Langsung ke konten utama

Aaaarrrrggghhhh...........................

Lamat-lamat, Adzan Subuh dari corong-corong masjid memenuhi atmosfer pagi buta itu. Berlomba memasuki pendengaran manusia yang masih berselimut. Memeluk mimpi.

"Asholatu khoiru mina naum...." Shalat itu lebih baik dari tidur.
Setiap adzan sampai pada bagian ini, dengan sangat cepat syaraf pendengaranku meneruskannya ke otak. Memberitahu bahwa kata-kata itu sangat gamblang artinya. Maka tafsir apa lagi yang kau tunggu dan membuatmu masih terlena dalam mimpi. Dengan kesadaran yang belum sempurna dan mata masih digantungi kantuk yang selalu terasa lebih berat menjelang pagi tiba, aku memaksakan diri bangun. Duduk sebentar di pinggir kasur sambil membesar-besarkan mata. Memaksanya mau berkompromi untuk bangun dan memulai aktivitas hari ini.

Aku menoleh ke belakang. Mas Damar tak ada di ranjang. Refleks aku beranjak membuka pintu kamar. Dia ternyata masih duduk di depan komputernya di ruang tengah. Mengklik lalu mengetik sesuatu. Layarnya dipenuhi gambar-gambar laptop. Matanya kelihatan dipaksa-paksa dipicingkan. Pasti ia tak tidur semalaman, gumamku. Entah darimana datangnya, tapi tiba-tiba ada rasa kesal dihembus-hembuskan dalam hatiku. Hari ini hari Minggu, hari libur. Dia malah terjaga semalaman ketika kami, aku dan dua anakku terlelap. Itu artinya, ia akan tidur seharian ini justru ketika kami bertiga terjaga. Setelah Senin hingga Sabtu ia ke kantor pergi gelap pulang gelap. Aku mengharapkan sedikit bisa bersenang-senang dengannya hari ini.

Kebiasaan ini memang tak pernah kusukai sejak dulu. Jika sedang mengerjakan sesuatu yang menarik hati di komputernya, Mas Damar bisa seperti orang kesurupan. Lupa segala-galanya kecuali apa yang tengah dihadapinya. Ia sangat bisa terus memelototi layar itu sehari semalam, bahkan pernah tiga hari berturut-turut. Tak tidur. Tak makan tak minum jika tak diletakkan hadapannya. Menunda sholat sampai detik terakhir adzan berikutnya. Tak berkata sepatahpun, padaku atau pada anak-anak. Dipanggilpun perlu tiga kali sampai menoleh dan menyahut.

"Mas Damar ngga tidur semalaman?" Tanyaku memastikan.

"Hmmm...." sahutnya pendek.

Aku tak melanjutkan bertanya. Sudah tahu jawabannya. Setelah mengambil air wudlu dan sholat subuh. Aku langsung memulai rutinitas pagi.

Pertama aku menyapu semua piring dan gelas kotor bekas semalam yang masih nongkrong di atas meja. Menumpuknya di kotak cuci piring. Berencana mencucinya sekalian dengan bekas masak sarapan.  Lalu merapikan perabotan yang kocar-kacir setelah dipakai bermain anak-anak semalam sambil menyapu lantai. Lantas mempersiapkan bahan-bahan untuk masak sarapan. Sebelum mulai meracik masakan. Aku lebih dulu menyortir pakaian untuk digiling si mesin cuci. Pagi yang sibuk.

Hampir bisa dipastikan anak-anak akan terbangun sebelum semua pekerjaan itu selesai. Tapi hari ini hari libur dan Mas Damar ada di rumah. Aku mengharapkan ia mau menjaga anak-anak sementara aku menyelesaikan rutinitas ini dan siap mengambil alih ketika sarapan telah siap untuk mereka santap.

Benar saja. Kedua anakku bangun ketika aku masih memotong-motong bahan sarapan. Mereka terbangun hampir bersamaan. Langsung keluar kamar dan memanggil-manggilku. Aku tersenyum, "Selamat bangun" Sapaku.

Rara, gadis cilik si lima tahun, duduk di sofa mengumpulkan nyawa. Erhan, si jagoan satu setengah tahun langsung menghambur ke arahku. Minta digendong. Aku menggendongnya sebentar sambil mengalihkan perhatiannya ke kotak mainan. Memancing rasa ingin bermainnya. Memastikan moodnya sudah cukup baik lalu menurunkannya kembali dekat kotak mainan legonya.

