Tiba-tiba terlintas dalam benak saya mengenai riba. Riba, suatu kata yang saya hafal betul sejak masa sekolah dulu. Bahwa Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Riba yang menjadi contoh di soal-soal ujian dulu selalu mengarah pada rentenir - orang yang memberi pinjaman uang kepada orang lain dengan syarat saat dikembalikan harus dengan tambahan sekian persen. Tapi ya itu, hanya hafal di kepala sebagai suatu soal ujian sekolah, tidak lebih. Lalu contoh riba yang saya kenal bukan lagi hanya rentenir, tapi termasuk bank, bank konvensional maksudnya, karena waktu itu belum ada bank syariah.
Lalu saya hidup dalam suatu pemahaman bahwa semua kebutuhan hidup ini, rumah, motor, mobil, biaya renovasi, adalah wajar didanai dengan dana kredit, entah kredit di bank atau di leasing company. Semua orang melakukannya. Maka saya pun melakukannya. Saya terhipnotis dengan pendapat yang mengatakan "Jaman sekarang mah semua serba mahal, ngga bisa didapat kalau ngga kredit" atau "Harga tanah dan rumah tiap tahun itu naik, nabung tidak bisa mengejar laju kenaikannya" atau "Yah, kalau nunggu uang kumpul mah, ngga akan pernah dapat rumah, lho wong harga rumah naik terus" atau "Orang kayak kita nih (pegawai maksudnya), tidak akan mendapatkan rejeki tiba-tiba dalam jumlah banyak kayak pedagang, rejeki kita ya udah fix tiap bulannya segitu gitu lah, jadi yang kelihatannya ya cuma nabung, tapi nabung juga ternyata ngga pernah bisa mengejar kenaikan harga rumah dan tanah, satu-satunya cara ya kredit karena kredit memungkinkan kita membayar hanya sekian setiap bulan, dan itu bisa kita sisihkan dari gaji kita per bulan".
Maka ketika saya lihat harga rumah-rumah yang ditawarkan pengembang sudah hampir setengah milyar, untuk lokasi yang notabene pinggiran jakarta, makin tertanam dalam benak saya bahwa satu-satunya cara mendapatkan tanah dan murah adalah dengan kredit, kredit kepemilikan rumah yang banyak ditawarkan bank. Alih-alih menghindari bank konvensional yang jelas-jelas riba, saya mendapatkan kredit dari bank syariah. Bunga kredit, yang pada bank konvensional ditengarai riba itu, dalam bank syariah dinamakan margin atau keuntungan. Dan waktu akad, pihak bank bertanya pada saya, apakah saya ridlo dengan margin yang mereka minta itu. Saya tak punya pilihan, memangnya kalau saya ngga ridlo, mereka akan tetap mau memberikan pinjaman ke saya?
Keuntungan bank syariah adalah margin tersebut bersifat fix, tidak berubah-ubah mengikuti suku bunga yang berlaku. Jadi jumlah setoran per bulannya tetap, tidak naik turun seperti bank konvensional. Sampai disitu saya merasa, ya sudahlah, anggap saja saya korban kapitalis lewat kredit-kredit bank itu.
Tiba-tiba sekarang saya baru ingat satu hal yang juga diberitahukan pihak bank syariah kepada saya waktu akad kredit dulu, dan ini membuat dada saya merasa sesak. Dulu, pihak bank itu hanya mengatakan : "Ibu, kalau mau melunasi sebagian di tengah jalan (istilahnya top up), pastikan jumlahnya cukup besar ya, Bu. Kalau cuma sepuluh atau dua puluh lima juta, tidak terlalu berpengaruh mengurangi pokok hutang. Karena komposisi setoran itu di tahun pertama adalah 90% untuk membayar marjin dan 10% untuk membayar pokok hutang. Tahun kedua 80% untuk membayar marjin dan 20% untuk membayar pokok hutang. Begitu seterusnya sehingga nanti di tahun terakhir 100% untuk membayar pokok hutang."
Dulu saya tidak terlalu memikirkannya. Tapi sekarang baru terbetik dalam benak saya, alangkah tidak adilnya pembagian komposisi setoran itu, bahkan dilakukan oleh bank yang menamakan dirinya bank syariah. Itu sama artinya dengan kita diminta melunasi margin dulu baru pokok hutangnya. Bukankah praktek ini sama saja dengan riba? Saya tidak tahu, tapi barangkali jika sejak tahun pertama komposisinya 50% - 50% antara pokok hutang dan margin, barangkali akan lebih melegakan. Begitulah riba, bagaimanapun ia di poles, tetap saja mencekik tanpa kita sadari.
Jika ada leasing company yang membuka unit syariah, sebaiknya telaah baik-baik sebelum menggunakan jasanya, siapa tahu prinsipnya sama dengan bank syariah tersebut.  
Beberapa waktu lalu saya membaca artikel di sebuah majalah yang mengatakan bahwa kredit (riba) adalah suatu sistem kapitalis yang sudah terbukti membuat bangkrut banyak negara. Bank adalah salah satu alatnya, jadi menurutnya membuat bank syariah pun bukan jalan keluar terbaik menghindari kapitalis. Tidak bisa tidak, saya setuju dengan pendapat tersebut, setelah menyadari komposisi tak adil itu.
Allah menjanjikan dua hal yang jauh lebih aman, adil dan menentramkan sebagai pengganti riba, yaitu jual beli dan sedekah. Allah menghalalkan jual beli dan menyuburkan sedekah. 
Depok, 11 November 2012

Sip bu, semoga kita terhindarkan dari riba ini....
BalasHapus