“Jadi kapan aku harus menjemput Ibu?” tanya Rori akhirnya. Rosa menjawab di seberang telepon, “Aku juga tidak tahu, Mbak. Ibu tidak bilang kapan” “Kok, Ibu lama sekali ambil keputusannya sih, Ros? Di Kaliputih toh sudah tidak ada siapa-siapa lagi. Apa Ibu mau sendirian di sana?” sembur Rori kesal, “Lebih baik Ibu tinggal di sini. Semua rumah anak-anaknya ada di sini. Lebih mudah kalau Ibu mau main ke rumah kita. Kita juga kalau lebaran jadi mudah, tak perlu pulang jauh-jauh ke Kaliputih. Betul, kan, Ros?” “Aku juga berpikir begitu, Mbak.” sahut Rosa. “Apa sih yang menahan Ibu di sana? Sudah setahun Ayah meninggal tapi Ibu belum juga mau pindah?” “Ibu bilang terlalu banyak kenangan di sana.” “Hidup kok dalam kenangan! Hidup ya dalam kenyataan dong, Ros! Kenyataannya aku, kamu dan Romi sama-sama tinggal di Jakarta. Cucu-cucunya juga di sini semua. Ibu tinggal pilih Ibu mau tinggal dengan siapa. Aku, kamu atau Romi? Beres, kan?” “Ya, tapi kita juga harus menghargai keinginan Ibu, Mbak. Ki...
Cahaya-Nya seperti pelita berselubung kaca dalam ceruk jiwa, yang terisi minyak termulia dari pohon yang tumbuh tidak di timur dan tidak di barat, yang bercahaya laksana mutiara meski api belum menyentuhnya.