Telunjuk mungilnya menunjuk kata pertama dari tiga kata di baris teratas, “Bbaaaaa……Paaaa…kk”
“Bagus…” Aku menyemangatinya.
“Bapak itu apa?” Tanyanya. Mata beningnya mengerjap menatapku, menanti jawaban.
“Bapak itu Papa” Jawabku.
“Oooo……” Ia mengangguk-angguk. Kukira ia akan melanjutkan membaca, ternyata tidak, “Kalau Mama?”
“Ibu”
“Oooo….”
Telunjuk mungilnya kembali ke buku, kata kedua, “Hheeee….rraaaaa….n”.
“Pinter” Pujiku.
“Heran itu apa?”
“Begini…” Aku menautkan alis, memasang wajah heran.
“Oooo…hihihihi” Ia tertawa sambil mengatupkan tangan kanannya ke mulut. Sepertinya raut heranku membuatnya geli. Barangkali menurutnya mirip badut.
“Ayo, mulai lagi” sahutku.
“Kkaaaa…ssiiiiiii..hh. Kasih itu apa?” Ia mengangkat wajahnya dari buku, menatapku.
“Kasih itu pasangannya sayang” Jawabku
“Kasih sayang?”
Aku mengangguk, “Iya”
Lanjut ke baris kedua, kata pertama, “Siiiiii…puuuuu…t. Siput” Ia memandangku tertawa, “Snail…” ulangnya lagi. Kukira ia ingat Brainy Baby seri Animals yang sering ditontonnya.
“Siput itu jalannya lambat?”
Aku mengangguk.
“Kayak Adek?”
“Kok Adek?”
“Iya. Adek kan masih bayi. Jalannya lambat”
Aku tertawa mendengar alasannya, “Tapi nanti lama-lama Adek jalannya cepat, kok”
“Cepat kayak Kakak?”
“Iya. Ayo mulai lagi” Ujarku. Sedikit tak sabar melihatnya menghabiskan satu halaman buku latihan
membacanya. Ah, mestinya aku tak boleh buru-buru. Barangkali dalam proses latihan membaca ini aku bisa membantunya menemukan kekuatan dirinya. Rupanya hasil pendidikan dijamanku yang fokus pada goal saja masih terlalu kuat.
Kata kedua, baris kedua, “Peee…rrruuu…tt?” Ia mengelus perutnya, “Perut kenyang…..”
Aku mengangguk-angguk.
“Mama perutnya kenyang ngga?”
“Ngga”
“Kok perut Mama gede?”
Hm, aku geli mendengar pertanyaannya. Usai melahirkan memang susah mengecilkan bagian tubuh yang satu ini.
“Iya. Kan pernah ditinggali Kakak waktu masih bayi” Sahutku.
“Adek juga?”
“Iya”
“Karena sama-sama dari perut Mama, Kakak ngga boleh nakal sama Adek?”
Aku mengangguk terharu, “Betul”
Kalau tidak distop memang pertanyaan berikutnya akan terus muncul.
“Waktu belum di perut Mama, Kakak masih sama Allah?”
“Iya”
“Di mana? Di luar bumi?”
Aku mengangguk. Belum bisa menemukan cara lain menjelaskan sesuatu yang tak terlihat oleh mata duniawi.
Satu halaman yang hanya terdiri dari dua belas kata itu bisa menghabiskan waktu dua jam lebih. Tapi memang tak ada cara lain selain sabar melayani. 
Komentar
Posting Komentar