Joseph Gobel, juru
propaganda Nazi Jerman dan Hitler pernah berkata : "jika kita
mengulang-ulang kebohongan sesering mungkin, maka lama kelamaan rakyat
pasti akan mempercayai kebohongan itu sebagai kebenaran."
Untuk umat Islam, bersikap hati-hati menerima suatu berita sudah diajarkan Al-Qur'an, salah satunya dalam Surat Hujurat (49) ayat 6 :
"Hai orang-orang yang beriman, jika seseorang yang fasik datang kepadamu membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan, yang akhirnya membuatmu menyesal."
Maka kapan saja suatu berita sampai kepada kita dari orang-orang yang kita ragukan keimanannya kepada Allah Tuhan Semesta Alam dan Hari Akhir, baik berita itu melalui media televisi, koran, majalah, sms hingga jejaring sosial, sebaiknya jangan lekas percaya. Telitilah dulu kebenarannya melalui sumber yang lebih kita percaya. Jika kita memiliki keterbatasan akses dalam meneliti kebenarannya, maka sebaik-baik sikap adalah diam, tidak menyebarkannya kepada orang lain. Bersabar, dan tunggulah hingga Allah mengijinkan waktu membuka kebenaran yang sesungguhnya.
Apalagi, jika berita itu menyangkut diri kita sendiri - sesama muslim, maka ingatlah kembali teguran Allah melalui kisah fitnah terhadap istri Rasulullah, Aisyah.
"(Ingatlah) ketika kamu menerima (berita) itu dari mulut ke mulut, dan kamu katakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikitpun, dan kamu menganggapnya remeh, padahal dalam pandangan Allah itu soal besar"
"Dan mengapa ketika mendengarnya kamu tidak berkata, "Tidak pantas kita membicarakan ini. Maha Suci Engkau, ini adalah kebohongan besar!"
"Allah memperingatkan kamu agar jangan pernah mengulangi hal seperti itu kembali, selama-lamanya, jika kamu orang beriman."
(QS An-Nur (24) ayat 15-17)
Allah tidak menjadikan bagi seseorang dua hati dalam rongga dadanya. Selalu ada kecenderungan dalam diri manusia dalam menyikapi sesuatu, termasuk dalam membuat berita atau menerima berita. Kecenderungan kepada satu pihak. Membesar-besarkan satu bagian, dan mengecilkan bagian yang lain, dari tiap-tiap pihak, tergantung pada bagian mana yang mendominasi rongga dadanya. Beberapa orang akal sehatnya berfungsi baik, sehingga meski hatinya memiliki kecenderungan, ia tetap berusaha hanya menunjukan fakta, tanpa mencoba mengarahkan opini. Namun sayangnya kebanyakan ternyata tidak begitu. Kebencian atau ketidaksukaannya seringkali membuatnya menyudutkan pihak yang dibencinya tersebut.
Orang-orang yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir percaya betul, bahwa setelah kiamat berlalu dan hari perhitungan tiba, dia akan dimintai pertanggunganjawaban mengenai apa yang telah ia lakukan dulu di dunia, termasuk soal perannya dalam "berita" itu. Maka berhati-hatilah dalam menonton berita di televisi, membaca berita di koran dan majalah, atau membaca kabar di internet atau ponsel. Telitilah dulu kebenarannya dengan akal dan qolbu kita. Apakah berita itu bukan berita bohong yang sengaja di tayangkan / ditulis terus-menerus untuk membentuk opini publik yang salah? Apakah sebenarnya berita itu awalnya tidak terlalu material, namun sengaja di besar-besarkan untuk memojokkan suatu pihak? Apakah berita itu dapat mendatangkan kebaikan atau keburukan pada kita saat hari perhitungan nanti? Pikirkanlah, saatnya kita cerdas menghadapi media.
Depok, 8 Nov 2012, updated at 11 Nov 2012
Untuk umat Islam, bersikap hati-hati menerima suatu berita sudah diajarkan Al-Qur'an, salah satunya dalam Surat Hujurat (49) ayat 6 :
"Hai orang-orang yang beriman, jika seseorang yang fasik datang kepadamu membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan, yang akhirnya membuatmu menyesal."
Maka kapan saja suatu berita sampai kepada kita dari orang-orang yang kita ragukan keimanannya kepada Allah Tuhan Semesta Alam dan Hari Akhir, baik berita itu melalui media televisi, koran, majalah, sms hingga jejaring sosial, sebaiknya jangan lekas percaya. Telitilah dulu kebenarannya melalui sumber yang lebih kita percaya. Jika kita memiliki keterbatasan akses dalam meneliti kebenarannya, maka sebaik-baik sikap adalah diam, tidak menyebarkannya kepada orang lain. Bersabar, dan tunggulah hingga Allah mengijinkan waktu membuka kebenaran yang sesungguhnya.
Apalagi, jika berita itu menyangkut diri kita sendiri - sesama muslim, maka ingatlah kembali teguran Allah melalui kisah fitnah terhadap istri Rasulullah, Aisyah.
"(Ingatlah) ketika kamu menerima (berita) itu dari mulut ke mulut, dan kamu katakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikitpun, dan kamu menganggapnya remeh, padahal dalam pandangan Allah itu soal besar"
"Dan mengapa ketika mendengarnya kamu tidak berkata, "Tidak pantas kita membicarakan ini. Maha Suci Engkau, ini adalah kebohongan besar!"
"Allah memperingatkan kamu agar jangan pernah mengulangi hal seperti itu kembali, selama-lamanya, jika kamu orang beriman."
(QS An-Nur (24) ayat 15-17)
Allah tidak menjadikan bagi seseorang dua hati dalam rongga dadanya. Selalu ada kecenderungan dalam diri manusia dalam menyikapi sesuatu, termasuk dalam membuat berita atau menerima berita. Kecenderungan kepada satu pihak. Membesar-besarkan satu bagian, dan mengecilkan bagian yang lain, dari tiap-tiap pihak, tergantung pada bagian mana yang mendominasi rongga dadanya. Beberapa orang akal sehatnya berfungsi baik, sehingga meski hatinya memiliki kecenderungan, ia tetap berusaha hanya menunjukan fakta, tanpa mencoba mengarahkan opini. Namun sayangnya kebanyakan ternyata tidak begitu. Kebencian atau ketidaksukaannya seringkali membuatnya menyudutkan pihak yang dibencinya tersebut.
Orang-orang yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir percaya betul, bahwa setelah kiamat berlalu dan hari perhitungan tiba, dia akan dimintai pertanggunganjawaban mengenai apa yang telah ia lakukan dulu di dunia, termasuk soal perannya dalam "berita" itu. Maka berhati-hatilah dalam menonton berita di televisi, membaca berita di koran dan majalah, atau membaca kabar di internet atau ponsel. Telitilah dulu kebenarannya dengan akal dan qolbu kita. Apakah berita itu bukan berita bohong yang sengaja di tayangkan / ditulis terus-menerus untuk membentuk opini publik yang salah? Apakah sebenarnya berita itu awalnya tidak terlalu material, namun sengaja di besar-besarkan untuk memojokkan suatu pihak? Apakah berita itu dapat mendatangkan kebaikan atau keburukan pada kita saat hari perhitungan nanti? Pikirkanlah, saatnya kita cerdas menghadapi media.
Depok, 8 Nov 2012, updated at 11 Nov 2012
Komentar
Posting Komentar