Jika keduanya sudah melek. Maka semua pekerjaan rumah tangga menjadi nomor dua. Usai memandikan mereka. Aku meneruskan mempersiapkan sarapan. Kali ini menunya sup krim jamur plus potongan roti gamdum bakar. Untuk anak-anak aku sediakan nasi juga karena mereka agak kurang suka dengan roti.

Sementara anak-anak makan sendiri. Aku membeli sayur dari tukang sayur yang parkir tak jauh dari rumah. Siang ini rencanaku masak sop dengan telor asin dan malam nanti pesmol gurami plus lalapan dan sambal mentah.

Setelah semua rutinitas pagi rampung. Aku mengharapkan punya sedikit waktu untuk diriku sendiri tanpa gangguan dan rengekan anak-anak. Satu atau dua jam saja cukuplah. Aku sangat ingin melatih diriku menulis dengan detail. Memperkaya kosa kata. Memperbarui ingatan setelah enam hari berturut-turut melayani keperluan suami dan anak-anak. Sibuk oleh rutinitas rumah tangga dan pengasuhan yang kelihatannya sepele namun sebenarnya sungguh menyita.

Aku mulai membuka laptopku. Baru juga memasukan password. Rara dan Erhan serempak merubungiku. Bergelayut di pundak dan pahaku. Bertanya ini itu. Meminta ini itu. Aku melayani dengan sabar.

Ketika perhatian keduanya sudah tercurah pada mainan dan bukunya. Aku melanjutkan membuka laptopku. Berniat hendak menulis sesuatu. Ringan-ringan saja tapi detail. Baru saja aku membuka dokumen word. Rara dan Erhan sudah kembali mendekatiku. Minta dibacakan buku. Aku membacakan satu lembar dengan suara keras.

"Sudah ya, sekarang Kak Rara main sendiri sama De Erhan. Mama mau kerja sebentaaaar aja ya di laptop ini" Bujukku.

"Rara mau lihat mama aja di sini" Jawab Rara bergelayut di pundak kananku.

"Ma....ma.....ma..." Erhan yang belum bisa bicara ikut-ikutan memegangi kakiku.

Mas Damar berdiri. Mengambil roti bakar di meja makan lalu berdiri di belakangku. Aku Berharap ia dengan penuh pengertian mengalihkan perhatian anak-anak dariku. Mengajaknya bermain barang sebentar saja. Dia sendiri pernah bilang ia tahu bahwa setelah berkutat dengan anak-anak, aku memerlukan waktu untuk bergaul dengan sesama orang dewasa dan juga waktu untuk diri sendiri. Lepas dari anak-anak. Dengan berdiri di belakangku, pasti ia tahu aku sudah membuka word dan siap berlatih menulis.

Rupanya harapanku tak terkabul. Entah ia tak menyadari bahasa tubuhku atau sadar tapi kecintaannya pada apa yang tengah ia kerjakan - mengutak-utik komputernya - jauh lebih menarik ketimbang menyenangkan hati istrinya. Mas Damar kembali ke depan komputernya. Aku sedikit kesal.

Teng...teroreng...teroreng...teng. Suara si mesin cuci. Memberitahu ia telah menyelesaikan tugasnya menggiling setumpuk pakaian dan siap di jemur. Menilik langit yang belum juga biru cerah meski sudah jam sembilan. Dengan terpaksa aku menutup laptopku dengan word yang masih blank. Beranjak hendak menjemur pakaian sesuai berita dari si mesin cuci. Kesalku makin bertambah. Rasanya terpenjara dalam rutinitas rumah tangga. Pekerjaan yang selalu berulang. Tak ada ujung pangkalnya. Ujungnya adalah jika di delegasikan pada orang lain. Pembantu rumah tangga. Aku menepis kemungkinan itu sekarang. Belum memungkinkan. Aku belum menginginkannya.

"Mama jemur baju dulu ya, Kak Rara dan De Erhan sama papa dulu" pamitku.

