Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Juni, 2011

Reformasi Diri

Tengoklah headline di koran atau televisi, semua masih mengabarkan tentang ketidakmampuan negeri ini menyelesaikan masalahnya. Jika ada yang diusut pun, seolah disengaja tak mencapai akar permasalahannya, hanya karena menyangkut kepentingan segelintir orang. Sehingga laksana jamur, masalah itu tumbuh lagi dan lagi.  Generasi yang kini memimpin negeri ini terus berkutat dalam masalah korupsi, kolusi, berebut jabatan, dan suap. Generasi mudanya masih belum usai dari aksi bentrok, tawuran, narkoba, dan contek-menyontek. Semua seakan berlomba berbuat curang. Mengapa curang menjadi kebanggaan? Generasi harapan yang kini tengah membentuk karakter, mereka yang masih di sekolah dasar dan menengah, tergeragap dijejali hafalan seribu satu pelajaran akademik di sekolah. Sibuk menghafal sedemikian banyak materi akademik sehingga sering kehilangan waktu untuk berpikir kritis, apalagi melangkah lebih lanjut pada menganalisa lalu mengaplikasikan dalam kehidupan bermasyarakat. Kehilangan kesemp...

Anakku Bertanya Tentang Amal

Selama ini, aku cenderung sangat berhati-hati jika berbicara tentang hal-hal yang tak kasat mata dengan Nailah, anak perempuanku yang baru berusia 4.5 tahun. Misalnya tentang Allah, surga, neraka, alam kubur, kematian dan lain sebagainya. Entahlah, aku merasa seperti terlalu pagi menerangkan hal ini kepada anak yang baru lahir kemarin. Seolah menceritakan kematian pada sebuah kelahiran. Serupa saat kita baru saja menginjakkan kaki  di rumah saudara jauh sudah ditanya "Kapan pulang?". Orang baru datang sudah ditanya pulang. Meski mungkin maksudnya supaya dia bisa lebih mudah mengatur acaranya. Tapi kok rasanya membuat kita sedikit tidak nyaman. Seperti itulah. Namun jika saatnya tiba, jika pertanyaan itu keluar langsung dari mulut mungil mereka, apa iya kita tidak menjawab. Bukankah jika anak sudah bertanya maka sejatinya ia siapa belajar dan berpikir. Seperti hari itu, suara merdu Opick mengusik keasyikan Nailah bermain boneka dinosaurus warna pink kesayangannya. "...

Karena Kita Bersaudara

Nailah si 4 tahun, dan adiknya, Farraas si 2 tahun, sedang bermain senter. Tak lama, terjadilah saling rebut senter antara Nailah dan adiknya. Farraas menangis ingin minta senter itu dari tangan kakaknya, sementara Nailah bersikeras menolak memberi. “Jem…jem…,” rengek Farraas. Maksudnya pinjem.  “Nailah, Adikmu kan sudah bilang baik-baik, kenapa Nailah ngga mau minjemin senternya? Nailah jadi anak pelit sekarang?” tanyaku membujuk. Nailah sedikit memberengut, “Tadi Nailah masih pengin main sama senternya, Ma. Jadi pelitnya banyak,” tangan mungilnya memberikan senter itu ke Farraas, “Tapi sekarang, pelitnya sedikit kok, Ma. Tuh, Nailah udah kasih Adek.” Aku tersenyum mendengar istilah pelitnya banyak dan pelitnya sedikit . Itu memang istilah khas Nailah mengatakan sesuatu yang abu-abu, sesuatu yang berada di antara, sesuatu yang sedang-sedang saja, banyak dan sedikit . “Begitu, dong! Sama saudara itu harus saling menyayangi,” aku memuji. “Nailah sama Dek Farraas itu saudara emang?...

Kera(h) Alvin

Field Trip keluarga hari Minggu ini ke kebun binatang Ragunan. Project Nailah adalah menggambar binatang. Nailah sudah menggambar zebra, gajah dan rusa. Binatang terakhir pilihan gadis cilik 4.5 tahun itu adalah burung merak. Banyak pengunjung mengerubungi kandang burung Merak. Sebagian mereka, terutama anak-anak, melingkari Nailah yang asyik menggambar. Beberapa tertawa, karena gambar Nailah memang jauh dari mirip. Tiba-tiba, terdengar suara wanita mengumumkan sesuatu. Berita anak hilang. “Mohon perhatian, telah ditemukan seorang anak laki-laki berusia sekitar lima tahun, mengaku bernama Alvin, dengan ciri-ciri memakai baju berkerah bergaris-garis oranye. Kepada orang tua yang kehilangan harap menghubungi pusat informasi.” Selang beberapa lama, pengumuman yang sama diulang. Selama kami menemani Nailah menggambar di dekat kandang burung merak  itu, ada sekitar lima kali pengumuman itu diulang. Barangkali orang tua si anak hilang ini tak kunjung datang. “Alvinnya di mana, Ma?” tan...

