(Review Buku) Sunnah Sedirham Surga
Buku ini merupakan kumpulan tulisan Akh Salim A Fillah diberbagai media sosial. Dibukukan dengan mengumpulkan tema-tema senada menjadi 4 bagian: (1) Teladan Salaf untuk Para Mukallaf, (2) Belajar Bajik dari Ulama Klasik, (3) Oratoria Para Ksatria dan (4) Belantara Cendekia Nusantara. Benang merah keempat tema tersebut adalah keseluruhannya berisi kisah ringan bagaimana para ulama dan orang sholeh sejak zaman sahabat, tab'in, generasi-generasi berikutnya hingga generasi kita saat ini, menjawab berbagai keadaan yang mereka hadapi.
Ringan, tentu saja karena kepiawaian penulis dalam merangkai kalimat. Kisah yang semula terdengar berat bagi orang awam, jadi terasa renyah dikunyah. Hikmah yang ada didalamnya, sejatinya bisa ditiru siapa saja muslim yang mau. Apalagi tak jarang, penulis membuat benang merah dengan kondisi saat ini.
Seperti Mengukur Cinta (hal 54), saat Abu Bakar menuntun ayahnya, Abu Quhafah, untuk bersyahadat di hadapan Rasulullah SAW. Sahabat yang bergelar Ash-Shidiq itu bukannya gembira tapi justru menangis seraya berkata, "Lebih kusukai jika tangan pamanmu ya Rasulullah menggantikan tangannya, lalu dia masuk islam dan dengan begitu Allah membuatmu ridha." (hal 55). Ini membawa pembaca menyelam ke kedalaman cinta Abu Bakar pada Rasulullah SAW sehingga seolah-olah bisa membaca apa yang dipikiran manusia mulia itu: Abu Quhafah mengingatkan Rasulullah SAW pada sang paman, Abu Thalib, sekaligus memahami dengan amat sangat seberapa besar Rasulullah SAW mengharapkan keislaman beliau. Bukan berarti Abu Bakar tak suka dengan keislaman ayahnya. Tentu ia amat bersyukur. Tapi disaat yang sama Abu Bakar sedang mengukur sikapnya dengan hati Rasulullah SAW. Hal yang sama dengan kondisi berbeda pun ditunjukan Umar bin Khattab (hal 55). Bahkan oleh Sultan 'Abdul Hamid II yang saat membangun rel kereta api Hijaz, dalam jarak 20 KM dari Madinah, kesemuanya harus diberi bantalan kapas tebal. Agar apa? Agar getaran dan suara derunya tak mengganggu Sang Kekasih (hal 71). Sementara kini, bahkan ada yang berdebat mengenai kedudukan ayah ibu Rasulullah SAW apakah di neraka atau di surga. Mereka mengukur sikap mereka ini dengan hati siapa? Demikian seolah penulis hendak mengajak pembaca mengukur sikap. Ada 27 kisah lain dalam tema Teladan Salaf bagi Para Mukallaf yang tak kalah berharganya.
Seorang murid mengeluhkan keadaan dirinya kepada sang guru. Dzikir dan sholat yang diharapkannya menjauhkan syetan dari dirinya, terasa tak memberikan arti. Ia merasa godaan syetan tak berkurang kuatnya. Sang guru justru balik bertanya, "Bagaimana pendapatmu, anakku? Tentang seseorang yang berulangkali menghalau anjing buduk dari tempatnya duduk, tapi di situ dia selalu menyanding tulang, jeroan, dan daging yang amat disukai si anjing?" (hal 174). Beginilah cara Al-Ghazali, sang guru, memberi perumpamaan dalam memberi nasehat, semata-mata agar yang diberi nasehat bisa menerima intinya : jangan-jangan bukan syetan tak mau pergi, tapi kitalah yang merayunya terus kembali. Inilah salah satu kisah yang disemat dalam tema 2, Belajar Bajik dari Ulama Klasik. Keseluruhannya ada 19 kisah bajik yang bisa kita petik.