Usai menjemur pakaian di lantai atas. Aku turun membawa dua kantong plastik besar pakaian kering hasil jemuran kemarin. Itu artinya pekerjaan melipat pakaian ini dan menyetrika sudah menanti.

Kulihat Rara dan Erhan tengah bermain rumah-rumahan di bawah kasur yang tengah dijemur di pelataran. Aku kembali duduk di depan laptop. Memulai latihan.

Belum sempat mengetik apapun, baru meletakkan tangan di atas keyboard. Rara dan Erhan masuk dan langsung berlarian mengambur ke arahku. Entah bagaimana mereka bisa mencium ibunya sudah kembali dari lantai atas. Aku geleng-geleng kepala. Tapi aku sudah sangat ingin berlatih. Jadi aku paksakan menulis sesuatu dengan anak-anak kembali merubungiku.

Merasa tak bisa berkonsentrasi dan tak ada ide. Ditambah dengan celotehan anak-anak dikala aku sangat butuh ketenangan sebentar. Membuatku bertambah kesal. Kali ini sudah mendekati frustasi. Minggu ini akan berlalu tanpa latihan dan tulisan apapun. Persis seperti dua puluh empat minggu yang telah lalu. Mengingat panjangnya waktu yang telah sia-sia tanpa kemajuan. Frustasiku meningkat. Aku sungguh-sungguh mengharapkan Mas Damar mengambil alih pengasuhan anak-anak kali ini dan memberiku waktu untukku sendiri. Aktualisasi diri. Me time.

Mas Damar masih tak beranjak dari duduknya. Menoleh tidak. Berkomentar juga tidak. Padahal celotehan anak-anak aku pastikan sampai ke telinganya. Rupanya keasyikannya sudah merenggutnya pagi itu dari kami bertiga.

Melihat tak ada respon dari suamiku. Aku tambah frustasi. Tanpa bisa kubendung, aku menjawab pertanyaan dan celotehan anak-anak dengan nada tinggi. Aku sadar ini salah. Tapi rupanya frustasiku sudah menutupi logika.

Jadilah hari itu berlalu tanpa kegembiraan di wajah dan hatiku. Hal ini rupanya dirasakan oleh anak-anak. Frustasi itu jadi sedikit menular pada mereka. Rara jadi minta macam-macam. Ini itu. Aneh-aneh. Erhan jadi merengek-rengek. Sebentar-sebentar minta di gendong. Intinya keduanya minta perhatian. Tapi hatiku sudah telanjur frustasi hari itu. Aku menanggapi anak-anak dengan nada tinggi.

Dengan kekacauan antara kami bertiga. Aku sungguh kembali mengharapkan Mas Damar dengan penuh pengertian mengambil alih anak-anak dan membiarkan aku tenang. Tapi harapan itu kembali cuma angan-angan. Ia tak bergeming sedikitpun.

Jadilah siang itu aku memasak menu makan siang dengan air mata berlinang-linang. Merasa sendirian mengasuh anak-anak dan mengurus tetek bengek rumah tangga. Sementara Mas Damar dengan dunianya sendiri. Aku membayangkan diriku adalah Agnes Monica yang tengah bernyanyi lagu Teruskanlah.

Untunglah anak-anak makan siang dengan lahap. Ini sedikit menghibur hatiku. Usai makan, aku mengajak mereka tidur siang. Seperti biasa mereka meminta waktu main sebentar di kasur sebelum tidur. Aku mengabulkannya. Mereka melompat-lompat di kasur, pura-pura jatuh lalu tawapun berderai-derai dari mulut mungil mereka. Aku tersenyum. Masih frustasi dengan latihanku tapi hatiku sedikit terhibur. Aku mengawasi mereka sambil membacabuku.

Aku ikut tertidur ketika menidurkan keduanya. Begitu mata terbuka, aku bergegas keluar kamar. Menunaikan keinginan kuatku semula. Berlatih menulis.

Satu paragraf berhasil aku torehkan. Suara Erhan terbangun memanggil-manggil. Aku mengela nafas. Melongok Mas Damar, masih tak bergeming. Aku Kembali frustasi. Mengomeli anak-anak lagi.

Jadilah weekend ini weekend kelabu. Sepanjang hari aku memasang muka kusut dan rusuh. Sebenarnya logikaku bilang aku tak seharusnya begini. Aku bisa memilih untuk mengikhlaskan semuanya. Tapi entah setan mana menutupi hatiku, hembusannya lebih kuat dari logikaku.