Unta Tidak Tinggal Di Gurun

Ketika melewati kandang unta, Nailah senang tak kepalang. Ia pun bernyanyi, “Di gurun yang panas, unta emas tinggal. Ia minum banyak air, dan disimpan di punuknya. Agar tidak jatuh saat menungganginya. Aku pegang erat punuknyaaaaaa…..” Jalan-jalan ke kebun binatang memang kesukaan gadis cilik berusia 4.5 tahun itu, putri pertamaku. Tiba-tiba, Nailah menggamit tanganku, “Mama bohong!” Nah! Tak ada angin, tak ada hujan, aku dibilang bohong. “Kok Mama bohong?” tanyaku menyelidik. “Iya, Mama bohong. Unta tidak tinggal di gurun, Ma! Di sini juga ada! Tuh, untanya!” Nailah menunjuk unta yang tengah dilihatnya. Aku terkekeh, “Unta itu tadinya tinggal di gurun, sayang!” sahutku, “Dia datang ke sini naik pesawat, atau mungkin naik kapal laut.” Nailah menatapku, matanya berbinar, “Dia naik pesawat sendirian? Teman-temannya masih tinggal di gurun?” Aku mengangguk, “Dia naik pesawat ditemani penjaganya. Teman-temannya yang lain, masih tinggal di gurun. Buanyaaaakkk…..” “Ooo…, Kenapa dia data...

Yang Sudah Besar dan Masih Kecil

Nailah, gadis cilik 4.5 tahunku, cukup mudah jika dimintai bantuan untuk mengurus adiknya, Farraas yang belum genap 2 tahun. Seperti memakaikan sepatu atau bahkan menggantikan celana. Jika Nailah terlihat sedikit malas, aku punya jurus ampuh, “Mama minta tolong, Nak? Nailah kan sudah besar, sudah bisa bantuin Mama.” Dibilang “sudah besar” biasanya langsung menyulut semangatnya melakukan permintaanku. Kala ia bertanya mengapa ia harus berangkat sekolah, aku menjawab, “Karena Nailah sudah besar, sudah empat tahun.” Nailah mengangguk-angguk, sangat bangga karena “sudah besar”. Suatu siang, aku sedang memotong-motong sayuran di lantai untuk masak sore. Aku beranjak membuka kulkas sebentar dan ketika kembali, kulihat Nailah sedang memegang pisau dan bergaya seolah memotong sesuatu. Reflek, aku larang dia. “Nai. Lepas pisaunya, Nak! Anak kecil belum boleh pakai pisau!” sergahku. Nailah langsung melepas pisaunya, tapi wajahnya manyun tak setuju,” “Nailah bukan anak kecil, Ma! Nailah udah be...

When They Know, You'll Know

Saya sangat terkesan dengan si penyu, Crush, ketika ia dan rombongannya menghanyutkan diri dalam arus Australia Timur. Anak lelakinya yang masih kecil, Dude, mencoba beratraksi dengan renang solo, loncat keluar dari arus deras tersebut lalu masuk kembali, menghantam dinding air yang sangat kuat. Penuh khawatir, Marlin, si ikan badut, bertanya pada Crush. “Hei, mengapa kau biarkan anakmu melakukan itu? Dia bisa celaka!” Dengan santai, Crush menjawab, “Dia bisa melakukannya, jangan khawatir.”   Benar, anak lelaki Crush berhasil masuk kembali dalam arus dan bergabung dengan rombongannya. Ia tampak melakukannya dengan sangat mudah dan penuh percaya diri. “Bagaimana kau tahu kapan dia bisa?” Marlin bertanya lagi. Ia memang punya masalah dengan anaknya, Nemo. Dia tak tahu bagaimana mencari tahu bahwa Nemo telah mampu melakukan sesuatu. Dan kesalahpahaman itu telah membawa Nemo terjaring seorang penyelam tempo hari. “Aku tidak tahu.” Crash menjawab yakin. Melihat Marlin mendelikkan ma...