Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari April, 2011

Sekolah Negeri Vs Swasta

Dulu, di jaman saya kecil dan tumbuh mendewasa, sekolah favorit adalah sekolah negeri. Biasanya nomor sekolah menyatakan pula urutan keunggulannya, misalnya terfavorit 1 adalah SD 1, terfavorit 2 adalah SMP 2, terfavorit 3 adalah SMA 3. Keunggulan ini juga nyata ditunjukan oleh para siswanya yang unggulan juga, the best students in the best school . Sekolah swasta berada dalam urutan terakhir pilihan orang tua, hanya dilirik ketika tak ada lagi sekolah negeri yang mau menerima. Alasannya pun hanya satu hal, tak diterima karena nilai yang rendah, kalah bersaing dengan anak-anak lain. Bersekolah adalah berkompetisi, ia memacu adrenalin saya selaku anak-anak untuk menunjukan pada teman-teman bahwa saya juga layak diperhitungkan.  Maka bersekolah di sekolah unggulan adalah jalan terbaik mendapatkan suasana kompetisi yang kental. Lawan seimbang, anak-anak yang sebaya saya juga. Kini, di jaman anak-anak saya, apalagi tinggal di tengah kota besar macam Jakarta dan sekitarny...

Tanpa Penawar

Aduh! Lenganku sakit sekali! Aku meringis menatap dua bocah lelaki kurus tinggi yang mengekang dua tanganku ke belakang lalu memelintirnya. Sementara pemimpin mereka merapatkan tubuhnya ke tubuhku. Aku tak bisa mundur lagi. Badanku sudah menempel di tembok. Hembusan nafasnya menyergap mukaku. Aroma rokok segera membombardir penciumanku. Berapa batang rokok sehari bisa dihabiskan oleh seorang anak SMP seperti dia?! Aku sampai harus menahan nafas. “Heh! Kamu jangan sok alim, ya! Mana hape kamu!” hardiknya kasar. “Wan, aku tidak mau melihat video itu. Sungguh!” sahutku. “Di kelas kita tinggal kamu saja yang tidak punya video itu. Itu membuatku malu tahu! Kalah dengan ketua kelas SMP sebelah. Mana hape kamu, sini!!” suara Wan meninggi. Tak sabar, tangannya menggerayangi saku celanaku. “Aku tidak bawa hape, Wan.” “Huh!” Wan menghentakkan dadaku dengan kedua tangannya. Ia tampak sangat marah, tapi hanya sebentar, “Kalau begitu lihat lewat hape-ku saja,” Wan merogoh kantung celananya...

Layulah, Bunga Tidurku

Sekali lagi, sekali lagi kau menjadi bunga tidurku Bukankah pernah kukatakan padamu, aku tak ingin lagi merajut hari bersamamu? Karena aku menyerahkan diriku seutuhnya, sedangkan kau hanya mengirimkan bayangan dirimu saja Ratusan mil, puluhan tahun, bahkan dua lautan menjadi jarak antara kita Kukira, bahkan hatiku sudah melupakanmu Namun, lagi-lagi, oh lagi-lagi, tanpa permisi kau menyeruak, menghiasi tiap tidur malamku Bukankah sudah ada dia disisimu? Gadis ayu yang wajahnya benar-benar mirip denganmu! Itu pertanda kalian berdua memang berjodoh, bukan? Lantas, mengapa pula aku masih duduk manis di sini Mengenang tiap detik masa lalu kita Membaca tiap kata dalam guratan pena surat-suratmu Mereka-reka perjumpaan manis kita yang tak pernah nyata Aku memang pernah mengharapkanmu, amat sangat Tiap kisah yang kita bagi bersama, bertahun-tahun Menyemai bunga-bunga indah semerbak dalam hati perempuanku Mengikat jiwa laksana rampai dalam keranjang cinta Hanya ada kau dalam ha...