***

Hari Senin menjelang. Aku berharap rasa kesalku menguap bersama tidur lelap semalam. Tapi lagi-lagi aku tak mampu bangkit dari keterpurukan yang kubiarkan merajai hatiku. Aku masih kesal. Ditambah dengan tumpukan cucian piring, cucian baju, kamar seperti kena badai, dan ruang tengah dan ruang tamu yang juga jauh dari rapi. Rasanya semua barang tidak berada di tempat mereka seharusnya. Jadilah frustasiku menjadi-jadi. Mana harus mengantar Rara sekolah jam delapan pagi. Itu artinya jam tujuh harus sudah mandi dan berpakaian seragam, sehingga gadis cilik ini punya waktu leluasa untuk mengunyah sarapannya.

"Mama jangan marah terus dong, Ma. Maafin Rara ya" gadis cilik itu memasang wajah sedih. Ia menatapku penuh harap dari dalam bak mandinya. Melihatku tetap membisu. Ia menunduk, wajahnya semakin mendung.

Aku sedikit merasa bersalah. Mencoba mencari-cari motivasi dalam diriku sendiri. Aku menghela nafas, menghirup sebanyak mungkin udara pagi yang masih bersih ini dan membenamkannya dalam paru-paruku. Lalu menghembuskannya kembali. Berharap kekesalanku menguap bersamaan.

Aku mengusap pipi Rara memaksakan tersenyum. Mata gadis itu mengerjap, kegembiraan yang sontak terpancar menulariku. Aku sedikit gembira. Kami melewati rutinitas berikutnya dengan lebih bahagia.

Sesampainya di gerbang sekolah, Rara memegang erat celanaku. Dua orang gurunya sudah menyambutnya sambil mengulurkan tangan bersalaman sesuai kebiasaan yang diterapkan sekolah ini. Rara beringsut, menolak, menyembunyikan wajahnya di pantatku. Anakku takut. Padahal ini bukan hari pertama sekolah. Terpikir olehku ia takut karena kurang percaya diri. Aku, ibunya, dua hari kemarin sudah meruntuhkan kepercayaan dirinya. Kini Rara menjadi gentar, takut salah. Dadaku tiba-tiba penuh rasa bersalah.

Setelah kubisikan akan kuputarkan film Madagaskar kesukaannya. Barulah Rara melepaskan pegangannya dan mau masuk bergabung dengan teman-temannya. Aku langsung membalikkan badan. Pulang. Mataku terasa panas sepanjang perjalanan pulang. Seolah ada palu godam menghentak dada dan jiwaku. Bagaimana tidak, bukankan aku memutuskan jadi full time mom karena merasa akulah yang terbaik bagi gadis cilik itu? aku, ibunya? dan bukan orang lain?. Atau lebih baik aku kembali bekerja dan mencarikan pengasuh untuknya. Tentunya pengasuhnya tidak berani memarahinya, sehingga kepercayaan diri gadis cilik itu tak akan terganggu?. Tapi bagaimana jika ternyata tidak demikian?. Bukankah justru karena tak ada ikatan maka pengasuhnya dengan tanpa beban bisa semena-mena padanya. Mengacuhkannya selama tak menangis. Membiarkannya tumbuh asalkan cukup makan, minum, dan jajan?. Just like me. Apakah sejarah hidupku harus kurelakan berulang pada anakku?.

Tak perlu full time mom. Yang penting quality time. Teringat berbagai nasehat para sahabat. Kualitas waktu menurut siapa? Menurutku atau menurut anak-anak?. Aarrggghh....

Akulah yang harus berubah, simpulku dalam hati. Akulah yang harus mengambil keputusan untuk tak membiarkan rasa dongkol ini berlama-lama di dadaku. Menggantikannya dengan rasa ikhlas. Ya, ikhlas. Tak lain tak bukan. Ikhlas seluruh waktu dan pikiranku melayani dan membimbing anak-anakku. Dengan ikhlas, maka seluruh kejadian menjadi kebaikan.