Dalam tema 3, Oratoria Para Ksatria, ada satu perkataan Ksatria yang demikian bermakna, "Dengki itu artinya kau menuang racun ke dalam mulutmu sendiri hingga tertenggak sampai usus, lalu berharap bahwa musuh-musuhmulah yang akan mati karenanya." (hal 192). Perkataan Ali Zainal Abidin - saat ditanya mengapa ia tak menaruh dendam kepada mereka yang telah membantai keluarganya tapi justru memaafkan dan menyantuni mereka - ini sungguh menampar. Dengki hanya merugikan diri sendiri. Para ksatria mestinya memilih jalan dan standar yang lebih tinggi. Tak hanya ksatria di masa lampau, ksatria masa kini pun ada kisahnya. Seluruhnya ada 8 kisah para ksatria yang tercantum di bab ini.
Banyak kisah yang mengukir senyum di tema ke-4. Perhatikanlah bagaimana para cendekia nusantara itu bersikap dan berkata. Seperti kisah seorang berdelapan saudara yang ingin berqurban seekor sapi tanpa meninggalkan satu pun saudaranya, agar bisa memenuhi wasiat almarhum ayah ibunya: berdelapan masuk surga dengan mengendarai sapi yang sama. Jika hanya berpegang pada hukum fiqih, tentu tak bisa. Tapi coba simak bagaimana seorang ulama nusantara dengan piawai memasuki pemahaman si penanya namun tetap hukum fiqihnya terpenuhi: Adikmu yang paling kecil itu masih agak kecil kan ya? Nha, kalau nanti mau naik ke sapi kan agak susah itu ya? Mbok kamu tambahin kambing satu ekor biar buat ancik-ancik, buat pijakan naik ke sapinya." (hal 246). Si penanya langsung siap sedia. Ya, terkadang diperlukan keluwesan dalam menyampaikan suatu hukum, disesuaikan dengan siapa dan bagaimana kondisi si penanya. Selain kisah ini, ada 13 kisah lainnya di bagian terakhir ini yang menunggu untuk kita petik hikmahnya.
Tak salah jika tim redaksi penerbit menambahkan kalimat : Beribrah pada kekisah, Berteladan pada pemegang warisan, pada cover buku ini. Ibrah dalam kisah-kisahnya demikian mudah dipetik. Kisahnya pun adalah kisah orang berilmu, para ulama pewaris para nabi. Bagi mereka yang masih haus dan ingin mendalami lebih masing-masing kisah tersebut untuk mengambil lebih banyak ibrah, silahkan merujuk kepada kitab-kitab para ulama yang disebutkan lengkap judulnya di tiap kisah di buku ini. Bagi mereka yang saat ini mencukupkan dan selanjutnya ingin lebih dulu mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari, pun tetap berpeluang menjadi tinggi nilainya bersebab niatnya.
Kekurangan buku ini hanyalah bahwa tulisan-tulisan di sini telah lebih dulu diposting di media sosial penulis, sehingga bagi pembaca yang setia menyimak dan mengikuti media sosial penulis tersebut, jadi terasa kurang greget.
Jika anda punya anak yang akan atau telah memasuki usia aqil baligh dan barangkali masih ingin interaksi mereka dengan gadget seminim mungkin, buku setebal 265 halaman ini tepat dibaca mereka. Tentu saja, akan lebih baik lagi jika anda pun membacanya lalu meluangkan waktu untuk ngobrol bersama mereka tentang tiap-tiap kisah di buku ini, secara berurutan ataupun secara acak. Hal ini insya Allah akan sangat bermanfaat untuk merangsang akal mereka, sehingga saat baligh-nya tiba, aqil-nya pun telah siap. (Pida Siswanti)
Penulis : Salim A Fillah
Penerbit : Proumedia
Harga : Rp 56,000Berat : 210 gramPemesanan boleh via inbox facebook akun Pida Siswanti atau wa di 08159286874 untuk fast respon Insya Allah.
