Resensi. 
Judul Buku : Muhammad, Para Pengeja Hujan
Judul Buku : Muhammad, Para Pengeja Hujan
Penulis : Tasaro GK
Penerbit : Bentang
Harga : Rp 99,000.00
  Jika pada buku pertamanya, “Muhammad, Lelaki Penggenggam Hujan”, saya sempat protes karena proporsi kisah Nabi Muhammad rasanya lebih sedikit. Pada buku keduanya, “Muhammad, Para Pengeja Hujan”, protes itu cukup teredam. Buku setebal 688 halaman ini lebih memanjakan saya, sebab proporsi kisah Sang Nabi lebih banyak daripada kisah Kashva, kalau belum mau mengatakan – kurang lebih - sama.
Kisah Sang Nabi di buku kedua ini dimulai dari kisah kelahirannya yang bersamaan dengan serangan pasukan bergajah ke Ka’bah. Lalu kisah bagaimana bayi Muhammad sampai ke tangan Halimah sang ibu susuan. Tak lupa kisah populer pembelahan dada Muhammad kecil oleh dua malaikat yang menyamar. Semua dikisahkan sangat haru dengan kata-kata sempurna, sehingga seolah saya ada di sana dan merasakan apa yang dirasakan kedua ibu itu, Aminah dan Halimah. 
Coba simak: “Wahai, Lelaki yang Mengagungkan Ibu, tahukah engkau, dahulu pernah bertemu dua ibu yang terikat cinta seorang putra berkepribadian permata? Hari itu Aminah, sang ibu, takjub melihat bagaimana putranya bertumbuh. Dua tahun tak melihat putra tunggalnya, lalu menemuinya dalam kondisi begini membanggakan hati. Lelaki kecil itu bertumbuh dengan sehat dan tampak kuat. Lebih dari itu, dia berperilaku sangat sopan dan penuh tata krama. Cara bicaranya lemah lembut dan penuh perasaan. Dua tahun sebelumnya, Halimah, ibu asuh putranya datang membawa anak itu ke Makkah. Namun, Halimah memohon agar dibolehkan memperpanjang masa pengasuhannya. “Biarkan ia tinggal bersama kami hingga ia bertumbuh lebih kuat,” bujuk Halimah ketika itu. Dengan berbagai pertimbangan, Aminah mengabulkan permintaan sang ibu susu. Anak itupun kembali ke Desa Baduwi.”
Duh, sebagai seorang ibu, saya bisa merasakan bangganya memiliki anak yang digambarkan seperti itu.
Beberapa kisah perang juga diceritakan di sini lengkap dengan ketegasan Sang Nabi sebagai pemimpin, antara lain tentang keruntuhan Thaif. Lalu Haji Wada hingga wafatnya sang Nabi dan keguncangan Madinah sepeninggalnya. Bagaimana rumitnya pendaulatan Abu Bakar sebagai khalifah pertama, dan diakhiri oleh awal-awal masa pemerintahan khalifah Umar. Pembangkangan zakat dan kemunculan nabi palsu juga dikisahkan. Lalu dibagian-bagian akhir, detil mengenai kepahlawanan Khalid bin Walid. Sebenarnya semua sama dengan kisah yang pernah saya baca saat sekolah dulu, bedanya hanya kisah ini ditulis kembali dengan kata-kata indah dan pendekatan novel dari sudut pandang orang kedua, sehingga membuat saya seolah mengenal sosok Sang Nabi secara pribadi. Yang tersisa di hati saya saat menutup halaman terakhir kisah bagian pertama hanyalah cinta, cinta dan cinta, pada Sang Nabi. 
Oh ya, hujan, yang menjadi judul buku pertama dan kedua ini, Lelaki Penggenggam Hujan dan Para Pengeja Hujan, adalah penggambaran ayat-ayat yang turun langsung dari Tuhan Semesta Alam. Kata hujan terambil dari salah satu ramalan yang dipelajari Kashva, tokoh utama dalam kisah kedua buku ini, dalam sebuah kitab kuno umat Hindu, Kuntap Sukt, yang meramalkan akan datangnya sosok yang menghadirkan hujan wahyu, seorang lelaki pengenggam hujan yang kelak memberikan kesegarannya kepada seluruh umat manusia. Lelaki Pengenggam Hujan yang dimaksud adalah Muhammad, rasul yang lahir di tengah bangsa Arab yang jahiliyah. Ia menggengam hujan lalu mengejanya untuk seluruh umat manusia. 