Dua jam kemudian hanya dengan Erhan yang sudah terlelap dalam tidur paginya. Aku berusaha membenam-benamkan kalimat ikhlas dalam hati dan benakku. Meminggirkan letupan kesal dan frustasi.

Matahari sudah sepenggalan. Tiba saatnya menjemput si gadis cilik dari sekolahnya. Sepanjang perjalanan pulang aku berusaha meniupkan aroma gembira pada Rara. Khawatir dia masih merasa takut padaku.

"Bu guru punya lagu baru hari ini?" Tanyaku membuka percakapan. Kami sudah melewati tanah kosong yang dulunya sawah. Kini tak terurus dan menjadi rawa mendadak jika hujan besar atau kubangan jika hujannya malu-malu. Sering ada lima ekor kerbau bermain di kubangan itu. Mandi lumpur sambil terus mengunyah.

Rara menggeleng. Belum bersuara.

"Atau punya cerita baru?"

Rara menggeleng lagi.

"Mewarnai gambar apa hari ini?" Aku belum menyerah.

"Ngga mewarnai" sahut Rara buka suara. Aku girang.

"Terus ngapain?"

"Hm...ada kakak pendongeng. cerita monster kuman. Hm...Iyo ulang tahun. Rara dikasih jajan. Nih di tas" telunjuknya menunjuk tas punggung biru bertuliskan Beijing 2008 Olympic. Oleh-oleh ketika masih ngantor dan ditugaskan workshop ke Beijing.

Aku mereka-reka ceritanya. Hari ini sekolahnya kedatangan guru tamu, seorang pendongeng. ia datang atas undangan Iyo yang sedang berulang tahun dan dirayakan di sekolah Rara. Dongengnya tentang monster kuman. Selesai mendongeng, anak-anak dibagikan goodybag.

"O iya?" Komentarku mengangguk-angguk. Memberitahunya kalau aku mengerti apa yang ia ceritakan.

"Rara...mama mau minta maaf ya. Kemarin dan pagi tadi mama marah-marah terus. Mama lupa. Nanti kalau mama lupa lagi, Rara ingetin mama ya" Kataku dengan lapang. Ajaib, rasanya frustasi yang sedari kemarin menjeratku menguap dengan cepat. Seperti balon yang dilubangi. Hebat sekali efek kata maaf kali ini.

"Gimana?"

"Ya..bilang saja. Mama jangan marah dong, gitu"

"Kemarin...kemarin waktu mama ngulek bawang, Rara udah minta maaf tapi mama diem aja" Sahutnya manyun.

Aku tersenyum kaku. Ya...ya...memang aku diam saja kemarin padahal gadis cilik itu sudah mengerahkan semua jurusnya yang biasanya selalu manjur membuatku kembali tersenyum mengacak-acak rambutnya dengan sayang.

"Iya..mama lupa, sayang. Maafin mama ya"

Rara mengangguk-angguk. Entah mengerti entah tidak. Tapi baginya minta maaf itu berarti selanjutnya adalah menyenangkan.

***

Aku sama sekali tidak berharap Mas Damar akan melanjutkan kesibukannya mengutak-utik komputer senin ini setelah week-end minggu lalu yang menyebalkan. Nyatanya harapanku lagi-lagi tak menjadi kenyataan. Sepulang kantor selepas maghrib malam itu, ia kembali duduk di depan komputernya. Makan malam yang sudah aku siapkan dan biasanya langsung ia santap seusai memarkirkan motor di garasi. Sore itu kehilangan daya tariknya. Bersaing dengan si komputer.

"Pa?" panggilku memulai percakapan.

"Hm" Sahutnya sependek panggilanku.

"Sibuk banget. Ngapain sih?" Aku berinisiatif duduk di tangan kursi yang tengah didudukinya. Lantas seperti dikomando, Rara dan Erhan ikut merubungi ayahnya. Erhan duduk di atas paha ayahnya sambil berkata "Da...da...". Kuda maksudnya. Rara mengelendot manja di punggung ayahnya.

"Hmm" Matanya tak beranjak dari layar.

Aku mengintip layar. Kali ini dia sedang browsing internet. Mengunjungi beberapa blog yang membahas mengenai Mac Mini keluaran terbaru. Hampir bisa dipastikan ia takkan berhenti sampai informasi paling anyar itu dikuasainya.