#sunnahsedirhamsurga, #salimafillah
Tersedia juga buku-buku Salim A Fillah lainnya :
Lapis-lapis Keberkahan
Jalan Cinta Para Pejuang
Saksikan Bahwa Aku Seorang Muslim
Agar Bidadari Cemburu
Bahagianya Merayakan Cinta
Ringan, tentu saja karena kepiawaian penulis dalam merangkai kalimat. Kisah yang semula terdengar berat bagi orang awam, jadi terasa renyah dikunyah. Hikmah yang ada didalamnya, sejatinya bisa ditiru siapa saja muslim yang mau. Apalagi tak jarang, penulis membuat benang merah dengan kondisi saat ini.
Seperti Mengukur Cinta (hal 54), saat Abu Bakar menuntun ayahnya, Abu Quhafah, untuk bersyahadat di hadapan Rasulullah SAW. Sahabat yang bergelar Ash-Shidiq itu bukannya gembira tapi justru menangis seraya berkata, "Lebih kusukai jika tangan pamanmu ya Rasulullah menggantikan tangannya, lalu dia masuk islam dan dengan begitu Allah membuatmu ridha." (hal 55). Ini membawa pembaca menyelam ke kedalaman cinta Abu Bakar pada Rasulullah SAW sehingga seolah-olah bisa membaca apa yang dipikiran manusia mulia itu: Abu Quhafah mengingatkan Rasulullah SAW pada sang paman, Abu Thalib, sekaligus memahami dengan amat sangat seberapa besar Rasulullah SAW mengharapkan keislaman beliau. Bukan berarti Abu Bakar tak suka dengan keislaman ayahnya. Tentu ia amat bersyukur. Tapi disaat yang sama Abu Bakar sedang mengukur sikapnya dengan hati Rasulullah SAW. Hal yang sama dengan kondisi berbeda pun ditunjukan Umar bin Khattab (hal 55). Bahkan oleh Sultan 'Abdul Hamid II yang saat membangun rel kereta api Hijaz, dalam jarak 20 KM dari Madinah, kesemuanya harus diberi bantalan kapas tebal. Agar apa? Agar getaran dan suara derunya tak mengganggu Sang Kekasih (hal 71). Sementara kini, bahkan ada yang berdebat mengenai kedudukan ayah ibu Rasulullah SAW apakah di neraka atau di surga. Mereka mengukur sikap mereka ini dengan hati siapa? Demikian seolah penulis hendak mengajak pembaca mengukur sikap. Ada 27 kisah lain dalam tema Teladan Salaf bagi Para Mukallaf yang tak kalah berharganya.
Seorang murid mengeluhkan keadaan dirinya kepada sang guru. Dzikir dan sholat yang diharapkannya menjauhkan syetan dari dirinya, terasa tak memberikan arti. Ia merasa godaan syetan tak berkurang kuatnya. Sang guru justru balik bertanya, "Bagaimana pendapatmu, anakku? Tentang seseorang yang berulangkali menghalau anjing buduk dari tempatnya duduk, tapi di situ dia selalu menyanding tulang, jeroan, dan daging yang amat disukai si anjing?" (hal 174). Beginilah cara Al-Ghazali, sang guru, memberi perumpamaan dalam memberi nasehat, semata-mata agar yang diberi nasehat bisa menerima intinya : jangan-jangan bukan syetan tak mau pergi, tapi kitalah yang merayunya terus kembali. Inilah salah satu kisah yang disemat dalam tema 2, Belajar Bajik dari Ulama Klasik. Keseluruhannya ada 19 kisah bajik yang bisa kita petik.