Untuk bagian cerita Kashva sendiri, saya sedikit kecewa dengan endingnya. Tapi ya…itu totally hak Mas Tasaro bagaimana mengakhiri kisahnya. Sebagai cendekia Persia yang diceritakan sangat ingin tahu mengenai ramalan munculnya nabi baru, saya pribadi menginginkan Kashva pada akhirnya mampu menyimpulkan ramalan itu benar atau tidak, entah dengan ia datang ke tanah Arab atau dia mendapatkan hidayah setelah membaca surat-surat sahabat penanya atau cara lain yang tak pernah saya duga. Pokoknya sebuah klimaks yang menggambarkan bahwa kecerdasan Kashva memang amat menakjubkan.
Tapi rupanya Mas Tasaro membalikkan semua prediksi saya. Kashva justru diceritakan asyik dengan dunia penafsirannya sendiri, sampai-sampai surat-surat yang konon dari sahabat-sahabat penanya tersebut , yang berisi penafsiran ramalan-ramalan itu, justru sebenarnya ia tulis sendiri. Sahabat-sahabatnya tersebut ternyata rekaannya saja, yang hanya bisa dilihat oleh Kashva, namun tak terlihat oleh Mashya, Xerxes maupun Vakhsur, tiga teman pelariannya. Kecurigaan yang sama sudah disinyalir Astu saat keduanya masih belajar di Kuil Gunung Sistan dulu. 
Mengenai Astu, Mas Tasaro juga amat memanjakan pembaca dengan kisah perempuan cerdas satu ini yang setelah penyerangan Khosrou ke kota tempat tinggalnya di perbatasan Persia, yang sejatinya untuk membunuh Kashva, justru merenggut nyawa suaminya, Parkhida. Astu kemudian justru masuk ke ranah politik di ibukota Persia sebagai Khanum Atusa dan terhubung dalam intrik anak-keturunan Khosrou memperebutkan tahta.. Sangat detail Mas Tasaro menceritakan kecerdasan Astu lewat bangunan-bangunan megah Persia yang diarsitekinya, atau lewat ilmu perang saat melatih pasukan immortal Athanatoi, pasukan khusus pengawal Raja Persia.. 
Lalu Kashva diceritakan kembali ke Persia dari pelarian terakhirnya di Tibet, dan benih-benih cintanya pada Astu kembali muncul setelah memandang bangunan-bangunan hasil karya Astu di ibukota Persia, Madain. Bangunan-bangunan yang dulu pernah ia rancang bersama Astu saat masih belajar di Kuil Gunung Sistan. Kashva sempat dijebloskan ke penjara oleh keturunan Khosrou yang masih dendam pada kelancangan Kashva di bangsal Apadana dulu, tapi berhasil lolos atas bantuan Mashya, kakak lelaki Astu. 
Kisah Sang Nabi dan novel mengenai Kashva ini terhubung kembali oleh setting waktu yang sama. Kashva kembali ke Persia, saat pasukan Khalid bin Walid dan pasukan muslim menaklukan negara itu.
Sayangnya, tak ada pertemuan indah Kashva-Astu sampai akhir cerita. Kashva justru kedatangan kawan-kawan khayalannya, Elyas dan Biksu Tashidelek. Diakhiri dengan pandangan sedih Mashya dan Vakhsur saat melihat Kashva berlari-lari sambil ngomong sendiri ke kanan dan ke kiri, seolah-olah sedang berbincang akrab dengan seseorang di sebelah kanan dan kirinya, padahal yang ada hanya udara, menuju Syiria. Ending yang menyedihkan. Bukankah ia sudah berdarah-darah menafsirkan ajaran Buddha tentang ramalan hadirnya sosok Maitreya yang bertubuh emas, atau ajaran Zoroaster yang menyebutnya Astvat Ereta - seorang nabi yang dijanjikan, atau nujum Pendeta Kristen bernama Bahira yang menamainya Himada, sosok yang akan membawa keagungan di rumah Tuhan, dan juga yang sudah saya sebut sebelumnya, ramalan dalam ajaran Hindu, Kuntap Sukt. Rasanya kok semua kecerdasan Kashva yang tergambar sempurna menjadi sia-sia di akhir cerita, laksana pohon yang gagal berbuah, atau belum?.
Bagaimanapun, itulah pilihan Mas Tasaro mengakhiri buku keduanya. Secara keseluruhan, kisah Kashva-Astu sangat detil dan panjang, dibangun dengan kata-kata yang indah. Kadang membosankan saking panjangnya, namun pemilihan kata-kata indahnya menjadi pemikat nomor satu. Endingnya masih belum jelas, tapi itulah ending yang dipilih. Feeling saya, akan ada buku ketiga.
Two tumbs up, lagi! 
Bagi anda yang mulai merasakan pudarnya cinta pada Sang Nabi dalam hati anda, bacalah buku ini, terutama bagian pertama, niscaya anda akan merasakan hujan cinta pada Sang Nabi kembali mengguyur hati anda. Kalau cerita tentang Kashva, itu sih terserah anda :).

Komentar
Posting Komentar