Aku meredakan hatiku. Memilih untuk mencoba menerima. Mengikhlaskan. Saat ini juga. Maka sisa malam itu berlalu dengan penuh celotehan dan tawa canda bahagia Rara dan Erhan. Ternyata keikhlasan itu menularkan kebahagiaan dalam dari anak-anak itu. Dan anak bahagia menjadi anak yang sehat. Aku bertambah ikhlas lagi.

Selesai.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Proses (Kreatif) Dibalik Buku Anak : Mengenal Tanda Kebesaran Allah SWT

Alhamdulillahi Robbil 'Alamiin Tahun 2015 kemarin ditutup dengan terbitnya buku solo perdana saya. Buku anak berjudul "Mengenal Tanda-Tanda Kebesaran Allah SWT", diterbitkan oleh Al-Kautsar Kids (Pustaka Alkautsar Group). Buku setebal 152 halaman ini telah menempuh perjalanan yang cukup panjang sejak idenya muncul hingga terbit.  Berawal dari perjalanan saya, suami, dan dua anak saya naik motor bolak-balik dari rumah ke masjid setiap waktu sholat tiba.  Saat maghrib, isya dan subuh, saya selalu memandangi langit yang gelap. Di antara kerlip bintang di sana, saya melihat bulan dalam bentuk yang selalu berbeda. Kadang sabit tipiiis serupa alis, kadang cembung gendut lucu, kadang purnama bulat sempurna dengan cahaya berpendar-pendar, indah sekali.  Lalu timbullah tanya dalam hati, dalam Al-Qur'an Allah SWT berfirman bahwa tidaklah Dia menciptakan segala sesuatu di alam semesta ini dengan sia-sia. Tapi mengapa rasa di hati saya terhadap bulan tak lebih hanya hi...

Tiga Langkah Pertamaku

(Juara 2 lomba menulis " Capture Your Gain Moment " yang di selenggarakan oleh Majalah Parents Guide, bulan Desember 2010) Menjelang usia sembilan bulan anakku, Farraas. Aku menjadi full time mom.  Jika dulu pengasuhnya sangat hati-hati menjaga karena tentu saja takut aku marahi kalau terjadi apa-apa. Aku cenderung membiarkan dan tidak menahannya menjelajah seisi rumah. Aku hanya mengamati benda-benda disekitarnya kalau-kalau bisa membahayakannya. Selebihnya,kubiarkan ia menantang dirinya sendiri, merangkak, memegang ini itu, menjangkau benda yang lebih tinggi, lalu mulai berdiri. Awalnya aku terpana melihat ia berdiri sendiri dengan kaki gemetar, mungkin kakinya belum kuat. Ia menangis lalu jatuh terduduk. Aku hanya tersenyum seraya berkata, “Bagus, Nak. Ayo teruskan!”. Dua hari kemudian, Farraas mulai menantang dirinya untuk menggerakkan kakinya selangkah dengan tangan berpegangan di sofa. Satu langkah masih gemetar, ia menangis, namun sekali lagi aku katakan, “Ba...

Indeks Pembangunan Manusia, Indeks Membaca dan Korupsi

Sudah lama saya ingin tahu dan menulis mengenai hubungan korupsi, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan Indeks Membaca, adakah hubungan yang saling berkaitan? KORUPSI Dari data “Political & Economic Risk Consultancy” (PERC) – Hongkong yang dirilis pada tanggal 8 Maret 2010, Indonesia menduduki peringkat pertama sebagai negara paling korup se-asia pasifik. Berikut urutan lengkapnya: Indonesia (terkorup) Kamboja (korup) Vietnam (korup) Filipina (korup) Thailand India China Taiwan Korea Macau Malaysia Jepang Amerika Serikat (bersih) Hong Kong (bersih) Australia (bersih) Singapura (terbersih) Penilaian didasarkan atas pandangan ekskutif bisnis yang menjalankan usaha di 16 negara terpilih. Total responden adalah 2,174 dari berbagai kalangan eksekutif kelas menengah dan atas di Asia, Australia, dan Amerika Serikat. Masih data PERC 2010, dalam kurun 2008-2010, peringkat korupsi Indonesia meningkat dari 7.98 (2008.), 8.32 (2009) dan naik menjadi 9.07 (2010) dari angka...