Dalam tema 3, Oratoria Para Ksatria, ada satu perkataan Ksatria yang demikian bermakna, "Dengki itu artinya kau menuang racun ke dalam mulutmu sendiri hingga tertenggak sampai usus, lalu berharap bahwa musuh-musuhmulah yang akan mati karenanya." (hal 192). Perkataan Ali Zainal Abidin - saat ditanya mengapa ia tak menaruh dendam kepada mereka yang telah membantai keluarganya tapi justru memaafkan dan menyantuni mereka - ini sungguh menampar. Dengki hanya merugikan diri sendiri. Para ksatria mestinya memilih jalan dan standar yang lebih tinggi. Tak hanya ksatria di masa lampau, ksatria masa kini pun ada kisahnya. Seluruhnya ada 8 kisah para ksatria yang tercantum di bab ini.
Banyak kisah yang mengukir senyum di tema ke-4. Perhatikanlah bagaimana para cendekia nusantara itu bersikap dan berkata. Seperti kisah seorang berdelapan saudara yang ingin berqurban seekor sapi tanpa meninggalkan satu pun saudaranya, agar bisa memenuhi wasiat almarhum ayah ibunya: berdelapan masuk surga dengan mengendarai sapi yang sama. Jika hanya berpegang pada hukum fiqih, tentu tak bisa. Tapi coba simak bagaimana seorang ulama nusantara dengan piawai memasuki pemahaman si penanya namun tetap hukum fiqihnya terpenuhi: Adikmu yang paling kecil itu masih agak kecil kan ya? Nha, kalau nanti mau naik ke sapi kan agak susah itu ya? Mbok kamu tambahin kambing satu ekor biar buat ancik-ancik, buat pijakan naik ke sapinya." (hal 246). Si penanya langsung siap sedia. Ya, terkadang diperlukan keluwesan dalam menyampaikan suatu hukum, disesuaikan dengan siapa dan bagaimana kondisi si penanya. Selain kisah ini, ada 13 kisah lainnya di bagian terakhir ini yang menunggu untuk kita petik hikmahnya.
Tak salah jika tim redaksi penerbit menambahkan kalimat : Beribrah pada kekisah, Berteladan pada pemegang warisan, pada cover buku ini. Ibrah dalam kisah-kisahnya demikian mudah dipetik. Kisahnya pun adalah kisah orang berilmu, para ulama pewaris para nabi. Bagi mereka yang masih haus dan ingin mendalami lebih masing-masing kisah tersebut untuk mengambil lebih banyak ibrah, silahkan merujuk kepada kitab-kitab para ulama yang disebutkan lengkap judulnya di tiap kisah di buku ini. Bagi mereka yang saat ini mencukupkan dan selanjutnya ingin lebih dulu mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari, pun tetap berpeluang menjadi tinggi nilainya bersebab niatnya.
Kekurangan buku ini hanyalah bahwa tulisan-tulisan di sini telah lebih dulu diposting di media sosial penulis, sehingga bagi pembaca yang setia menyimak dan mengikuti media sosial penulis tersebut, jadi terasa kurang greget.
Jika anda punya anak yang akan atau telah memasuki usia aqil baligh dan barangkali masih ingin interaksi mereka dengan gadget seminim mungkin, buku setebal 265 halaman ini tepat dibaca mereka. Tentu saja, akan lebih baik lagi jika anda pun membacanya lalu meluangkan waktu untuk ngobrol bersama mereka tentang tiap-tiap kisah di buku ini, secara berurutan ataupun secara acak. Hal ini insya Allah akan sangat bermanfaat untuk merangsang akal mereka, sehingga saat baligh-nya tiba, aqil-nya pun telah siap. (Pida Siswanti)
Penulis : Salim A Fillah
Penerbit : Proumedia
Harga : Rp 56,000Berat : 210 gramPemesanan boleh via inbox facebook akun Pida Siswanti atau wa di 08159286874 untuk fast respon Insya Allah.
#sunnahsedirhamsurga, #salimafillah
Tersedia juga buku-buku Salim A Fillah lainnya :
Lapis-lapis Keberkahan
Jalan Cinta Para Pejuang
Saksikan Bahwa Aku Seorang Muslim
Agar Bidadari Cemburu
Bahagianya Merayakan Cinta
Dalam Dekapan Ukhuwah
Menggali Ke Puncak Hati

Komentar
Posting Komentar