nanti aku mau beli buku ini. Jangan dijual ke orang lain ya". Aku tersenyum mengiyakan. Aku menyimpan buku pesanannya dalam kotak di bawah meja. Sama sekali tak terpikir olehku gadis itu tak kan pernah kembali karena papanya tak mau memberinya uang untuk membeli buku idamannya. Ini adalah perjanjian seorang perempuan dewasa dengan seorang gadis kecil, maka aku menyimpan bukunya dengan ikhlas.
Seorang anak lelaki berusia sekitar lima tahun menggandeng ibunya mengampiri meja standku. Ia langsung tertarik pada buku dongeng bergambar putri dan pangeran yang berwarna-warni. Penerbit buku anak jaman sekarang memang benar-benar lebih maju, mereka tahu betul warna-warni itu sangat diminati anak-anak. Aku tersenyum pada mereka sambil mempersilahkan melihat-lihat buku-bukuku yang sengaja kubuka plastiknya supaya mereka bisa melihat isinya. Kupastikan mereka tak membeli kucing dalam karung.
"Bu, aku mau yang ini" tangan mungilnya sudah memegang buku dongeng tipis berjudul Pangeran Alif Sang Bijaksana.
Sang Ibu mengambil buku itu dari tangan anaknya dan melihat label harga di bagian belakangnya.
"Diskon sepuluh persen kok, Bu" ujarku. Berusaha membantunya meringankan kernyitan di antara kedua alisnya. Barangkali harga buku itu terlalu mahal untuknya.
Ibu itu meletakkan kembali buku dongeng di meja. Ia menarik tangan anaknya pergi seraya berkata, "Ngga usah, ah. Kamu belum bisa baca. Nanti saja kalau sudah bisa baca!"
Bocah lelaki itu menolak diajak pergi, ia menarik tangannya dari gamitan si ibu. "Aku mau buku itu!" teriaknya hampir menangis.
"Kamu belum bisa baca!" Si Ibu menegaskan kembali alasannya tak mau membelikan buku untuk anaknya.
Kupikir sekarang adalah jaman di mana para pakar anak-anak menganjurkan para orang tua mulai membacakan anak-anaknya cerita atau dongeng dari sejak lahir atau malah sejak dalam kandungan. Membacakan dongeng untuk anak menjelang tidur kupikir suatu hal yang lazim zaman sekarang. Maka tanpa pikir panjang aku berujar pada si Ibu, "Dibacakan saja, Bu", sambil berharap 'pertikaian kecil' ibu-anak itu bisa berakhir damai.
"Males, ah!" jawab si Ibu kepadaku. Aku benar-benar terkejut dengan jawaban ibu itu, benar-benar tak mengira. Aku langsung tak bisa berkata apa-apa. Malas adalah penyakit nomor satu penghalang sebuah kemajuan apapun dan di manapun.
Aku menatap kepergian anak itu penuh rasa menyesal. Kasihan melihatnya menangis tersaruk-saruk mengikuti langkah-langkah lebar ibunya.
Aku teringat pada komentar seorang kawan. Seorang anak memang lahir dengan sebuah default yang diturunkan langsung dari gen kedua orang tuanya. Persis pepatah, buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Tapi manusia bukan buah. Manusia di beri akal oleh Allah. Sebuah Akal, bukan sekedar otak. Akal berbeda dengan otak. Ruh yang ditiupkan Allah berkontribusi pada akal, sedangkan otak lebih merupakan representatif sebuah fisik.
Akal diberikan kemampuan untuk mengambil hikmah. Mengambil pelajaran dari berbagai kejadian yang melibatkan alam dan manusia lain di sekitarnya. Sebuah default pada seorang anak pun bisa diubah dengan akal orang tuanya. Jika si ibu punya sifat pemarah dan judes, si ayah punya sifat keras kepala, tentu terbayang bagaimana default anak-anak mereka bukan?. Tapi jika si ibu dan si ayah sadar sifat jelek mereka dan bertekad meminimalkannya pada anak-anak mereka, tentu bukan suatu hal yang mustahil jika kemudian mereka mencari ilmu manajemen marah yang terkendali dan menerapkannya pada diri mereka saat itu juga sekaligus mengenalkannya pada anak-anak mereka. Itu dinamakan perbaikan diri. Jika mereka konsisten, tentu Allah akan mempermudah usaha mereka bukan?.
Pun demikian halnya dengan membaca. Jika membaca bisa memperkenalkan pada anak-anak bagaimana menjadi dan berada pada posisi orang lain, tentu hal itu akan sangat membantu para orang tua mendidik anak-anaknya. Apalagi untuk orang tua yang kurang bisa memberikan pengalaman langsung pada si anak seperti aku. Kuncinya adalah memastikan bacaan anak-anak itu adalah bacaan yang membawa hikmah yang baik. Peran orang tua tak tergantikan untuk memastikan itu. Malas membacakan cerita untuk anak juga dapat dengan mudah kita hilangkan jika kita memikirkan karakter anak kita harus lebih baik dari kita para orang tua ini. Aku menyayangkan keputusan ibu tadi mempertahankan kemalasannya membacakan buku pada si anak. Tahukah ia bahwa ia telah dengan tanpa sadar menghalangi keinginan belajar anaknya.
Ah, aku menepiskan pikiran yang sempat berkelebat. Ada pengunjung stand lain yang harus dilayani. Barangkali mereka lebih berpikiran terbuka dan tak berat membelikan buku-buku untuk anak-anaknya, seperti jika mereka membelikan pakaian lucu-lucu memanjakan mata untuk anaknya atau membeli makanan yang lezat-lezat memanjakan lidah. Siang itu pun aku banyak mendapatkan banyak pelajaran dari para pengunjung stand bukuku.
Meruyung, 5 Februari 2011

Komentar
Posting Komentar